MA Kabulkan Gugatan Rachmawati, Secara Politik Sulit Dilaksanakan
Reporter
Rabu, 08 Juli 2020 / 3:02 pm
KENDARI, TELISIK.ID - Pada 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu.
Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin, namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 itu berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019.
MA menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pucuk persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa perlu mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA.
Pendapat dari berbagai kalangan muncul, seperti pengamat politik dan akademisi Universitas Halu Oleo (UHO), Prof. Eka Suaib menjelaskan bahwa ini bisa menjadi polemik dan akan menjadi bentuk kegaduhan baru.
“Ini bentuk kegaduhan baru. Hanya pertanyaannya, mengapa baru dimunculkan sekarang. Padahal, putusan ini pada tanggal 28 Oktober 2019 lalu,” ujarnya saat dikonfirmasi Rabu (8/7/2020).
Baca juga: Pancasila Sebagai Ideologi Negara Perlu Dinormakan
Menurutnya bahwa atas putusan MA ini juga secara politik sulit untuk dilaksanakan. Terlebih walaupun putusan itu dilaksanakan tidak ada kemanfaatan di tengah-tengah publik.
“Jadi putusan ini, secara politik sulit untuk dilaksanakan. Soalnya, jika putusan itu dilaksanakan tidak memiliki kemanfaatan publik. Terlebih, penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD dan juga penetapan Jokowi-Ma’ruf sudah melalui proses politik,” ungkapnya.
“Juga sudah melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang putusannya adalah terakhir dan mengikat. Artinya, presiden dan wakil presiden memiliki legitimasi politik yang kuat,” sambungnya.
Tak jauh berbeda, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, meskipun putusan itu diterbitkan, bukan berarti hasil pemilihan presiden lalu dibatalkan.
"Rasanya tidak mungkin Mahkamah Agung membuat sebuah putusan yang membatalkan hasil pemilu, baik langsung maupun tidak langsung," jelas Refly lewat kanal Youtube miliknya Refly Harun.
Ia menjelaskan, membatalkan hasil pemilu bukan kewenangan MA. Refly menyebutkan putusan MA hanya berpengaruh terhadap peraturan yang diterbitkan KPU.
"Cuma soalnya adalah Mahkamah Agung berwenang dalam melakukan uji materi atau judicial review terhadap Peraturan KPU. Peraturan KPU itulah yang dibatalkan," paparnya.
Reporter: Muhammad Israjab
Editor: Haerani Hambali