KDRT dan Subordinasi Laki-Laki

Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 25 Mei 2024
0 dilihat
KDRT dan Subordinasi Laki-Laki
Suryadi, Pemerhati Budaya dan Kepolisian. Foto: Ist.

" Perempuan sebagai manusia memang mahluk ganda. Ia setara (bukan sama) dengan laki-laki, tapi sudah proporsinya pula untuk dilindungi oleh laki-laki yang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin "

Oleh: Suryadi

Pemerhati Budaya dan Kepolisian

KEPEDULIAN konkret, khususnya pada kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT), patut dibangunkan oleh dan pada semua pihak. Oleh karena itu, tindakan cegah dan pembelaan patut pula dilakukan, termasuk oleh kaum perempuan dan si empunya diri itu sendiri.

Tak terbantahkan, bahwa dalam KDRT itu selalu ada relasi kekuasaan lawan jenis atas perempuan.

Bagaimana cegah dan pembelaan dilakukan oleh semua pihak, termasuk oleh kaum perempuan?

Tulisan ini tidak bermaksud men-generalisasi semua laki-laki adalah pelaku KDRT. Masih ada lak-laki yang rasional dan dengan hati yang tulus selama bertahun-tahun merawat sendiri sang istri hingga ajal memisahkan mereka.

Perempuan sebagai manusia memang mahluk ganda. Ia setara (bukan sama) dengan laki-laki, tapi sudah proporsinya pula untuk dilindungi oleh laki-laki yang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin.

Mari longok sejenak peristiwa KDRT ini. Awal Mei 2024 terjadi KDRT di Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat (Jabar). Korbannya, seorang perempuan, Ibu dari tiga anak perempuan pula. Pelakunya, “suami pisah rumah” yang tinggal bersama Sang Ibu dekat dengan korban yang kini mengontrak rumah petak sederhana.      

Pendidikan perempuan itu tak rendah. Ia lulusan diploma dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di kotanya. Melihat predikat pendidikan yang bagus dan tercatat pernah bekerja di sebuah BUMD, cukup intelek.

Toh itu bukan penghalang baginya untuk bekerja paruh waktu sebagai asisten rumah tangga (ART) pada satu keluarga sederhana di kota yang sama. Dari usia, ia masih muda, baru 40 tahun lebih.

Hari itu kebetulan ia tak bekerja. Dari rumah, via telepon genggam tiba-tiba ia beranikan diri “mengadu” kepada kepala keluarga (KK) tempatnya bekerja yang sudah ia anggap sebagai orangtuanya sendiri. Kakak adiknya tinggal terpisah jauh dan sibu dengan aktivitas masing-masing.  

Mengiba ia berceritera, baru saja menjadi korban kekerasan “suami pisah rumah”-nya. Perbuatan KDRT berlangsung di depan mata kedua anak perempuan mereka yang sudah duduk di bangku SMP (ini juga bentuk kekerasan yang menyeramkan bagi kedua anak perempuannya). Saat itu si bungsu tengah bersekolah.

Penglihatannya sempat kabur sebelah, akibat kekerasan yang ia terima di bagian mata kirinya. Saat berceritera, ia mengaku, di rumahnya saat itu sudah ada Ketua RT. Menyusul kemudian, datang seorang Bhabinkamtibmas setempat.

Si KK tempatnya bekerja menyahuti: “Kalau di sana sudah ada Ketua RT dan Bhabinkamtibmas, minta diantarkan saja untuk pergi lapor telah jadi korban KDRT ke Polisi.” Percakapan via telepon genggam terputus sampai di situ.

Lain hari, perempuan itu kembali mengabari via telepon genggamnya lagi, bahwa ia tak jadi melapor ke polisi. Ia ditakut-takuti akan dilaporkan balik oleh mertua perempuannya. Hubungan telepon tak berlanjut.

Bersama anak perempuan bungsunya ia datang Kamis lalu (9/5/24) ke rumah tempat biasa bekerja paruh waktu. Dari tempatnya mengontrak berjarak sekitar sekitar 7 km. Ia mengaku, sudah periksa ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan ia foto. Tetapi,  ia tak jadi melapor untuk sembari minta pengantar visum dari ke Polrestro Depok.

