Literasi, Skeptisisme dan Euforia Kebebasan Berpendapat
Penulis
Minggu, 06 Maret 2022 / 4:24 pm
Oleh: Neldi Darmian L
Mahasiswa Akuntansi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
PERSOALAN ini juga mengakar pada karakteristik sosial media yang menyediakan informasi yang “siap saji.” Sosial media dijadikan sebagai sumber informasi utama, sebabnya adalah akses yang mudah dan cepat, sedangkan faktor utama yaitu fakta lengkap untuk melihat satu informasi secara utuh tidak bisa hanya dengan informasi dari media sosial.
Media sosial kita lagi-lagi di ributkan dengan persoalan yang sebenarnya merupakan soal yang bisa diselesaikn dalam ruang dialog, mendengarkan dalih dan dasar mengapa satu keputusan, kebijakan itu bisa dikeluarkan hingga sampai pada penetapan.
Soal toa masjid yang jadi statement Kemenag dan analogi suara toa masjid dengan suara anjing menggonggong adalah penggambaran (permisalan) yang biasa-biasa saja, apabila ini diselesaikan dengan literasi yang dialogis.
Polemik yang sering diributkan sebabnya sebenarnya sederhana. Pengguna sosial media kita umumnya menggunakan satu sumber informasi yang tunggal tanpa adanya verifikasi, pembanding informasi dari pihak lainnya. Hingga akhirnya muncullah glorifikasi yang memanas hingga menjadi perbincangan nasional.
Soal toa masjid dan gonggongan anjing sebenarnya sudah diklarifikasi oleh Kemenag melalui staf khususnya melalui youtube viva.co.id (24/02). Dalam video klarifikasi lengkapnya menjelaskan latar belakang mengapa analogi itu digunakan oleh Kemenag. Jelas disampaikan bahwa suara toa masjid dan gonggongan anjing digunakan sebagai analogi bukan dalam konteks membandingkan.
Dalam penjelasannya Stafsus Kemenag menjelaskan bahwa Gus Yaqut menggunakan kata “misal” dengan membalikkan apabila seorang muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu dimana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti seorang muslim tersebut akan terganggu apabila tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara anjing tersebut.
Literasi
Dalam soal literasi. Literasi menggunakan dasar helicopter view, maksudnya pengguna sosial media dapat menggunakan “tidak hanya satu informasi” untuk dapat langsung menyimpulkan satu persoalan. Dasar persoalan yang dominan di ributkan di sosial media adalah tentang tidak adanya sikap skeptis.
Kita mudah menyimpulkan dan menelan mentah-mentah satu informasi dan kemudian berpendapat. Terlalu hitam putih dalam berpendapat akan rentan, apabila informasi yang kita peroleh bukan informasi utuh, apalagi bukan fakta sebenarnya.
Persoalan ini juga mengakar pada karakteristik sosial media yang menyediakan informasi yang “siap saji.” Sosial media dijadikan sebagai sumber informasi utama, sebabnya adalah akses yang mudah dan cepat, sedangkan faktor utama yaitu fakta lengkap untuk melihat satu informasi secara utuh tidak bisa hanya dengan informasi dari media sosial.
Baca Juga: Kisah Adrian Takelayratoe Sangaji sebagai Perintis Batik Lampung
Bagian ini terkait dengan informasi literacy. Artinya, bagaimana kita sebagai pengguna mampu mencari, menemukan, menilai dan mengevaluasi secara kritis informasi yang ada. Hal ini akan bermuara pada sikap akhir kita ketika merespon satu informasi.
Mengonsumsi informasi melalui media sosial dengan cerdas adalah tentang tanggungjawab, ini bukan soal eksistensi tapi keadaban bangsa kita dengan kultur ketimuran seharusnya bisa menjadi rujukan dalam mengonsumsi informasi dari media sosial.
Skeptisme
Kita sudah kadung dengan banjir infodemi di tahun kemarin yang menyebabkan meluasnya disinformasi tentang pandemi. Hal ini juga menjadi soal bagaimana suplai informasi yang tidak akurat, terdistorsi, palsu bisa tersebar dan mudah untuk dipercaya. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa disinformasi dibagikan dengan tujuan mengarahkan publik melakukan aktivitas yang keliru.
Untuk membendung ini kita perlu skepsisme kritis. Informasi di media sosial bukanlah satu sumber tunggal dan utuh untuk mudah disarikan sebagai fakta sebenarnya. Karakter penyajian informasi (instan) di media sosial adalah faktornya.
Seharusnya, banjir informasi mengarahkan kita pada verifikasi, dengan mencari sudut pandang lain/berbeda. Kombinasi ini akan menimbulkan sikap skeptis kita terhadap informasi awal yang kita baca, setelah itu kita masuk pada proses verifikasi mencari sumber utuh/sebenarnya.
Kita tidak boleh terjebak pada viralitas. Sebab, karakter media sosial adalah persebarannya yang cepat sehingga membuatnya menjadi populer hingga mudah menjadi headline perbincangan publik.
Baca Juga: Aturan Baru Pencairan JHT, Kebijakan Zalim Eksploitasi Para Pekerja
Ini sejalan juga dengan pengaruh sosial bernama konformitas atau perilaku ikut-ikutan, atau perilaku satu arah yang dibenarkan oleh mayoritas, contoh saja pembenaran di sosial media yang dibenarkan oleh satu kelompok tertentu.
Kebebasan Berpendapat
Terbukanya keran informasi bukan tanpa batas dan bebas, sebebas-bebasnya. Dinamis dan mudahnya seorang untuk berpendapat, dengan ketikan jari tangan bukan soal sederhana. Kita bahkan suka melihat dan membaca pada laman media sosial, contohnya saja tetangga, teman, kerabat kita yang menuliskan keresahan pribadi yang sifatnya (seharusnya) privat tetapi dituliskan sebagai konsumsi publik.
Respon yang cepatnya kita terhadap satu informasi hingga begitu ekspresifnya kita memandang dan menggunakan sosial media secara dinamis menjadi blunder. Sekalipun dalam Undang-Undang Dasar menjamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat.
Tetapi pendapat yang dimaksud bukan pendapat yang tidak berdasar fakta sebenarnya. Akan sangat keliru apabila dengan mudahnya tafsir kebebasan berpendapat diartikan dengan sebegitu liarnya, hingga mengesampingkan substansi sebenarnya sebuah pendapat. (*)