Trah Soekarno dalam Polemik Capres 2024

Usmar

Penulis

Sabtu, 21 Januari 2023  /  2:39 pm

Dr. Usmar, SE, M.M, Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional. Foto: Ist.

Oleh: Dr. Usmar, SE, M.M

Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional

SAAT ini riuhnya persoalan siapa kandidat capres yang akan diusung dalam kontestasi politik pencapresan untuk periode 2024-2029, makin semarak dan beragam dari perspektif ungkapan dengan alasan pembenar yang juga beragam, mengapa figur tersebut layak diusung.

Namun dari nama kandidat yang beredar tetap tak beranjak, hanya merujuk pada nama-nama yang memang sudah sering di sebutkan di berbagai media massa dan dengan beragam juga lembaga survey yang menguatkan hasil survey mereka tentang pembenaran mengapa nama kandidat tersebut “marketable” untuk ikut kontestasi capres.

Sebut saja secara abjad kandidat tersebut diantaranya, Anies Baswedan, Airlangga Hartarto, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Muahaimin Iskandar dan yang lainnya.

Dari kandidat di atas, baru Anies Baswedan yang sudah diusung oleh Partai Nasdem dan Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra yang secara terang menyebutnya sebagai capres dari partai mereka, sedangkan untuk nama yang lainnya, publik masih menunggu pengumuman resmi dari partai pengusungnya.

Seperti kita ketahui bersama berdasarkan UU Pemilu No.7 tahun 2017 pasal 222, bahwa “Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Dengan melihat ketentuan pada pasal 222 tersebut, dari skenario dan koalisi (meski belum permanen) yang paling mungkin dapat mencalonkan kandidatnya adalah sbb:

1. PDIP sebanyak 22,26 % kursi DPR RI.

2. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yaitu Golkar, PAN & PPP sebanyak 25,73% kursi di DPR RI.

3. Gerindra dan PKB sebanyak 23, 84% kursi di DPR RI.

4. Koalisi NasDem, Demokrat & PKS sebanyak 28,3% kursi di DPR RI.

Jadi meski Gerindra sudah menyebutkan nama kandidatnya yaitu Prabowo Subianto dan Partai NasDem yang mengusung Anies Baswedan, namun itu belum dapat langsung ditetapkan, mengingat perolehan suara yang dimiliki oleh Gerindra maupun NasDem secara sendiri belum mencukupi, artinya masih perlu persetujuan dan dukungan anggota koaslisi lainnya yang sampai saat tulisan ini di buat belum ada persetujuan resmi dukungan terhadap kandidat tersebut.

Baca Juga: Dari Hajar... Tembak, Sampai ke Bereskan....

Sementara di sisi lain PDIP yang memenuhi syarat untuk dapat mengusulkan sendiri kandidat presiden, masih belum mendeklarasikan secara resmi capres mereka yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.

Tentu sebagai parpol pemenang politik dalam dua periode pemilu yang lalu, sangat ditunggu oleh masyarakat. Apakah PDIP akan mengusung kadernya itu, Ganjar Pranowo yang menurut berbagai lembaga survey sangat kuat dukungan masyarakat, ataukah Puan Maharani yang juga sangat kuat di dukung oleh internal PDIP.

Dilema PDIP

Memang dapat dipahami, kesulitan PDIP dalam memutuskan siapa kandidat presiden yang akan mereka usung, apakah itu Ganjar Pranowo ataukah Puan Maharani.

Sebagai analogi, partai politik adalah sebuah kendaraan, maka untuk layak jalan kendaraan tersebut, tentu membutuhkan perawatan rutin, baik itu pemberian pelumas yang teratur, pemeriksaan mesin yang terjadwal, bahkan pengurusan administrasi surat keabsahan yang tak bisa diabaikan. Begitu juga dengan partai politik, membutuhkan perawatan yang telaten tersebut.

Jadi ketika para fungsionaris partai politik telah bekerja siang malam dalam menjaga mesin politik partai untuk tetap dapat berjalan dengan baik, hingga sangat siap untuk ikut kontestasi politik, lalu pada saat kendaraan tersebut mau digunakan saat ada pesta politik, ada opini dari eksternal partai apapun sebagai pembenarnya, bahwa yang layak membawa kendaraan tersebut berdasarkan asumsi publik adalah orang yang justru bukan ikut langsung sebagai fungsionaris partai tersebut.

