Unik, di Kota Ini Mati Adalah Tindakan Ilegal

Nurdian Pratiwi

Reporter

Jumat, 27 Mei 2022  /  1:06 pm

Di kota Longyearbyen, Norwegia, ada aturan yang cukup aneh yakni penduduknya dilarang mati. Foto: Repro viva.co.id

LONGYEARBYEN, TELISIK.ID - Kematian merupakan hal yang tak bisa diatur oleh manusia. Karena pada dasarnya ajal tak bisa diketahui oleh semua orang kapan ia akan tiba, sebab semua itu adalah rahasia Tuhan.

Lantas bagaimana jika ada sebuah kota yang melarang penduduknya untuk meninggal dunia? Bahkan menjadikan hal tersebut sebagai aturan dalam undang-undang?

Mengutip dari kompas.com, sebuah undang-undang unik, lucu sekaligus aneh digulirkan di suatu tempat di Norwegia. Di daerah itu ada ketetapan bahwa siapapun yang meninggal dunia dianggap melanggar hukum.

Longyearbyen, sebuah daerah terpencil di kepulauan Svalbard dengan populasi 2.000 penduduk, membuat aturan yang melarang kematian seseorang.

Artinya, penduduk yang sakit parah harus dibawa sejauh ratusan kilometer ke arah selatan saat hari-hari terakhir dalam hidup mereka.

Tubuh yang tidak membusuk karena dinginnya temperatur udara menjadi alasan di balik ilegalnya kematian manusia di wilayah tersebut.

Aturan itu muncul ketika flu Spanyol yang meresahkan warga ditemukan berasal dari mayat yang dikubur pada satu abad lalu.

Baca Juga: Satu-satunya di Dunia, Inilah Negara Tanpa Nyamuk

Pada Agustus 1998, tepat 80 tahun setelah pandemi flu Spanyol menyapu dunia, Kirsty Duncan dari Universitas Windsor memimpin tim ilmuwan ke wilayah tersebut.

Mereka memeriksa jaringan dari jenazah seseorang yang meninggal kemudian menemukan tubuh mayat yang masih terdapat virus influenza sejak kematiannya.

Jan Christian Meyer dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Norwegia mengatakan, tanah yang membeku tidak akan membusukkan jenazah yang dikubur dan malah mendorongnya ke permukaan.

"Jika Anda meninggal di sana, Anda pasti tidak akan dimakamkan di sana," katanya.

Menurutnya, penduduk masih bisa mengajukan permohonan kremasi untuk tetap dikubur di dalam tanah, di wilayah tersebut. Namun, hal itu membutuhkan persetujuan negara.

Sementara itu, rupanya di negara lain juga memiliki kota dengan aturan yang serupa dengan negara Norwegia.

1. Itsukushima, Jepang

Melansir kumparan.com, banyak masyarakat Jepang yang masih menganut ajaran Shintoisme. Itsukushima adalah salah satu kota di Jepang dengan penganut ajaran Shinto terbanyak.

Menurut kepercayaan Shinto, kota Itsukushima merupakan daerah suci. Untuk menjaga kesucian daerah tersebut, penduduk dilarang meninggal bahkan melahirkan. Larangan ini ternyata sudah berlaku sejak 1878.

2. Kota Colma, Amerika Serikat

Kota Colma adalah kota terkecil di wilayah San Mateo, California, Amerika Serikat. Kota ini dijuluki sebagai City of Souls alias Kota Jiwa-jiwa. Julukan seram ini bukan tanpa alasan.

Dalam kota seluas 4,9 km persegi itu terdapat 1,5 juta makam. Sementara penduduk lokalnya yang hidup hanya berkisar 1.509 orang saja.

Baca Juga: 5 Kota Paling Berdosa di Dunia, Warganya Gila Seks, Judi dan Narkoba

Jumlah makam yang berkali lipat itu karena jenazah-jenazah yang berada di Colma biasanya bukan berasal dari kota itu sendiri, tapi 'diekspor' dari luar kota, salah satunya adalah San Fransisco.

Ya, jenazah yang tak lagi dapat tempat di San Fransisco karena wabah mematikan diungsikan di Colma, karena kuburan di kota itu sudah terlalu penuh.

Hal itu membuat pemerintah setempat akhirnya melarang orang yang meninggal dikuburkan di sana.

3. Selia dan Falciano del Massico, Italia

Dua kota ini secara resmi mengeluarkan undang-undang yang melarang penduduknya meninggal dunia dengan alasan yang sangat tidak logis. Di kota Selia, Italia, pemerintah melarang penduduknya meninggal dunia karena sekitar 80 persen penduduk kota tersebut adalah lansia.

Hal itulah yang membuat pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan larangan tersebut agar penduduknya selalu menjaga kesehatan. Sedangkan, Kota Falciano del Massico, Italia sengaja mengeluarkan peraturan ini agar kota tetangga mau berbagi lahan pemakaman. (C)

Penulis: Nurdian Pratiwi

Editor: Haerani Hambali