Kekuasaan dan Watak Manusia

Abd. Rasyid Masri

Penulis

Minggu, 14 November 2021  /  2:39 pm

Prof. Abd. Rasyid Masri, Guru Besar Ilmu Sosiologi. Foto: Ist.

Oleh: Prof. Abd. Rasyid Masri

Guru Besar Ilmu Sosiologi

ABRAHAM Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat memiliki cara untuk menguji orang-orang di sekitarnya. Dia menguji watak kepribadian asli bawahannya atau sahabatnya dengan cara memberikan jabatan.     

Apa hubungan kekuasaan dengan watak manusia? Rupanya beliau berkeyakinan bahwa seseorang yang diberi jabatan, banyak yang berubah jadi rakus, sombong dan tak jujur. Maka sang presiden suatu waktu berpidato di depan para pejabatnya dan rakyat Amerika Serikat.     

Abraham Lincoln berkata: “Hampir semua orang bisa dan kuat dalam menghadapi ujian penderitaan, tapi tak banyak orang yang diuji lewat kekuasaan yang berhasil sukses.  Dalam arti bisa lolos dari masalah dan bisa tidur nyenyak di akhir masa kepemimpinannya setelah tak berkuasa lagi."

Baca Juga: Tes PCR Syarat Penerbangan, Benarkah demi Keamanan Rakyat?      

Maka untuk menguji keaslian watak seseorang, coba beri dia kekuasaan. Pasti akan terlihat watak aslinya, karena kekuasaan itu memiliki banyak godaan dan banyak mengubah watak atau kepribadian seseorang.   

Sebelum jadi pejabat, dia pendiam dan sabar, tetapi setalah jadi pejabat berubah jadi garang (orang Makassar bilang langsung jadi 'rewaki‘). Begitu tidak jadi pejabat kembali lagi diam dan pura-pura baik, atau sebaliknya.

Dulu sebelum menjabat dan punya kekuasaan, sangat humanis, begitu dapat jabatan sombongnya minta ampun, congkak dan dijangkiti penyakit cuekisme dengan sahabat di sekitarnya.

Banyak orang yang mabok kekuasaan. Sebelum jadi pejabat orangnya terkenal jujur, berintegritas, amanah dan rajin ibadah, begitu diberi sedikit kekuasaan lupa segalanya.   

Baca Juga: Titik Jumpa Agama dan Budaya

Efek kekuasaan banyak membuat orang menjadi orogan, muncul egoisme pribadi, ego kolompok dengan pikiran sempit, pandai beretorika. Moderasi tapi prilakunya tidak mencerminkan prilaku Moderasi. Banyak bicara toleransi tapi tidak toleran dengan kelompok lain. Bicara integritas tapi prilakunya banyak menerima gratifikasi.    

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berubah kepribadian dan mentalnya. Dia tetap kuat dalam menghadapi ujian, tetap amanah, jujur dan berakhlak mulia. Seperti yang dicontohkan kepemimpinan dalam Islam yakni kepemimpinan Rasulullah SAW dan para khulafaurasidin dan khalifah seperti Umar bin Abdul Azis. Ini meninggalkan jejak sejarah kekuasaan yang patut diteladani.

Pesan moral yang disampaikan oleh Presiden ke-16 Amrerika Serikat Abraham Lincoln dapat menjadi renungan kita bersama, bahwa ternyata kekuasaan dapat menjadi instrumen menguji watak dan karakter asli seseorang. (*)