NU Jawa Timur Bentuk 40 Posko Antisipasi Kekerasan dan Perundungan Santri
Try Wahyudi Ary Setyawan, telisik indonesia
Rabu, 21 September 2022
0 dilihat
Sekretaris PW NU Jawa Timur, Prof Akh. Muzakki, MAg, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D dan Wakil Ketua PW NU, KH Abdussalam Shohib bersama jajaran pengurus. Foto: Ist.
" Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur mendirikan 40 posko di sejumlah pondok pesantren (Ponpes) untuk melakukan pengawasan dan penegakan kedisiplinan santri. Dasar pembentukan posko tersebut sebagai respon maraknya aksi kekerasan hingga perundungan anak atau santri di kalangan pesantren "
SURABAYA, TELISIK.ID - Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur mendirikan 40 posko di sejumlah pondok pesantren (Ponpes) untuk melakukan pengawasan dan penegakan kedisiplinan santri. Dasar pembentukan posko tersebut sebagai respon maraknya aksi kekerasan hingga perundungan anak atau santri di kalangan pesantren.
KH Abdussalam Shohib, Pengasuh Ponpes Mambaul Maarif Denanyar Jombang, pun menyatakan prihatin. Lebih dari itu, pihaknya pun mendukung adanya upaya-upaya konkret agar masalah kekerasan dan perundungan anak tidak terjadi di Ponpes di masa-masa mendatang.
"Kita semua tentu prihatin, peristiwa itu merupakan semacam peringatan kepada semuanya, terlebih kepada NU yang banyak pesantrennya," tutur Kiai Salam, cucu generasi Pendiri NU KH Bisri Syansuri, Rabu (21/9/2022).
Disadarinya, bagi para ulama pesantren, kini pengasuh Ponpes memerlukan suatu cara yang sungguh-sungguh bisa diandalkan untuk mengelola santri yang tinggal di pesantren.
Baca Juga: Begini Cara Cek BLT Gaji Rp 600.000 Lewat HP
Semua bisa membayangkan Ponpes yang jumlah santrinya sampai belasan ribu, membutuhkan perhatian serius.
"Bisa dibayangkan bagaimana mengelola dan mengawasi sekian banyak santri, ini tentu bukan hal yang mudah. Tentu, pesantren telah membuat skema, manajemen dan lain sebagainya," tutur Kiai Salam, yang juga Wakil Ketua PW NU Jawa Timur.
Para kiai dan ulama pesantren di PWNU Jawa Timur sambungnya, khususnya pengasuh Ponpes berharap, di masa yang akan datang, pesantren bisa lebih dikelola dengan baik sehingga peristiwa yang menyedihkan ini bisa dicegah agar tidak terulang lagi.
Kasus kekerasan di lembaga pendidikan agama dan keagamaan tidak bisa dibenarkan. Karena itu dibutuhkan regulasi sebagai langkah mitigasi dan antisipasi.
"Kekerasan dalam bentuk apapun dan di manapun tidak dibenarkan. Norma agama dan peraturan perundang-undangan jelas melarangnya," tutur Kiai Salam Shohib.
Sedangkan Sekretaris PW NU Jawa Timur, Prof Akhmad Muzakki mengatakan, NU dikenal memiliki jumlah pesantren terbanyak dibanding ormas Islam lainnya. Menurut data Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) atau Asosiasi Pondok Pesantren di bawah naungan NU di Jawa Timur, terdapat lebih dari 6 ribu pondok pesantren yang dikelola dari generasi ke generasi.
Sejumlah pesantren yang berdiri lebih dari satu abad, menjadi rujukan berdirinya pesantren-pesantren di kemudian hari. Seperti Ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus Situbondo, Ponpes Langitan Tuban, Ponpes Sidogiri Pasuruaun, Ponpes Denanyar Jombang, Ponpes Tambakberas dan Tebuireng Jombang.
Baca Juga: Prof Azyumardi Wafat, Menag: Indonesia Kehilangan Intelektual Islam Kaliber Dunia
Dikatakan olehnya Ponpes merupakan institusi pendidikan yang telah mengakar di masyarakat dan mempunyai sejarah panjang, jauh sebelum Indonesia merdeka. Akar tradisi pesantren tak bisa dilepaskan dari semangat dakwah dan perjuangan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat yang baik (khairu ummah) di tengah-tengah masa yang terus berubah.
Memang, lanjutnya wujud pembelajaran di pondok pesantren saat ini telah mengalami banyak perubahan. Bila di masa lalu hanya mengajarkan mengenai kitab kuning, sekarang juga mengadopsi kurikulum madrasah.
Bahkan, sebagian Ponpes mengadopsi kurikulum sekolah umum atau menyusun sendiri. Kurikulum ini biasanya mengkolaborasikan kurikulum madrasah dan sekolah biasa.Meski begitu, sambung Muzakki Ponpes tetap berbeda dengan madrasah. Letak perbedaan keduanya ada pada tradisi, sistem asrama, dan metode pembelajaran. Contohnya, pesantren sangat lekat dengan tradisi kitab kuning, sedangkan madrasah tidak.
"Selain itu, sistem asrama membuat pesantren bisa mendidik santri selama 24 jam dan mengaplikasikan ilmu agamanya dalam kehidupan. Hal ini jelas berbeda dengan madrasah yang memiliki sistem mirip sekolah umum non-asrama," tutupnya. (B)
Penulis: Try Wahyudi Ari Setyawan
Editor: Kardin