Sekurangnya, ada dua alasan mengapa ia tak jadi mengadu ke Polrestro Depok: pertama, tidak punya uang untuk ongkos bolak-balik ke kantor polisi. Kedua, takut karena  diancam oleh mertua perempuannya telah melakukan pencemaran, dengan bukti-bukti sejumlah percakapan via WhatsApp.

Baca Juga: Makna Fitrah

Tindakan berikut yang bisa ia lakukan, mendaftarkan perceraian ke Pengadilan Agama (PA) setempat. Namun, lagi-lagi persoalan uang membuat prosesnya terhambat sementara. Sebab, ia tak punya uang untuk transport bolak-balik ke PA dan biaya perceraian. Biaya proses perceraian sebesar Rp1.150.000, menurutnya, harus ia tanggung sendiri karena ia yang menggugat cerai.

Kasus kekerasan lain juga menimpa perempuan di daerah lain. Bahkan, korban  tewas dan boleh dibilang cukup sadis. Sejumlah media melansirnya. Pelaku TBD (50)  memutilasi sang istri, Yt (44). Ini kejadian di Desa Sindang Jaya, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jabar. Peristiwa ini terjadi hari Juma, 3 Mei 2024.

Apa pun latar belakang, motivasi, dan alasan KDRT atau kekerasan yang berakibat matinya korban (bahkan dimutilasi), kedua kejadian itu adalah peristiwa dengan pelaku laki-laki. Korbannya, istri pasangan hidup merela.

Jika diungkap mundur ke bekangan lebih jauh, tentu hal serupa (tak sama) akan tersusun sederet peristiwa KDRT di Tanah Air. Senior research Associate Centre for Inovation Policy and Governenance, Klara Esti, Minggu 4 Febrari 2024, mengutip catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, bahwa total jumlah kekerasan dalam sembilan tahun terakhir (2015-2023) mencapai 3.263.585 kasus (cekfakta.tempo.co).

Sementara itu data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) menyebutkan, awal 2023 hingga 12 Desember 2023 saja, tercatat 22.922 orang perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia. Dari seluruh perempuan korban ini, 58,4% di antaranya mengalami kekerasan dalam rumah tangga (databoks.katadata.co, 12/12/23).

Subordinatif

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT pada Pasal 2 menyebutkan, “Ruang lingkup rumah tangga meliputi suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.”

Sudah sangat jelas disebutkan oleh UU tersebut, “KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Ada relasi kekuasaan laki-laki sebagai suami atau kepala keluarga (KK) dengan anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Farrah dari PA Cianjur Jawa Barat menulis, “Sebagaimana budaya yang berkembang di masyarakat, suami adalah kepala keluarga yang memiliki kewenangan leluasa dalam bertindak di lingkup rumah tangga, menyebabkan pelaku KDRT adalah laki-laki. Dalam nilai di masyarakat, perempuan dan anak harus tunduk pada kepala keluarganya. Hubungan suami dengan istri dan anak di Indonesia cenderung subordinatif”.

Bagaimanapun, KDRT merupakan fakta universal. Mengutip sejumlah referensi, Farrah menulis, KDRT dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, umum pelaku dan korbannya.

Oleh sebab itu, terjadinya KDRT, lanjutnya, tidak hanya berangkat dari satu faktor penyebab. Kekerasan ini mengandung kekhususan, yaitu terletak pada hubungan pelaku dengan korban merupakan hubungan kekeluargaan. Akibatnya, korban memenutupi kekerasan yang dilakukan suami. Penegak hukum sulit untuk mendeteksinya (badilag. mahkamahagung.go.id).

Pasti tidak semua laki-laki melakukan KDRT terhadap anggota keluarganya, terutama istri. Setidaknya, di Serang, Banten, Rahmat Ginanjar sudah 13 tahun terakhir merawat istrinya yang terdeteksi terserang cancer.

Ia menanganinya sendiri. Melayani baik  ketika menjalani rawa inap di rumah sakit maupun merawatnya sendiri di rumah.

