Degradasi Konsil Kedokteran: Siapa Untung?
Penulis
Minggu, 04 Agustus 2024 / 3:32 pm
Oleh: Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015
PADA rapat mempersiapkan bahan-bahan untuk memperkaya muatan naskah akademis yang diadakan pada 10 Oktober 1998, Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek secara jelas menyampaikan pendiriannya terhadap niat untuk membentuk badan yang waktu itu diberi nama Dewan Kedokteran Nasional. Hal ini dapat dilihat dari buku Sewindu KKI.
Ketika itu untuk pertama kali dan secara terbuka, Menteri Kesehatan menyatakan pendapat yang positif mendukung pembentukan badan baru tersebut. Pernyataan ini diulangi lagi oleh Menteri Kesehatan pada 4 Maret 1999, kali ini nama badan yang diusulkan adalah Medical Council atau Konsil Kedokteran.
Dengan adanya pernyataan Menteri Kesehatan, membuat tim Pengembangan Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) memperoleh kembali semangat yang sudah hampir padam. Naskah akademis sudah selesai disusun bersama Ikatan Dokter Indonesia, menggunakan bahan pemikiran yang terkumpul selama 20 tahun, yaitu sejak tahun 1978.
Pada saat bersamaan, Menteri Kesehatan sekaligus memberikan alokasi bantuan dana dari Health Project V (HP V), yang berasal dari Bank Dunia untuk membiayai rapat-rapat penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kedokteran.
RUU yang disusun atas permintaan Menteri Kesehatan tersebut mengandung muatan tentang Praktik Kedokteran.
RUU yang mengatur tentang praktik kedokteran ini sudah selesai disusun oleh Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan. Karena itu, dianggap perlu untuk secepatnya bisa diundangkan. Dana untuk penyusunan RUU diperoleh dari Departemen Kesehatan, sehingga dirasa sangat sulit untuk menolak permintaan Menteri Kesehatan.
Nama undang-undang yang akan dibentuk adalah Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran. Dalam konstruksi yang disepakati, pasal-pasal tentang Konsil Kedokteran Indonesia didahulukan di bagian depan. Undang-Undang yang membentuk Konsil Kedokteran di beberapa negara juga dapat berbeda, seperti Medical Reform Act, Medical Act, Medical Registration Act, dan Medical Practitioners Act (bukan Medical Practice Act seperti yang akhirnya terbentuk di Indonesia).
Konsil Menurut UU Praktik Kedokteran
Di lingkup internasional, KKI telah menjadi anggota dari Medical Council Network of WHO South East Asia Region Countries (MCN WHO SEAR) sejak tahun 2007. Anggota The International Association of Medical Regulatory Authorities (IAMRA) sejak September 2011, bahkan menjadi penggagas dan sekaligus anggota dari ASEAN Association of Medical Regulatory Authorities (AAMRA) sejak Nopember 2011. Ketua KKI ketika itu didapuk menjadi Ketua AAMRA yang pertama.
Memang ada negara yang Konsil Kedokterannya berada di bawah Menteri Kesehatan tapi bukan itu yang terbaik. Yang terbaik ialah Konsil Kedokteran berada di bawah Kepala Negara (Raja/Ratu), dan Indonesia sudah mencapai yang terbaik itu, karena KKI bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara.
Indonesia sendiri mengacu pada ‘induk/biang’nya Konsil, Inggris, dimana General Medical Council langsung di bawah Kepala Negara demi menjaga sifat independen sebagai napas, “to guard the people, to guide the profession.” Dan, yang terbaik adalah General Medical Council-UK dengan produk panduan yang digunakan mayoritas Konsil di dunia. Di lingkungan ASEAN, yang pertama mempunyai Konsil adalah Thailand, lalu diikuti Singapore dan Malaysia.
Ketika KKI lahir (2005), justru konsil Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam datang ke KKI untuk belajar. Di negara tersebut di atas konsil juga langsung di bawah Kepala Negara (Raja/Ratu, Presiden). Kalau berada di dalam Kementerian Kesehatan tentu politik yang akan mengatur kebijakannya.