Sementara di sisi lain memberikan apresiasi terhadap mereka yang telah bekerja keras menjaga mesin partai tetap kuat dan eksis, sudah semestinya harus juga diberikan penghormatan. Inilah dilemma PDIP

The Right Man in the Right Place

Ungkapan dari teori manajemen bahwa menempatkan orang yang benar di tempat yang benar adalah syarat mutlak untuk sukses jalannya sebuah organisasi, selain juga harus diperkuat dengan perencanaan dan strategi yang matang untuk mencapai target yang telah ditetapkan.

Seperti kita ketahui bersama, salahsatu nama yang akan di usung oleh PDIP sebagai capres yaitu Puan Maharani. Beliau ini dari trah turunan jelas adalah cucu dari seorang proklamator Bung Karno, dan secara prestasi politik sudah tidak diragukan lagi, baik sebagai pimpinan partai maupun sebagai pimpinan berbagai lembaga negara, seperti pernah menjadi Menko Kesra dalam Kabinet 2014-2019 dan menjadi Ketua DPR RI  periode 2019-2024.

Hanya saja pemilihan penempatan posisi puan sebagai pimpinan lembaga negara tersebut, kurang tepat jika dalam roapmap jangka panjang ingin mengusung Puan Maharani sebagai Presiden Republik Indonesia.

Penulis berpendapat, jika memang Puan Maharani sejak lama akan diproyeksikan sebagai presiden, alangkah baiknya pada saat dibentuknya kabinet 2014-2019, beliau jangan ditempatkan sebagai Menko Kesra. Harusnya ditempatkan sebagai Menteri Pertanian.

Karena dalam posisi Menteri Pertanian, puan dapat mengimplementasikan konsepsi Bung Karno tentang marhainisme dengan membangun basis kekuatan pada petani dan nelayan. Tentu sebagai marhaenis, Puan dapat memprioritaskan untuk membuat program peningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan kaum marhaen tersebut, yang kemudian kelak, ini akan menjadi basis dukungan politik yang kuat dengan basis massa yang juga sangat besar tentunya.

Sedangkan pada periode 2019-2024, karena PDIP juga sebagai pemenang pemilu, maka mestinya Puan Maharani dapat ditempatkan sebagai Menteri Sosial. Dari fungsi sebagai Menteri Sosial, Puan dapat melanjutkan atensi langsung terhadap basis petani dan nelayan dalam memperoleh dan merawat kesejahteraannya. Sehingga dengan demikian basis dukungan politiknya sangat jelas dan kuat.

Baca Juga: Cukai Rokok antara Kesehatan dan Pendapatan

Namun ketika dalam periode 2029-2024 ini, Puan Maharani ditempatkan sebagai Ketua DPR RI, meski sangat prestisius sebagai perempuan Indonesia pertama yang jadi pimpinan parlemen, namun di sisi lain secara realistis, lembaga DPR RI ini adalah lembaga politik yang paling rentan menjadi tempat umpatan, cacian bahkan makian masyarakat jika terjadi kegagalan berbagai persoalan sosial politik bangsa. Tentu dengan sendirinya akan berdampak pada sosok pimpinannya.

Jadi ketika berbagai lembaga survey yang merilis hasil survey mereka terhadap sosok Puan Maharani tidak menggembirakan, itu diantaranya adalah dampak dari tidak tepatnya pilihan penempatan posisi Puan Maharani di lembaga tersebut.

Entahlah apakah gagasan untuk mengusung Puan Maharani sebagai capres adalah program dadakan yang memang tidak ada roapmap jangka panjang yang dirancang dan direncanakan sejak dari awal. tapi ini menurut penulis adalah “The right man on the wrong place” yang dapat dikatakan agak bergeser dari teori manajemen tersebut di atas.

Mengutip Benyamin Franklin yang mengatakan bahwa “If you fail to plan, you plan to fail,” jika kau gagal membuat rencana, berarti memang merencanakan kegagalan.

Dalam penantian masyarakat tentang sosok capres yang akan diusung oleh PDIP, apakah itu Ganjar Pranowo atau Puan Maharani, penulis memperkirakan kemungkinan akan diumumkan secara resmi kepada publik, pada rakernas sekitar bulan Maret 2023, yang sedikit kurang prestisius dibandingkan forum Ulang Tahun PDIP. Mungkin itulah momen akhir penantian tersebut. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS