Calon Perseorangan, Hukuman Kegagalan Partai Politik

Norma Paiman Parerungan, telisik indonesia
Minggu, 23 Agustus 2020
0 dilihat
Calon Perseorangan, Hukuman Kegagalan Partai Politik
Norma Paiman Parerungan, Wakil Ketua DPM FISIP UHO. Foto: Ist.

" Kehadiran calon independen dalam jangka panjang diprediksi akan menyederhanakan jumlah partai secara natural sekaligus membuka mata parpol untuk terus mengevaluasi, mengoreksi dan memperbaiki kinerjanya. "

Oleh: Norma Paiman Parerungan

Wakil Ketua DPM FISIP UHO

PILKADA sejatinya adalah suatu panggung yang disediakan untuk kepentingan parpol dalam melakukan konstestasi. Eksistensi parpol di Indonesia sangat strategis dan demikian digjaya.

Bahkan dianggap menjadi sumber oligarki. Partai seolah-olah hanya menjalankan demokrasi yang dipertontonkan melalui proses pilkada. Selama ini, parpol tidak memiliki pesaing dalam menjaring pemilih dan calon untuk pemilu presiden dan pemilu legislatif.

UUD 1945 menyebutkan, peserta pilpres adalah partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat jumlah suara atau jumlah kursi di parlemen. Peserta pileg adalah parpol yang lolos verifikasi dan memenuhi ambang batas suara dari hasil pemilu sebelumnya.

Keputusan MK melolosakan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri.

Selama ini, peraturan yang memberikan kewenangan parpol melakukan perekrutan politik tidak memberikan peluang yang demokratis dan transparan bahkan banyak disalahgunakan oleh sebagian elit parpol untuk mematikan proses perekrutan politik yang demokratis.

Baca juga: Merdeka Belajar untuk Indonesia Maju

Sehingga pilkada di tahun 2008, akhirnya parpol mendapatkan pesaing untuk mengajukan calon kepala daerah. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan individu menjadi calon kepala daerah asalkan memenuhi syarat dukungan nyata yang proporsional dengan jumlah penduduk.

Calon independen hadir sebagai representasi dari adanya UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan didukung putusan Mahkamah Konstitusi No.5/PUUV/2007 tentang pencabutan terhadap ketentuan pasal 59 ayat 1 dan pasal 56 ayat 2 UU No.32 Tahun 2004 yang dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat 4 karena hanya memberi kesempatan bagi pasangan calon yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik saja.

Kehadiran calon independen dalam jangka panjang diprediksi akan menyederhanakan jumlah partai secara natural sekaligus membuka mata parpol untuk terus mengevaluasi, mengoreksi dan memperbaiki kinerjanya.

Terlebih kondisi partai politik saat ini yang fluktuatif, tergantung dengan arah percaturan politik, menjadikan mayoritas parpol cenderung tidak sehat. Adanya degradasi peranan partai politik tersebut dianggap sebagai penyebab utama menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja partai politik.

Banyak oknum dari partai politik yang terkena kasus korupsi, suap, narkoba dan tindak kriminalitas lainya. Mayoritas partai politik juga bermasalah di internal partai terutama berkaitan dengan masalah pimpinan partai dan kepengurusan.  

Ada yang harus diperbaiki dari rekrutmen politik dan kandidasi internal partai politik karena berbiaya tinggi. Masalah rekrutmen dan kandidasi semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi ketika dalam setiap seleksi kandidat dikotori oleh transaksi politik uang bernama mahar politik.

Baca juga: Lumbung Pangan Nasional, Solusi Praktis Ala Kapitalis

Bukan lagi menjadi rahasia, bahwa dalam setiap seleksi kandidat terutama kandidat calon kepala daerah terdapat sejumlah uang - disebut ‘mahar politik’- yang harus dibayarkan kepada partai politik. Mahar politik semakin menjauhkan partai politik dari demokrasi.

Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 hampir saja menjadi sebuah percontohan bagi daerah lain, untuk lebih percaya pada pilihan jalur perseorangan dibanding memilih jalur partai politik, kehadiran kelompok relawan pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (saat itu Gubernur DKI), yang kebetulan saat ini bukan lagi kader partai.  

Menjadi sebuah kekuatan yang menakutkan bagi partai politik, partai pun dihadapkan pada realita bahwa kekuatan relawan yang terorganisir potensial menjadi tantangan bagi konsolidasi partai-partai politik.

Buktinya hingga pertengahan tahun 2016 ini, partai-partai besar di DKI masih sibuk menjaring bakal calon untuk pilkada 2017. Untung saja Ahoak akhirnya terbujuk rayuan para petinggi partai dan membatalakan untuk maju lewat jalur perseorangan.

Jika tidak, pasti dipemilihan serentak  2020 akan banyak daerah di Indonesia yang para calonnya tidak akan lagi menggunakan partai politik untuk syarat pendaftaran di KPU dan memilih jalur perseorangan.

Akibatnya, akan terjadi depolitisi partai politik sebagai hukuman kepada perilaku orang-orang dalam partai politik yang banyak  mempertontonkan transaksi politik. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga