Akhir Pandemi COVID-19 Tergantung Kedisiplinan Masyarakat Patuhi Protokol Kesehatan

Affan Safani Adham

Reporter Yogyakarta

Kamis, 23 Juli 2020  /  11:29 am

Prof Dr.rer.nat Dedi Rosadi, S.Si, M.Sc memprediksi akhir pandemi COVID-19 bergantung pada kebijakan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Foto: Ist.

YOGYAKARTA, TELISIK.ID - Guru Besar Statistika Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr.rer.nat Dedi Rosadi, S.Si, M.Sc, menyampaikan prediksi akhir pandemi COVID-19 bergantung pada kebijakan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

Kebijakan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol new normal, menurut Dedi Rosadi, adalah kunci untuk menghadang kenaikan rate penambahan pasien COVID-19.

Dalam perhitungan prediksi yang dilakukan bersama rekannya alumni FMIPA UGM: Drs Joko Kristadi, MSi dan Dr Fidelis Diponegoro, S.Si, MM, berdasarkan tracking data terakhir dan menggunakan berbagai pendekatan pemodelan data-driven (berbasis pergerakan data), terdapat kenaikan nilai proyeksi kasus positif di akhir pandemi COVID-19 yang cukup signifikan dibanding estimasi yang disampaikan sebelumnya pada Juni 2020 lalu.

Prediksi paling optimis diperoleh dengan menggunakan model hybrid kompartemen SIR-Regresi-runtun-waktu dan diperkirakan pandemi COVID-19 akan berakhir di awal November 2020 dengan total kasus positif sekitar 112 ribu orang penderita.

Sementara model Probabilistic Data Driven Model COVID-19 Indonesia, pandemi COVID-19 akan berpuncak di akhir Juli sampai akhir Agustus 2020 dan berakhir di akhir Februari 2021 dengan estimasi total kasus positif sekitar 227 ribu orang penderita.

Adapun angka penularan (Rt) masih di atas 1, yakni bernilai 1.08 pada tanggal 17 Juli 2020.

Berdasar prediksi tersebut, Dedi menyampaikan beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian bersama pada saat ini.

Baca juga: Hasil Melimpah, Surunuddin Apresiasi Poktan Sidomulyo

Pertama, angka perhitungan Rt COVID-19 Indonesia dalam beberapa hari terakhir masih di sekitar 1.08. "Angka ini menunjukkan secara nasional masih harus diwaspadai adanya penularan lokal di beberapa wilayah provinsi atau kabupaten yang menjadi episentrum penyebaran COVID-19," katanya.

Berikutnya, melihat situasi beberapa negara dunia seperti Jepang, Australia, Maroko, Yunani, Hongkong, Kroasia dan Israel, terlihat kemunculan pola gelombang kedua dari kasus positif COVID-19 setelah dilakukan relaksasi dari kebijakan lock down.

"Pola ini belum terlihat untuk negara Indonesia," kata Dedi dalam laman ugm.ac.id.

Namun, di Indonesia terlihat adanya peningkatan jumlah penambahan pasien harian (insidensi) dibandingkan masa sebelum dilakukannya era adaptasi kebiasaan baru.

Tak hanya itu. Dedi menyampaikan perlunya dilakukan pengendalian penyebaran secara lebih optimal di episentrum utama di Indonesia, yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, serta Kalimantan Selatan.

Langkah pengendalian yang dimaksud dengan lebih menggencarkan Tracing, Test dan Treatment (3T) seiring dengan pendisiplinan masyarakat.

Pengendalian provinsi-provinsi lain yang berpotensi membahayakan seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Sumatera Selatan dan Papua perlu dioptimalkan. "Agar Indonesia dapat semakin optimis menatap ke depan," tandasnya.

Reporter: Affan Safani Adham

Editor: Haerani Hambali