Baca Juga: Dokter Asing dan Indonesia Kita
Selama ini Konsil di Indonesia sudah bagus karena: Pertama, langsung di bawah Presiden sehingga KKI bersifat independen; Kedua, KKI adalah Konsil untuk medis, sehingga betul-betul spesifik pembinaannya tidak campur-campur; Ketiga, membuat unsur masyarakat terlibat dalam pembinaan profesi, baik sebagai anggota KKI maupun sebagai anggota MKDKI;
Keempat, Di MKDKI, masyarakat antusias menyampaikan pengaduan, meski mereka tahu bahwa MKDKI bukan lembaga peradilan pidana atau perdata, melainkan lembaga pembinaan profesi; Kelima, dalam pengambilan keputusan untuk menerbitkan Peraturan Konsil (Perkonsil) harus ada unsur masyarakat yang memberi asupan tentang penjagaan keselamatan pasien.
Terkait pertimbangan utama IAMRA menerima KKI sebagai anggota tahun 2011. Setidaknya tiga pertimbangan utama sehingga IAMRA menerima KKI menjadi anggotanya: Pertama, karena KKI berbasis UU. Konsil di seluruh dunia berbasis UU: Medical Practice Act (a.l Indonesia) dan Medical Act. Tidak ada Konsil berbasis UU Kesehatan yang diterima menjadi anggota IAMRA.
Kedua, karena KKI beranggotakan: profesi (dokter dan dokter gigi), masyarakat, institusi terkait (assosiasi institusi pendidikan kedokteran Indonesia, assosiasi institusi pendidikan kedokteran, assosiasi rumah sakit pendidikan kedokteran, dan assosiasi rumah sakit pendidikan kedokteran gigi) dan Pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Kesehatan); Ketiga, tugas dan fungsi KKI: registrasi, menetapkan standar, fungsi pembinaan profesi.
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengamanatkan pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen (Pasal 1 ayat 3).
Pasal 7, menyebutkan tiga tugas KKI, yaitu: (a) melakukan registrasi dokter dan dokter gigi; (b) mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; (c) melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dlaksanakan bersama dengan lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.
Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan oleh KKI, ditetapkan oleh KKI bersama: Kolegium Kedokteran, Kolegian Kedokteran Gigi, Assosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Assosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (AIPG), dan Assosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia.
Selajutnya, agar KKI dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka KKI dilengkapi dengan fungsi. Pasal 6 menyebutkan, bahwa KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Selain memiliki fungsi KKI pun mempunyai wewenang. Pasal 8 mengatakan, dalam menjalankan tugasnya KKI mempunyai wewenang: (a) menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi; (b) menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter dan dokter gigi; (c) mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi; (d) melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
Dan, (e) mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi; (f) melakukan pembinaan bersama terhadap dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan (g) melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena karena melanggar ketentuan etika profesi.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa KKI bukanlah lembaga super body dalam menjalankan tugasnya. Sebab, dalam banyak hal dilaksanakannya bersama institusi atau assosiasi terkait. Misalnya, pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran, penetapan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi.
Hal yang sama terkait kewenangan KKI. Dari tujuh wewenang KKI, empat di antaranya dijalankan bersama institusi atau assosiasi lain, seperti: mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi; mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi; melakukan pembinaan bersama terhadap dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
KKI diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab langsung kepada oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 14 mengatakan anggota KKI terdiri dari perwakilan unsur, yang ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Kesehatan. Pasal ini mengunci bahwa Menteri Kesehatan dalam mengusulkan keanggotaan KKI harus berdasarkan usulan dari organisasi dan assosiasi.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan KKI diatur sendiri oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Artinya, Menteri Kesehatan tidak diberi kewenangan mengatur dan juga tidak diberi wewenang untuk menunjuk sendiri calon anggota KKI di luar apa yang diusulkan oleh organisasi dan assosiasi. Bahwa belakangan ini Menteri Kesehatan menunjuk sendiri calon anggota KKI di luar yang diusulkan oleh organisasi dan assosiasi, di sinilah pangkal terjadinya kekisruhan dan di sini pula letak penyimpangan itu terjadi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, KKI dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris. Nah, sekretaris KKI inilah yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan. Bukan anggota KKI itu sendiri.
