Makna Silaturahmi bagi Jenderal Sigit, Mantan Direskrim Polda Sultra itu

Suryadi

Penulis

Sabtu, 20 Februari 2021  /  3:39 pm

Suryadi, Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.

Oleh: Suryadi

Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

MUSIK itu terasa universal. Terhadap dangdut, misalnya, mereka yang sebelumnya menyatakan tak suka dan yang sebaliknya, tanpa sadar justru sama-sama bergoyang asyik mengikuti hentakan musik dan dendangnya.

Derasnya arus menolak atau menerima, jika cerdas “menikmatinya” sebagai sebuah orkestrasi, justru kemudian malah memunculkan keindahan sebagai sebuah kekuatan baru untuk balik men-chalenge-nya.

Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo kini tengah berada di awal-awal pembuktian bahwa, keterpilihannya sebagai Kapolri baru adalah untuk “kerja-kerja” orkestrasi bagi kemaslahatan bangsa. Disebut orkestrasi, karena yang dikumandangkan adalah dendang hasil kerja tim berupa harmoni nada-nada yang begitu kompak dan ‘composized’.  

Ke dalam, Polri masih menghadapi persoalan bersifat kultural yang merupakan warisan era sebelum 21 Mei 1998 (a.l. main kuasa, koruptif, kolutif, dan nepotis, demi gaya hidup hedon). Hal ini dapat dipastikan sangat mengganggu pengoperasian fungsi-fungsi struktural organisasi, bila tidak terus-menerus dibenahi.

Sementara, ke luar Polri harus berhadapan dengan dinamika masyarakat yang secara umum dalam berdemokrasi masih didominasi oleh ketidakpahaman tentang beda “kebebasan berpikir dengan kebebasan berekspresi” yang mengantarkan pada abai akan tertib hukum.

Padahal, masih bertumpuk-tumpuk persoalan sosial yang dapat tereskalasi akibat ketidakpahaman tersebut sehingga terbangun menjadi potensi kerawanan, baik yang dapat segera meletup sebagai peristiwa tindak kejahatan (kriminal) atau tinggal menunggu picunya saja. 

Itulah bagian dari realitas yang harus dihadapi di reformasi. Selayaknya, reformasi sebagai gerak perubahan dihikmahi dengan kesyukuran yang tinggi, sehingga reformasi jangan dipahami sebagai suatu revolusi.

Perlu kesabaran dan kecermatan untuk sebuah perubahan yang cenderung merombak, agar tidak justru malah mencipta kondisi amburadul yang berujung pada kerusakan akibat pola pikir yang keliru.

Dalam “tertib politik” Huntington menulis, “revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan di dalam masyarakat, terutama menyangkut lembaga politik, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan dalam waktu yang cepat” (2003: 315).

Polisi adalah representasi dari Pemerintah suatu negara di bidang keamanan dan penegakan hukum. Polisi yang sipil adalah bagian dari Pemerintah negara demokrasi.  

Artinya, polisi merupakan bagian dari Pemerintah yang dihasilkan oleh proses politik yang berpuncak pada “elektoralship” tanpa faktor-faktor pengotor, termasuk hal-hal yang tergolong main kuasa, koruptif, kolutif, dan nepotis, demi gaya hidup hedon.

Rakyat senantiasa memantau dan menontoni bagaimana suatu Pemerintah lahir dari sebuah proses demokrasi yang luhur dengan capaian kemenangan yang wajar atau sebaliknya, justru penuh keganjilan-keganjilan.

Penulis sependapat dengan Prof. Tito dan Prof. Hermawan tentang parameter umum capaian kinerja polisi. Dalam “democratic policing” keduanya menulis, “kepuasan publik adalah patokan untuk melihat efektivitas kinerja kepolisian.”

Tetapi, lanjut keduanya, “Efektivitas kinerja itu tidak dapat dicapai hanya melalui jargon semu dan program kerja cepat. Transisi perubahan pola pemolisian dari era non-demokratik menjadi demokratik merupakan jalan panjang, di mana kepolisian berubah dari alat kekuasaan  menjadi pelayan publik” (2017: 52).

Jenderal Sigit, yang pernah menjadi Direskrim Polda Sultra, dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Kapolri menggantikan seniornya Jenderal Pol. Idham Azis, di Istana Negara, Rabu, 27 Januari 2021.

Ia adalah Kapolri di tengah tengah Indonesia yang tak kunjung dewasa berdemokrasi. Kepadanya dihadapkan tantangan yang tidak ringan. Secara umum, tantangan tersebut datang dari dalam Polri sendiri maupun dari luar. Lebih kurang seperti tergambar di awal-awal tulisan ini.

Baca juga: Tokom Polri, Tongkat Pelayanan

Konstitusionalitas

Untuk itu, sebagai “konduktor” Polri bersama segenap staf utamanya di tingkat markas besar (Mabes) Polri dan para Kapolda, Sigit dituntut bekerja ekstra melahirkan kebijakan yang operatif terkendali bagi sekitar 500 ribu anggota Polri di seluruh Tanah Air.

Disiplin ketat ke dalam menjadi mutlak demi keluar memberikan rasa aman dan terayomi pada masyarakat (eksternal) melalui langkah-langkah pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).

