Tak Revisi PKPU 10 Tahun 2023, KPU Segera Dilapor ke DKPP

Mustaqim, telisik indonesia
Senin, 11 September 2023
0 dilihat
Tak Revisi PKPU 10 Tahun 2023, KPU Segera Dilapor ke DKPP
Koordinator TePI, Jeirry Sumampow dan Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati bakal lapor KPU. Foto: Kolase

" Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak memiliki itikad baik untuk segera menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan kepada KPU untuk mencabut pasal 8 ayat (2) PKPU 10 Tahun 2023 "

JAKARTA, TELISIK.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak memiliki itikad baik untuk segera menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan kepada KPU untuk mencabut pasal 8 ayat (2) PKPU 10 Tahun 2023.

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan sudah menyiapkan langkah untuk segera melaporkan KPU RI dan Bawaslu RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada 29 Agustus 2023, Mahkamah Agung melalui Putusan 24 P/HUM/2023 telah mengabulkan gugatan hukum terhadap Pasal 8 ayat (2) PKPU 10 Tahun 2023 terkait 30 persen keterwakilan perempuan yang diajukan oleh Perludem, KPI, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini dan Wahidah Suaib.  

Pasca putusan MA tersebut, KPU belum juga melakukan upaya revisi. Pasal 8 ayat (2) PKPU 10 Tahun 2023 yang harus dicabut berdasarkan putusan MA yakni: Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

“Keluarnya putusan MA ini karena ada kekeliruan tafsir dari KPU tentang keterwakilan perempuan. Saya melihat ada kesengajaan dari KPU untuk mengabaikan norma yang sudah pasti,” ujar Jeirry Sumampow dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, di Jakarta pada Senin (11/9/2023).

Baca Juga: BMKG Ingatkan Pemerintah Daerah Risiko Jelang Musim Hujan

Jeirry menegaskan, tidak boleh ada tafsir pembulatan ke atas atau ke bawah dalam penentuan kuota keterwakilan perempuan. Putusan MA seharusnya menyelamatkan KPU dari kesalahan penafsiran norma.

“Ada yang tidak beres dengan KPU karena ada selera yang sesuai dengan pengorder. Norma yang sudah pasti tidak perlu dinegosiasikan. Tiga puluh persen itu norma yang sudah pasti, jadi tidak boleh lagi ada pembulatan ke atas atau ke bawah,” tegas Jeirry yang juga sebagai Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).

Dia meminta KPU jangan cari sesuatu yang malah membuat tahapan pemilu terhambat. Tapi tugas utama KPU adalah memperlancar tahapan pemilu. KPU harus kembali ke norma yang semestinya dan dibutuhkan tindak segera dari KPU untuk merevisi.

“Kesulitan memenuhi kuota perempuan itu kan alasan yang sering disampaikan oleh partai politik. Kalau susah nambah perempuan, ya kurangi saja laki-laki jika alasan perempuan kurang di dapil,” tandas Jeirry.

Untuk melaksanakan putusan MA itu oleh KPU, Bawaslu diingatkan untuk tetap mengawal dan mengawasi. Bawaslu, kata Jeirry, jangan juga diam dan memastikan bahwa KPU melaksanakan putusan MA. Kalau KPU pasif maka Bawaslu harus aktif.

Urgensi waktu yang cukup untuk melakukan revisi juga harus dipahami, tidak hanya oleh Bawaslu tapi juga KPU. Jeirry menduga ada tekanan dan intervensi yang kuat yang dihadapi KPU karena tidak segera melaksanakan putusan MA.

“Kalau (KPU) tidak mampu laksanakan tahapan (pemilu) mending mundur saja. Ini menandakan dinamika politik terlihat ada tekanan di belakang mereka (komisioner KPU). KPU ini lebih pasrah apa yang diinginkan DPR. Kalau Bawaslu juga pasif maka kita laporkan ke DKPP,” tegas Jeirry.

Sebelumnya, KPU telah diminta oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Ketewakilan Perempuan untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU 10 Tahun 2023. Namun, permintaan itu tidak dipenuhi sehingga mereka melakukan judicial review ke MA.

“Putusan MA ini sudah tidak boleh ada tafsir lain terkait kuota keterwakilan 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan. Kalau ada tafsir lain misalnya secara nasional, maka itu tidak memenuhi putusan MA,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati.

Menurut Khoirunnisa, tidak perlu merombak daftar calon. Tapi menambah kuota perempuan di setiap dapil dan waktunya masih cukup. Kalaupun konsultasi ke DPR, kata dia, maka sifatnya cuma pemberitahuan karena ini sudah putusan MA. “Putusan MA ini bukan untuk pemilu selanjutnya tapi Pemilu 2024,” katanya.

Baca Juga: Sempat Seret Nama Ali Mazi, Sengketa Lahan Hotel Sultan Potensi Pidana Baru

Sikap KPU yang lamban menindaklanjuti putusan MA juga dianggap sebagai cerminan tidak adanya kesepahaman di internal penyelenggara pemilu itu. Begitu pun dengan keinginan KPU yang akan berkonsultasi terlebih dulu ke DPR.    

“Harus konsultasi ke DPR bukan merupakan kemutlakan karena ini putusan MA. Kalaupun konsultasi ke DPR dan DPR berbeda pandangan maka konsultasi itu tidak mengikat,” kritik Wahidah Suaib, pemohon yang melakukan judicial review ke MA.

Wahidah menegaskan, putusan MA memberikan kejelasan keterwakilan perempuan tidak hanya konteks demokrasi Indonesia, tapi juga demokrasi global. Dia meminta KPU harus tegas, tidak hanya merevisi tapi juga harus tekankan kepada parpol dan Bawaslu harus mengawasi.

KPU pun didesak memiliki itikad baik untuk segera merevisi PKPU 10 Tahun 2023. “Tidak boleh menghindar, mencari alasan untuk menindaklanjuti putusan MA,” harap Fadli Ramadhanil, salah satu kuasa hukum pemohon judicial review.

Jika keterwakilan perempuan mencapai angka desimal, menurut Fadli, maka pembulatannya harus ke atas sehingga bisa memenuhi kuota keterwakilan perempuan. “Untuk parpol yang belum memenuhi kuota perempuan maka bisa menyesuaikan karena masih ada waktu cukup,” ujarnya. (A)

Reporter: Mustaqim

Editor: Kardin

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Artikel Terkait
Baca Juga