Lebih lanjut, demi menjaga otonomi, kemandirian, dan independensi KKI, maka Pasal 9 dan 10 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan wewenang KKI diatur dengan Peraturan KKI. Bukan Peraturan Menteri. Lalu dipertegas kembali, bahwa Pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur lebih lajut dengan Peraturan Konsil Kedokteran dan Peraturan Konsil Kedokteran Gigi.
Masih terkait otonomi, kemandirian, dan independensi. Menurut UU Praktik Kedokteran 2004, untuk menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan KKI, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil Kedokteran Gigi, dan ketua-ketua divisi KKI, semua dipilih dan ditetapkan melalui rapat pleno KKI. Tidak ditunjuk oleh Presiden, apalagi oleh Menteri Kesehatan.
Konsil Menurut UU Omnibus Kesehatan
Selanjutnya, mari kita bandingkan ketentuan Konsil menurut UU No. 17 tentang Kesehatan dengan ketentuan tentang KKI termasuk di dalamnya Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi, yang ada pada UU Praktik Kedokteran, 2004.
Kita mulai dari definisi Konsil menurut UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 1 ayat 25, Konsil adalah lembaga yang melaksanan tugas secara independen dalam rangka meningkatkan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Dalam mendefinisikan tentang Konsil, UU ini langsung menyebutkan tugasnya. Hal ini berbeda dengan cara pendefinisian yang ada di dalam UU Praktik Kedokteran. Soal cara pendefinisian dan definsi mana yang paling tepat, kita serahkan saja kepada ahli hukum perundang-undangan dan ahli bahasa Indonesia.
Berikutnya, alasan dibentuknya KKI menurut UU No. 17 Tahun 2023. Pasal 268 menyebutkan ada dua alasan. Pertama, untuk meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan tenaga kesehatan; Kedua, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Pasal 268 menjelaskan bahwa Konsil berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab Presiden melalui Menteri dan dalam menjalankan perannya bersifat independen. Pertanyaannya, dengan cara apa Konsil dapat bersifat independen bila pertanggungjawabannya tidak langsung kepada Presiden sebagai Kepala Negara, melainkan harus melalui Menteri Kesehatan?
UU No. 17 Tahun 2023 ini juga menjelaskan tentang peran Konsil. Namun, tidak menjelaskan hal apa yang wajib dikerjakan oleh Konsil. Tidak juga menjelaskan apa kegunaan Konsil sehingganya ia dapat mengerjakan tugasnya. Juga tidak menjelaskan kekuasaan atau kewenangan apa yang dipunyai sehingganya ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Soal, apa perbedaan tugas, fungsi, wewenang, dan peran Konsil dalam peraturan perundangan kita kembali serahkan kepada ahli hukum perundang-undangan dan ahli bahasa Indonesia.
Pasal 269, menyebutkan ada tiga peran Konsil, yaitu: Pertama, merumuskan kebijakan internal dan standardisasi pelaksanaan tugas Konsil; Kedua, melakukan registrasi tenaga medis dan tenaga kesehatan; Ketiga, melakukan pembinaan teknik keprofesian medis dan tenaga kesehatan.
Baca Juga: Pencaplokan Kolegium: Siapa yang Untung?
Pasal di atas menjelaskan bahwa Konsil hanya sebatas merumuskan kebijakan internal dan standardisasi pelaksanaan tugasnya. Artinya, ia tidak diberi kewenangan untuk mengesahkan sendiri kebijakan internal dan standardisasi pelasanaan tugasnya secara otonom dan mandiri. Konsil juga tidak diberi kewenangan untuk mengesahkan standar pendidikan profesi, sebagaimana yang selama ini melekat sebagai tugas institusi KKI di UU Praktik Kedokteran 2004.
