Kearifan Lokal Sarung Buton di Pulau Makasar: Dilestarikan Penenun Wanita Lansia

Ali Iskandar Majid

Reporter

Minggu, 09 Februari 2025  /  11:18 pm

Maala saat menenun sarung Buton di bawah kolong rumahnya di Sukanaeyo, Pulau Makasar, Sulawesi Tenggara. Foto: Ali Iskandar Majid/telisik

BAUBAU, TELISIK.ID - Sarung merupakan salah satu identitas budaya di berbagai penjuru Nusantara. Di Pulau Makasar, Sulawesi Tenggara, khususnya di Keluruhan Sukanaeyo, terdapat segelintir wanita lanjut usia yang tetap eksis menenun sarung Buton sampai saat ini.

Maala adalah satu dari beberapa wanita tenun di Kelurahan Sukanaeyo yang aktif menenun sarung Buton dari bawah kolong rumahnya. Ia mengatakan saat ini sarung Buton sudah tidak banyak lagi pengrajinnya, hanya ada segelintir dan itu pun yang berusia lanjut.

Dahulu terdapat stigma di kalangan ibu rumah tangga, apabila tidak pintar menenun sarung maka anak gadis akan mendapatkan cibiran di lingkungan sosialnya.

Kendati demikian, demi menjaga identitas budaya agar tidak pudar di tengah perkembangan teknologi baru, mereka tetap setia melestarikan kebiasaan menenun sarung Buton.

Baca Juga: Sampah Cemari Keindahan Bypass Baubau

Butuh waktu berkisar 15 hari untuk satu lembar kain tenun Buton. Ibu-ibu di daerah ini biasanya menenun setiap hari dan mereka dapat menenun satu hingga dua jam per hari.

Maala mengisahkan, zaman dulu orang-orang tidak asal mengenakan sarung tenun, misalnya tenun jenis samasili dan Boka. Kain tenun dengan ciri khas benang perak dan keemasan berkilau itu diperuntukan bagi laki-laki dan perempuan yang bergelar bangsawan (Ode).

“Dulu orang-orang tidak asal pakai sarung tenun karena masing-masing menunjunkan status dan kedudukannya,” tutur Maala, wanita lansia yang masih aktif menenun sarung Buton, Minggu (9/2/2025).

Warna pada kain sarung tenun Buton, menurut Maala, mereprentasikan elemen-elemen di alam semesta dan ada pula objek di sekitar kita.

Wa Sada, wanita penenun asal Lingkungan Bawean, Kelurahan Sukanaeyo, menyebut jenis tenun Lawu Ogena merupakan sarung tenun dengan warna-warna yang memiliki filosofi pada masing-masing nama sarung.

Di antaranya terinspirasi dari warna tumbuhan, seperti bancana kaluku bula (bakal buah kelapa), dalima (buah delima), kambana paratukala (bunga labu), kambana tangkurera (bunga belimbing asam), ontimu jawa (Semangka), dan lumuna uwe (lumut yang menempel pada sumur).  

Lalu ada katamba gawu (warna biru langit cerah), tambaga, ntrouwe (pelangi), ontolu hole (telur goreng), dan burana gola male’i (rebusan gula merah).

Kata Wa Sada, umumnya semua sarung itu memiliki pola garis etnis yang kuat dan berbagai warna. Antara lain warna merah, merah jambu, coklat, kuning, jingga, putih, hitam, biru, dan hijau adalah jenis warna yang sering dikombinasikan sesuai nama-nama sarung.

Dalam sebuah sarung terdapat tiga sampai lima macam warna benang yang digunakan sehingga menghasilkan motif yang indah dipandang mata. Namun, untuk mengahasilkan benang lembut nan kuat, para wanita petenun biasa menggunakan alat tradisional Kagantara untuk proses pemintalan.

Kemudian dilanjutkan dengan tahapan pangururi, yaitu tahapan merapikan benang dan penentuan garis pola sebelum nantinya benang akan ditenun menjadi sebuah sarung. Lalu diikat pada alat tenun tradisional yang bernama tapua.

Alat tenun terdiri dari beberapa komponen, yakni tudakana balida, balida, pando-pando, jangka, kakuti, kusoli, kantaburi, liwuo, dan dopi. Semua alat itu memiliki fungsi masing-masing serta menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kendati demikian, Wa Sada acapkali mendapatkan kendala saat menenun sarung Buton. Salah satunya ialah sering terputusnya benang saat menenun. Namun, hal seperti itu sangat lumrah terjadi dikalangan wanita penenun di daerah ini.

“Kendala membuat sarung tenun Buton ini hanya benang putus saja dan itu bisa diatasi dengan menyambungkannya kembali,” ungkap Wa Sada.

Baca Juga: Gedung Perpustakaan SD Maritim Mola Wakatobi Roboh Diterjang Angin Kencang

Di Pulau Makasar, sarung tenun tetap eksis digunakan pada beberapa momen, seperti acara adat Tuturangiana ndala, alana bulua (akiqah), dan Potala (hantaran lamaran). Lazimnya ibu-ibu di daerah ini datang dengan menggunakan sarung tenun Buton.

Untuk satu lembar sarung tenun Buton dibandrol berkisar Rp 400.000 sampai Rp 450.000. Bahkan bisa mencapai Rp 600.000 sesuai tingkat kerumitan pola pada tenunan, yang hanya dapat dibeli di Buton.

Untuk bisa sampai ke sana dengan cepat, cukup naik jarangka melewati perairan Baubau-Pulau Makasar sekitar 15 menit sampai 25 menit, dengan sewa Rp 15.000 untuk satu orangnya.

Jadi tunggu apalagi, ayo ajak teman atau keluarga Anda untuk datang berkunjunga ke Pulau Makasar dan temukan hal-hal menarik tentang kebudayaan serta kearfian lokal warga di sana. (B)

Penulis: Ali Iskandar Majid

Editor: Mustaqim

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TOPICS