Ragin, demikian ia kerap disapa karyawan di kantor, dua tahun terakhir, praktis konsentrasinya penuh kepada sang istri, Endang Karmina, yang sudah tidak bangun lagi dari tempat tidur.

Tak sampai di situ saja. Ia juga bekerja sama dengan sebuah bengkel berkreasi memodifikasi tempat tidur pasien untuk memudahkan  evakuasi sang istri ke atas mobil saat akan dibawa ke rumah sakit. Kenyataan serupa ini ia jalani sampai sang istri berpulang 1 Mei 2024.

Ragin tak sendirian. Ada Budi Utomo, Rektor Universitas Muhammadiyah   Lamongan (Umlam),  Jawa Timur telah merawat sendiri istrinya, Suwati, yang lumpuh terpaksa terbujur di tempat tidur, selama 22 tahun lebih. Budi merawat sang istri sejak ia terjatuh dan lumpuh ketika akan menghadiri pernikahan anaknya.

Baca Juga: Polisi dan Hoegeng Award

Malam hari ia membangunkan istrinya untuk tahajud. Subuh berjamaah. Setiap pagi usai memandikan sang istri, ia bersih-bersih rumah. Barulah kemudian ia berangkat ke kantor. Di masa Covid-19 berjangkit hebat, Budi Utomo dan Suwati, juga terserang virus corona itu. Sang istri wafat 4 Juli 2021, dan Budi menyusul 23 hari kemudian.

Pemimpin Itu Teladan

DARI teladan para suami seperti Ragin dan alm Budi Utomo, terinspirasi kaum laki-laki seharusnya memang menjadi pelindung bagi kaum yang lemah.

Mereka pantas memelopori kepedulian konkret yang seharusnya ada pada semua pihak. Pelopor bagi siapa saja, termasuk menumbuhkan mulai dari lingkungan masyarakat sampai ke dalam keluarga sebagai satuan terkecil masyarakat.

Jika telah tumbuh kesadaran dari dalam lingkungan masyarakat, diharapkan akan mampu mendorong tumbuhnya pula perlawanan dari dalam lingkungan keluarga. Ini tentu saja ketika kekerasan (baca: penganiayaan) dialami oleh sang istri atau anggota lainnya dalam rumah tangga. Ini baik fisik maupun psikis dan verbal.

Mengingat budaya subordinatif laki-laki (baca: suami) dalam suatu keluarga, sudah selayaknya, para pihak terkait mendorong tumbuhnya kepedulian konkret dari instansi pemerintah terkait dan lembaga-lembaga lainnya.

Keberhasilan tersebut, dapat diukur dengan cepat tertanganinya peristiwa-peristiwa KDRT.  Bahkan, ukurannya, bukan lagi sekadar dari angka-angka kejadian yang dilaporkan. Demikian pula dengan berumbuhnya mulai dari tindakan sebelum ada potensi sampai kepada tindakan pencegahan.

Sebab, boleh jadi, angka-angka itu hanya semacam gunung es. Masih terlalu banyak kejadian yang tak dilaporkan hanya karena alasan ketakutan si anggota  keluarga, khususnya istri. Alasan hanya takut digugat balik atau alasan kemiskinan materi, sesungguh itu berangkat dari kemandirian dan kekuatan hati si korban.

Sampai di situ, dapat dengan jelas dibaca bahwa penanganan terhadap KDRT haruslah terpadu. Jangkauannya, tak sekadar seminar atau hukum, tapi mampu membuat mandiri anggota keluarga sampai terbangun keluarga dengan kepemimpinan yang demokratis.

Ingat, keluarga adalah satuan terkecil masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat. Kepemimpinan ada, dan justru kepemimpinan itulah yang membimbing kepada penghapusan kaum istri itu bukan lagi kaum yang “ke surga ikut, ke neraka pun terbawa” --suwarga nunut, neroko katut.    

Bukankah Rasulullah SAW ketika menjawab tiga kali pertanyaan dari umatnya siapakah yang harus kau hormati, tiga kali pula ia berkata: “Ibumu…ibumu…ibumu”. Baru kemudian, ia menyebut “Bapakmu”. KDRT terjadi dalam suatu keluarga, tak membedakan budaya, agama, suku bangsa atau siapa! (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga