Memperkuat Nilai Luhur IDI dalam Menghadapi Lingkungan yang Berubah

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Minggu, 29 Oktober 2023
0 dilihat
Memperkuat Nilai Luhur IDI dalam Menghadapi Lingkungan yang Berubah
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015. Foto: Ist

" Dignitasnya tidak akan berubah walaupun manusia itu kehilangan sebagian anggota badannya atau sakit "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015

DALAM acara seminar kebangsaan dalam rangka memperingati HUT IDI ke 73 di Kota Lamongan, Jawa Timur (Senin, 23 Oktober 2004), tampil sebagai narasumber: Prof. Zainuddin Maliki (Anggota Komisi X DPR RI), Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT. (Ketua Umum PB IDI) dan Dr. dr. Sutrisno, Sp.OG (Ketua IDI Wilayah Jawa Timur). Tema yang diangkat, “Memperkuat Tradisi Luhur, Bersatu dan Mengabdi untuk Rakyat Indonesia.”

Ketika memberi tanggapan, penulis lebih fokus kepada upaya memperkuat tradisi luhur profesi dokter dalam hubungannya dengan pengabdian kepada masyarakat. Penulis memulai dari dignity profesi (dokter) dan mengapa profesi itu disebut jabatan mulia. Kemudian membicarakan bangunan rumah dokter Indonesia dan lingkungan yang berubah.

Seorang orator sekaligus penulis dan negarawan Romawi bernama Cicero (106-43 SM) telah menciptakan kata dignitas. Dalam hubungan dokter dan pasien, bila mengacu pada kata dignitas ciptaan Cicero ini akan mempertemukan dua dignitas, yakni dignitas dokter dan dignitas pasien.  

Dignitas dokter, yang karena jasanya menunjukkan level dan keutamaan sehingga bisa naik dan bisa pula turun. Karena itu ia lebih dekat dengan kata “harkat” dalam bahasa Indonesia atau attributed dignity atau extrinsic dignity. Bukan kata “martabat.”

Sementara, dignitas pasien lebih menekankan aspek kesamaan antar manusia. Karena itu, dignitas pasien adalah stabil dan tidak berubah selama pasien itu berwujud manusia. Dignitasnya tidak akan berubah walaupun manusia itu kehilangan sebagian anggota badannya atau sakit.  

Dalam bahasa Indonesia dignitas pasien dimaknai sebagai “martabat” dari bahasa Arab “martabah”, yang berarti kedudukan atau peringkat utama atau mulia. Sering pula disebut martabat manusia, yang dihubungkan dengan istilah intrinsic dignity.

Dokter dipandang sebagai profesi mulia (noble profession) atau jabatan mulia (officium nobile) karena ia selalu menjaga martabat masyarakat. Artinya, kemuliaan jabatan dokter dan profesi dokter terletak pada seberapa besar ia menjaga martabat manusia atau masyarakat. Dalam beberapa literatur, profesi dokter juga disebut masyarakat moral (moral community) karena memiliki dan menjaga cita-cita dan nilai bersama.  

Bangunan Pondasi Lapis Tujuh

Ibarat bangunan, organisasi profesi dokter Indonesia (IDI) memiliki pondasi yang bersumber dari sumpah dan etika. Dan juga memiliki pilar dan atap yang kokoh. Organisasi profesi dokter di Indonesia dibangun di atas Pondasi Berlapis Tujuh.  

Baca Juga: Urgensi Penilaian Kesehatan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024

Ketujuh lapisan pondasi yang merupakan nilai luhur profesi adalah: Pertama, mempertahankan dan meningkatkan keilmuan/keahlian. Dua, orientasi utama pelayanan kepada masyarakat. Tiga, otonom dalam memutuskan dan mengawasi profesinya. Empat, dituntut untuk selalu berhati-hati karena adanya pertanggungjawaban.  

Lima, bersikap ikhlas dalam memberi pelayanan dengan menghormati dan mendahulukan kepentingan masyarakat. Enam, mempertahankan etika profesinya sekalipun masyarakat atau bahkan pemerintah berkehendak lain. Tujuh, menjunjung tinggi kesejawatan dan penghormatan kepada guru-gurunya.

Kesejawatan dokter secara khusus disebutkan di dalam Sumpah Dokter Indonesia dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kesejawatan dalam Sumpah Dokter Indonesia. Pasal 10 Sumpah Dokter Indonesia berbunyi: “Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung”

Sedangkan Kesejawatan dalam Kodeki dijumpai di dalam:

Pasal 18 Kodeki: Menjunjung Tinggi Kesejawatan.

“Setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlukan.”

Pasal 19 Kodeki: Pindah Pengobatan

“Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur etik”.