Terkait dengan urusan registrasi. Karena STR sudah berlaku seumur hidup dan tidak ada registrasi ulang maka boleh dikata tugas Konsil dalam urusan registrasi terbilang ringan dan sekadar bersifat administratif. Yang agak berat adalah pembinaan teknik keprofesian medis dan tenaga kesehatan. Sebab, Konsil diharapkan dapat melakukannya sendiri. Pasal 269 tidak menyebutkan perlunya kebersamaan antara Konsil dengan organisasi, assosialis, dan institusi lain. Hal ini sangat berbeda dengan UU Praktik Kedokteran yang digusurnya.
Berikutnya, keanggotaan Konsil. Pasal 270 menyebutkan empat unsur dalam keanggotaan Konsil, yaitu: (a) Pemerintah Pusat; (b) profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan; (c) Kolegium; dan (d) masyarakat.
Pada Pasal 270 ini disebutkan Kolegium sebagai unsur keanggotaan Konsil. Sementara Pasal 1 ayat 26 dan Pasal 272 ayat 1, telah menempatkan Kolegium sebagai alat kelengkapan Konsil. Pertanyaannya, Kolegium mana yang akan dijadikan sebagai anggota Konsil dan Kolegium mana yang akan dijadikan sebagai alat kelengkapan?
Lalu, bagaimana nasib Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yang merupakan lembaga otonom KKI (Konsil) di dalam UU Praktik Kedokteran? Sementara pada Pasal 304 UU No. 17 Tahun 2023 hanya menyebutkan bahwa Menteri membentuk Majelis yang tugasnya di bidang disiplin profesi. Majelis dapat bersifat permanen atau ad hoc.
Walau sudah terbit PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, namum belum juga jelas nasib Majelis ini. Sebab, hanya disebutkan bahwa untuk mendukung tugas dan fungsi Konsil dalam peningkatan mutu dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan tenaga kesehatan maka dibentuklah Majelis.
Belum jelas apakah Majelis dapat membuat Keputusan sendiri? Dan, bila membuat keputusan siapa yang akan menanda tangani keputusannya? Apakah ditandatangani oleh Ketua Majelis atau oleh Ketua Konsil, sebab dibentuk untuk mendukung Konsil? Ataukah ditanda tangani oleh Menteri Kesehatan karena dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan?
Bila urusan ini pun harus ditanda tangani oleh Menteri Kesehatan, berarti Kementerian Kesehatan betul-betul telah menjadi super body yang sejati. Semua urusan mau diambil alihnya. Lalu, bagaimana ia dapat menuntaskan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat? Bagaimana triple burden disease dan triple burden disease? Dan, apa kabar skabies, kusta, dan tuberkulosis?
Catatan Akhir
Sekali pun UU No. 17 Tahun 2023 ini mengatakan bahwa Konsil yang akan dibentuknya bersifat independen, namun melihat pasal-pasal yang ada di dalam UU tersebut maupun di dalam Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2024, tampaknya sangat jauh dari sifat independen.
Sebagai contoh, standar pendidikan profesi, standar kompetensi, jenis dan percabangan tenaga medis baru, yang selama ini disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), kini harus diambil alih oleh Menteri Kesehatan untuk menanda tanganinya. Bahkan kebijakan internal dan standardisasi pelaksanaan tugasnya saja, Konsil tidak diberi ruang untuk mengesahkannya.
Konsep Konsil saat ini sudah berbeda dengan Konsil (KKI) yang ada di UU Praktik Kedokteran 2004, yang dirancang untuk menjadi penjaga utama tujuan diaturnya praktik kedokteran. Posisinya terdegradasi dari upaya: memberi perlindungan kepada pasien; mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Jauh dari hakikat Konsil (KKI) yang ototom, mandiri, nonstruktural, bersifat independen, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai Kepala Negara. Jauh dari ‘induk/biang’nya, yang bertangung jawab langsung kepada Raja/Ratu. Persoalan berikutnya, apakah keberadaan Indonesia dengan Konsil barunya ini masih diakui dan diterima oleh MCN WHO SEAR, IAMRA, dan AAMRA atau malah akan didepaknya? Wallahu a'lam bishawab. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS