Ketua JaDI Sultra dan MPM UHO Buka Tabir Penolakan 500 TKA China
Reporter
Sabtu, 20 Juni 2020 / 6:34 pm
KENDARI, TELISIK.ID - Berbagai pendapat muncul menjelang kedatangan 500 lebih TKA China yang akan bekerja di PT VDNI dan OSS di Kabupaten Konawe.
Ketua Presidium JaDI Sultra, Hidayatullah mengatakan, ada sejumlah pernyataan oknum yang seolah mendukung kedatangan 500 TKA. Diantaranya, pendapat oknum yang menyatakan ‘apa yang ditolak’ dari TKA, menurut Hidayatullah, kondisi ini melukai nurani masyarakat.
Ia menyebut, kondisi ini sama dengan pembodohan. Hal itu cukup masuk akal dan punya korelasi. Di mana Pemerintah China memiliki kebijakan bahwa, setiap penanaman investasi di luar negaranya harus diikuti dengan ekspor tenaga kerja. Misalnya kebijakan law of the control of the exit and entry citizen yang diterbitkan pada 1986, tujuannya untuk mengatasi persoalan kelebihan angka tenaga kerja di China.
“Ini pembodohan karena untuk mengatasi kelebihan tenaga kerja di China, maka Indonesia termasuk Sultra adalah daerah yang harus menampung pekerja China. Memang kita di Indonesia termasuk Sultra ini sudah zero dari pengangguran dan kemiskinan,” tanya Hidayatullah, Jumat (19/6/2020).
Mantan Ketua KPU Sultra ini beranggapan, bukan lagi pembodohan justru ini penjajahan di bidang ekonomi. Di mana Indonesia ditumpuk utang dengan ditingkatkan investasi China, sehingga mudah ditekan dan mengikuti kemauan mereka dengan sesuka hatinya. Akhirnya China menambah terus TKA nya yang dominan buruh kasar ketimbang ahli.
“Ini adalah penjajahan di mana kedaulatan kebangsaan kita terinjak-injak di bawah kendali agresi investasi China,” tuturnya.
Baca juga: Masuk Agenda Nasional, Kemendagri Tegaskan Pilkada Serentak Tetap Berjalan
Pembodohan selanjutnya adalah pemerintah Indonesia sangat memprihatinkan karena mudah diperbodohi atau mudah ditekan dengan Investor, akhirnya tidak cakap, tidak transparan, dan tidak jujur kepada rakyatnya sendiri dalam menyikapi kedatangan 500 TKA tersebut.
“Masa iya 500 TKA itu semua Ahli. Ahli tentang apa sampai dengan jumlah 500 orang TKA,” tanyanya lagi.
Bukankah dalam UU Ketenagakerjaan, setiap satu orang TKA wajib ada tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping, yang bertujuan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari TKA. Lalu dari 500 TKA itu berapa buruh kasarnya.
“Masa iya buruh kasar TKA di dampingi juga dengan buruh kasar tenaga kerja lokal kita, di mana logikanya. Pembodohan yang keterlaluan,” ujarnya.
Sekarang jika dihitung sudah sekitar 5 tahun keberadaan PT. VDNI di Kabupaten Konawe. Lalu kenapa sampai saat ini tenaga kerja lokal di Sultra sebagai pendamping ahli TKA belum juga ada alih transfer pengetahuan sebagaimana dimaksud UU ketenagakerjaan.
“Kalau seperti ini tentunya terus saja TKA ini akan mengganggu stabilitas tenaga kerja lokal kita. Masa iya pendampingan tenaga kerja lokal dalam 5 tahun di PT. VDNI itu statusnya buruh terus,” sindir Hidayatullah.
Berarti menurut dia, selama ini PT. VDNI tidak melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja lokal di Morosi, sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA yang terus datang secara bergelombang dalam 5 tahun terakhir.
Baca juga: New Normal, ini Bocoran Film Bakal Tayang di Hollywood Kendari
"Berarti sampai saat ini belum terjadi peralihan posisi pekerja asing ke pekerja lokal (transfer of job dan transfer of knowledge). Lalu Pemrov Sultra tidak mengevaluasi peralihan posisi pekerja asing ke pekerja lokal? Lalu yang 500 TKA itu ahli apa sebenarnya? Pembodohan terus terjadi berulang-ulang,” lanjut, Hidayatullah.
Ia ingin bertanya kepada semua nurani masyarakat Indonesia terkhusus Sultra. Apakah masyarakat tidak tersakiti dan melukai rasa keadilan buruh lokal dengan pembodohan seperti ini?
“Bagi saya ini sangat menciderai rasa keadilan buruh Indonesia,” ujarnya.
Coba bayangkan di masa pandemi COVID-19 seperti ini selain darurat kesehatan. Indonesia mengalami darurat ekonomi dan bahkan darurat PHK terjadi di depan mata. Pekerjaan semakin sulit. Tetapi kenapa justru pekerjaan yang ada akan diserahkan ke asing.
“Semakin menyakitkan, sampai saat ini belum terlihat upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan Gubernur Sultra untuk mengungkapkan kenapa begitu tega dengan menutupi semua ini,” ujarnya.
Baca juga: Polisi Belum Bisa Ungkap Penyebab Kebakaran Pasar Laino
Selain itu Ketua MPM UHO, Baharudin Yusuf Al-Malany mendesak Gubernur Sultra untuk memberikan transparansi informasi kepada masyarakat bahwa, 500 TKA ini adalah benar-benar tenaga kerja ahli, dan keahlian apa saja yang dimiliki oleh 500 TKA ini, misal dengan cara memperlihatkan sertifikasi ahli. Karena setiap orang yang disebut sebagai ahli pasti memiliki sertifikasi ahli. Agar masyarakat Sulawesi Tenggara bisa menerima keputusan Pemerintah Daerah.
Kenapa ini perlu? Agar mampu meredam konflik yang terjadi.
“Sebab yang terjadi hari ini malah betul-betul mengusik kebatinan masyarakat, keadilan terletak di mana? Daerah kita dan kekayaan alam kita, malah di nikmati oleh ivestor asing dan kita hanya mendapat kerusakan alamnya,” ungkapnya.
Tidak bisa dinafikkan bahwa, kita memerlukan tenaga ahli di bidang teknologi, namun di satu sisi mengundang berjibun pertanyaan, apakah 500 TKA ini adalah benar-benar tenaga ahli di bidang teknologi atau tidak? Jika tidak, perkerjaan-pekerjaan ini bisa dikatrol oleh pekerja lokal.
Dia juga meminta Pemerintah Daerah juga untuk memastikan bahwa, visa yang digunakan oleh 500 TKA ini adalah visa kerja bukan visa wisata, karena hal ini sudah beberapa kali terulang.
"Transparansi informasi kepada publik juga diatur oleh UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena melihat isu ini terus digelindingkan dan membuat kegaduhan di masyarakat Sulawesi Tenggara, bahkan ada beberapa elemen masyarakat yang siap melakukan aksi unjuk rasa penolakan 500 TKA tersebut, serta yang paling membekas ada pernyataan ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara yang siap memimpin aksi demonstrasi, kami menunggu hal itu," pungkasnya.
Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim
Editor: Sumarlin