Dalam Sumpah Hippokrates yang diterjemahkan dari bahasa Arab, yang kemudian diperkenalkan kembali oleh Geraldus (abad 12 M) ke dalam kedokteran Barat terdapat: “Saya akan mengajarkan seni kedokteran itu hanya kepada anak-anak saya sendiri, dan kepada anak-anak guru saya, dan kepada murid-murid yang terikat dengan sumpah, dengan jalan pelajaran atau dengan jalan lain yang lazim, dan tidak kepada orang lain.”

Sumpah Hippokrates di atas mengandung makna; “Setiap guru yang mengajar harus dihormati dan kalau perlu disokong hidupnya. Murid-murid yang diajarkan ilmu kedokteran hanyalah anak sendiri, anak guru, dan orang-orang tertentu saja yang memenuhi syarat.”

Lalu, bagaimana penghargaan dan penghormatan profesi dokter terhadap profesi kesehatan lain? Bila kita mencermati kode etik profesi kesehatan seperti di Indonesia, seperti  IDI, PDGI, IAI, PPNI, IBI, kita akan bertemu dengan frasa dan suasana kebatinan yang sama, betapa organisasi profesi tersebut sangat menjunjung tinggi kesejawatan. Dan juga masing-masing menganjurkan kepada anggotanya untuk menghormati profesi lain.

Selain memiliki tujuh pondasi, organisasi profesi dokter Indonesia juga perlu ditopang oleh Pilar Bersusun Empat. Keempat pilar tersebut adalah: Pertama, etika profesi yang diampu oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK). Dua, pendidikan dan pelatihan profesi yang diampu oleh masing-masing kolegium di dikoordinasi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI).  

Tiga, pelayanan profesi oleh masing-masing organisasi perhimpunan yang dikoordinasikan oleh Majelis Pengembangan dan Pelayanan Kedokteran (MPPK). Empat, eksekutif organisasi yang bertanggung jawab ke dalam dan keluar atas organisasi profesi, yakni Pengurus Besar.

Organisasi profesi dokter Indonesia pun dilindungi oleh Atap Bertingkat Tiga. Kalau diatanya apakah ada bangunan di Indonesia yang atapnya bertingkat tiga. Jawabnya ada. Contohnya, Masjid Agung Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Agung Demak, dan Masjid Jepara. Atap bertingkat tiga pada bangunan masjid kuno tersebut bermakna islam, iman dan ihsan.  

Baca Juga: Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024

Lalu, bagaimana dengan Atap Tingkat Tiga bagi profesi dokter Indonesia? Atap tiga tingkat bagi profesi dokter di Indonesia terdiri dari: 1) Atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan atas petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. 2) Kemurnian niat dan moral yang tinggi para pendiri, pengurus, dan anggota. 3) Tetap satu organisasi profesi bagi dokter Indonesia (IDI).  

Perubahan Lingkungan Organisasi Profesi

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar organisasi yang bersangkutan. Interaksi organisasi profesi dan lingkungan yang kemudian membentuk ekosistem seringkali membuat batas antara keduanya sulit ditentukan. Perubahan lingkungan kadang menuntut dilakukannya perubahan organisasi agar dapat bertahan hidup.  

Pertanyaannya, apakah setiap perubahan lingkungan organisasi mengharuskan dilakukan perubahan organisasi? Jawabnya, tidak selamanya. Perubahan hanya dilakukan sewaktu-waktu saja dan itu pun terbatas pada perubahan struktur, perubahan perilaku pengurus dan anggota, serta perubahan teknologis bila ada produk baru atau teknologi baru.

Karena itu, organisasi profesi yang ingin melakukan perubahan perlu memperhatikan tiga hal berikut ini: Pertama, perubahan organisasi dilakukan untuk beradaptasi agar tidak mengganggu ekosistemnya. Dan, perubahan yang salah hanya akan merusak organisasi itu sendiri.  

Kedua, perubahan harus fungsional agar dapat meningkatkan daya tahan organisasi. Perubahan yang disfungsional hanya akan menimbulkan kemerosotan serta melemahkan organisasi. Ketiga, perubahan yang dilakukan hendaknya tetap selaras dengan tujuan dan nilai-nilai luhur yang dianut oleh organisasi profesi tersebut.  

Catatan Akhir

Perubahan yang terjadi di lingkungan eskternal organisasi tidak selama mewajibkan pemimpin atau pengurus organisasi itu untuk melakukan perubahan besar-besar terhadap organisasinya. Demikian halnya untuk organisasi profesi dokter Indonesia.

Andai pun perubahan lingkungan itu betul-betul harus dilakukan maka hendaknya dalam rangka meningkatkan daya tahan IDI sebagai organisasi profesi. Perubahannya pun harus fungsional serta selaras dengan tujuan dan nilai luhurnya sebagai organisasi profesi dokter.  

Tidak perlu merombak apalagi mengganti pondasinya. Bahkan boleh jadi tidak perlu menggati pilar dan atapnya. Karena itu perubahan organisasi hendaknya dilakukan secara matang dan tidak perlu terburu-buru. Wallahu a'lam bishawab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga