Tes PCR Syarat Penerbangan, Benarkah demi Keamanan Rakyat?
Siti Komariah, telisik indonesia
Minggu, 07 November 2021
0 dilihat
Siti Komariah, Pemerhati Masalah Publik. Foto: Ist.
" PANDEMI COVID-19 memang masih menyelimuti negeri Indonesia, namun angka penyebarannya telah menunjukkan penurunan kasus yang signifikan. Hal ini memberikan angin segar untuk dunia maskapai penerbangan Tanah Air "
Oleh: Siti Komariah
Pemerhati Masalah Publik
PANDEMI COVID-19 memang masih menyelimuti negeri Indonesia, namun angka penyebarannya telah menunjukkan penurunan kasus yang signifikan. Hal ini memberikan angin segar untuk dunia maskapai penerbangan Tanah Air.
Pebisnis maskapai penerbangan mendapatkan sinyal dari pemerintah akan mengizinkan maskapai mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen.
Namun, ada pertimbangan lain yang wajib bagi penumpang yaitu dengan pemberlakuan syarat tes polymerase chain reaction (PCR). Hal ini dibenarkan oleh Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati.
Adita mengatakan, aturan baru ini akan dituangkan secara lebih rinci dalam surat edaran (SE) dari pemerintah. Kemudian Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-2) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM (tribunnews.com, 21/10/2021).
Penetapan kebijakan inipun menuai kritikan dari banyak pihak. Kebijakan tersebut dinilai kontradiktif, sebab tujuan untuk menggeliatkan perekonomian negara justru malah memberatkan rakyat dan membuat rakyat sengsara.
Baca Juga: Titik Jumpa Agama dan Budaya
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh Taqwaddin Husin mengkritik kebijakan wajib tes PCR kepada calon penumpang pesawat udara. Aturan ini dinilai memberatkan masyarakat.
“Kebijakan ini menyusahkan dan memberatkan rakyat, apalagi bagi orang daerah yang perlu ke ibu kota provinsi atau ke Jakarta,” kata Taqwaddin Husin di Meulaboh seperti dilansir dari Antara, Minggu 24 Oktober 2021.
Ia mengatakan kewajiban tes PCR 2x24 jam sebelum berangkat dinilai semakin memberatkan konsumen selaku pengguna jasa pesawat udara. Tentu saja, karena biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penumpang mencapai ratusan ribu rupiah.
Apabila tidak melakukan tes, maka masyarakat tidak boleh naik pesawat. Sedangkan biaya PCR, kata Taqwaddin Husin, masyarakat harus membayar dengan biaya mahal (viva.co.id, 24/10/2021).
Sungguh menyedihkan nasib rakyat negeri ini. Sudah sangat sulit hidup di tengah pandemi yang menghantui, masih saja dihadapkan dengan berbagai kebijakan penguasa yang menyayat hati, seperti komersialisasi tes corona saat melakukan perjalanan udara.
Padahal, jika ditelisik kebijakan ini sejatinya tidak mempertimbangkan standar kesehatan, sebab jika memang standar kesehatan yang digunakan dan demi keamanan rakyat, mengapa mode transportasi lainnya tidak diwajibkan? Sehingga, bisa disimpulkan jika kebijakan ini demi keuntungan segelincir orang atau para pemilik modal, bukan keselamatan rakyat.
Ya wajar, jika hal tersebut terjadi. Sebab, negara kita mengemban sistem kapitalis sekuler yang berasas pada materi. Sehingga, semua standar yang digunakan tanpa terkecuali kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa selalunya hanya mencari keuntungan semata. Dimana kebijakan tersebut jelas mementingkan para pemilik modal.
Selain itu, tugas dan fungsi negara dalam sistem kapitalisme juga hanya sebagai wasit bagi rakyatnya. Negara pun hanya berperan sebagai regulator yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan penguasa, bukan mengurusi urusan rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri dalam mengurus urusan mereka, bahkan di masa pandemi saat ini, seperti menanggung biaya PCR.
Padahal, seyogianya kesehatan merupakan tanggung jawab negara, sehingga negara wajib memberikan akses kesehatan tersebut dengan mudah, murah bahkan gratis, apalagi di musim pandemi. Negara harus hadir terdepan dalam segala urusan rakyatnya, termaksud dalam penanganan pandemi.
Penguasa harus memperhatikan kondisi rakyatnya, bertangungjawab terhadap segala urusan mereka. Sehingga, penguasa tidak boleh menetapkan kebijakan yang salah kaprah, yang nantinya semakin menyengsarakan rakyatnya. Apalagi sampai menggambil keuntungan dari rakyatnya.
Sebagaimana dalam sistem Islam. Negara memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada rakyat, sebab hal tersebut merupakan bagian dari kewajiban negara dalam periayahan (pengurusan) atas rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda "Imam (khalifah) adalah pengurus, ia bertangungjawab atas urusan rakyatnya" (HR. Muslim)
Baca Juga: Cegah Kejahatan, Tantangan Besar Duet Intelkam Polri 'Dofiri-Merdisyam'
Islam memandang jika kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, bukan jasa yang dikomersialkan. Rasulullah Saw bersabda, "Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya" (HR. Al-Bukhori).
Maksudnya negara tidak boleh, bahkan haram mengadakan program yang bertujuan mengkomersilkan segala urusan rakyatnya, termaksud pelayanan kesehatan.
Islam mewajibkan negara bertangungjawab langsung dalam pemenuhan kebutuhan pokok publik, seperti penyediaan layanan kesehatan, murah, gratis dan berkualitas. Islam juga memiliki sumber-sumber pembiayaan yang mutlak. Dimana pembiayaan tersebut telah diatur dalam pembiayaan Baitul Mal sesuai syariat Allah Swt. Sumber pemasukan Baitul Mal seperti dari hasil pengelolaan sumber daya alam.
Sejarah peradaban Islam telah menorehkan catatan dengan tinta emas bahwa sepanjang masa kejayaan Islam, perawatan medis diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Rumah sakit dibangun dan tersebar di kota-kota Islam di seluruh dunia, misalnya, di Cairo rumah sakitnya mampu menampung hingga 8000 pasien.
Tak hanya itu rumah sakit juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang canggih. Kemudian dilengkapi dengan para dokter dan perawat yang berkopenten. Bahkan, layanan kesehatan dalam rumah sakit tersebut menjadi favorite bagi para pelancong asing hanya sekedar ingin menikmati pelayanan terbaik dari tim medis.
Tentunya, dalam catatan sejarah, tim medis selalu menyambut baik siapapun yang hendak berobat, walaupun mereka non muslim sekaligus. Namun, jika mereka tidak menunjukkan tanda-tanda sakit, maka mereka akan disuruh untuk pulang. (*)