PERJUANGAN seorang pemulung tak kenal lelah mengumpulkan puing-puing rupiah dari tong-tong sampah dan tempat-tempat kumuh hingga di dalam laut.
Mereka bergerak ketika semburat merah matahari pecah di ufuk timur Kota Kendari hingga semburat jingga matahari tampak temaram di ufuk barat. Melalui barang-barang bekas yang memberat di punggung, para pemulung kembali ke markas.
Lantas, mereka memilah-milah dan mengumpulkan serpihan-serpihan sampah sesuai dengan jenisnya, untuk selanjutnya dijual kepada para penadah.
Untuk mendapatkan rupiah, seorang pemulung mesti melewati beberapa fase perjuangan yang tidak ringan. Hujatan, teror, intimidasi, dan kekerasan sering kali mereka alami. Tak cuma itu, para pemulung sering dicitrakan sebagai “orang jahat” alias maling yang pantas dicurigai.
Pencitraan dari kebanyakan masyarakat kita yang menganggap para pemulung sebagai maling, ialah cara pandang sempit dan tidak humanis.
Mungkin ada beberapa pemulung yang “tersesat” sehingga punya keinginan memiliki sesuatu dengan cara yang salah. Namun, tak bijak menuduh pemulung identik dengan maling.
Sesungguhnya yang dilakukan pemulung hanya memenuhi tuntutan perut sanak keluarganya. (*)