Rangkaian ini  dapat dilaksanakan secara kreatif dan inovatif, dengan penuh tanggung jawab dalam bingkai ketentuan aturan hukum dan penegakannya. Tegasnya, secara konstitusional telah disebutkan oleh UUD ’45, kemudian dijabarkan oleh UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Secara khusus dapat dibaca antara lain:

Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Bab XII, Ps. 30 (4) UUD ’45). Kemudian dijabarkan oleh UU No. 2 tahun 2002, antara lain:

Kamtibmas adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya kamtib dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat (Bab I Ps. 1.5);

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang harkamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Bab I Ps. 2);

Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya kamtibmas, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Bab I Ps. 5);

Polri merupakan alat negara…. (Bab I Ps. 5); dilanjutkan bahwa:  

Polri berada di bawah Presiden; dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Presiden….(Bab II Ps. 8 [1] dan [2]);

dengan Tugas pokok: memelihara kamtibmas; menegakkan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat (Bab III Ps. 13 a, b. c).

Tulisan ini secara relatif coba berfokus pada silaturahmi sebagai upaya yang kreatif dan inovatif untuk menemukan salah satu jalan keluar bagi polisi yang demokratis di tengah masih terus hidupnya nilai-nilai kesetempatan (lokalitas).

Baca juga: E-Sertifikat Tanah Tragedi atau Solusi?

Kembali ke Kultural

Membaca pasal-pasal terkait langsung Polri pada UUD ’45 dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, tentu jauh lebih mudah ketimbang mengimplementasikannya. Persoalan sesungguhnya, ada pada internal Polri sendiri yang belum selesai mereformasi diri menjadi polisi yang ‘civilize’ baik sebagai institusi maupun person-personnya dengan orientasi yang utuh di satu sisi, dan realitas masyarakat di lapangan di lain sisi.

Cara pandang yang tepat, barangkali, dengan melihat hal tersebut sebagai masalah Polri (sebagai bagian Pemerintah) bersama masyarakat. Mengingat, setiap SDM Polri pasti bersumber dari masyarakat. Dalam kalimat sederhana, sosiolog hukum Prof. Satjipto menulis, “polisi bukan birokrasi di belakang meja, melainkan bekerja langsung di tengah-tengah masyarakat… Pekerjaannya menuntut tatap muka dengan masyarakat,…dengan orang baik-baik, dengan orang tidak baik atau jahat” (2002: 147).

Oleh karena itu, kekayaan akan nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat, yang mungkin saja banyak terabaikan, bila digali lebih dalam justru akan menginspirasi lahir suatu pemecahan yang efektif.  

Pemikiran yang tumbuh dari situ yakni menemukan solusi dengan menggali kedalaman nilai-nilai kesetempatan (lokalitas) masyarakat itu sendiri, guna melahirkan langkah-langkah bersama yang arif dan efektif, dalam konteks pelayanan hukum dan harkamtibas.

Hasilnya, kelak akan dinikmati oleh masyarakat sendiri. Apa itu? rasa aman yang tumbuh beriringan dengan terus menurunnya kriminalitas, berkat kebersamaan yang terbina secara proporsional antara Polri dan masyarakat.

Baca juga: Selamat HPN 2021, Profesional Matang

Dua Paradigma Polisi

Mungkin, pola semacam itu cocok bagi kiprah Polri di seluruh Tanah Air. Sehingga, akan lebih baik bila semua anggota Polri berpikiran dan berhati seperti ditulis Baldwin dan Kinsey, “Sebagian besar polisi akan berpendapat  bahwa keterlibatannya yang lebih erat dengan masyarakat adalah sebuah unsur tradisional dari kegiatan polisi” (“Police, Powers & Politics” 2002: 264).

Mengingat, masyarakat Indonesia secara umum memiliki pola tertentu dalam memecahkan persoalan bersama yang terlembagakan, yaitu musyawarah, maka, dua paradigma vertikal dan horizontal pada  diri polisi dapat berjalan secara efektif.

Keduanya yaitu: “paradigma kekuasaan” dalam jenjang vertikal berhadapan dengan masyarakat seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat dan sebagainya; “paradigma kemitraan dan kesejajaran” yaitu polisi dan rakyat berada pada aras yang sama atau hubungan yang bersifat horizontal (Satjipto, 2002: 42 – 43).

Itulah agaknya, mengapa Kapolri Sigit yang pernah menjadi Kapolda ke-12 Banten (5 Okt. 2016-13 Agustus 2018), lebih mendahulukan silaturahmi ke berbagai pihak di awal-awal kepemimpinannya ketimbang urusan-urusan lain.

Tentu saja, ketika silaturahmi menjadi pilihan di awal 100 hari pertama 100janya, ia sudah memastikan bahwa pembenahan pada tingkat manajerial oleh struktural Mabes Polri ke bawah berjalan. Termasuk di dalamnya, persoalan mutasi dan promosi yang sangat membebani organisasi Polri.

Apalagi, saat ini diperkirakan masih ratusan perwira tinggi dan 400-an perwira menengah berpangkat kombes masih antre penempatan.

Bagi Sigit, Banten yang dijuluki “Bumi Beribu Ulama, Beribu Santri” memang punya catatan tersendiri terkait binmas. Di sini ia pernah ditolak melalui sejumlah demo hanya lantaran ia nonmuslim.

Tetapi, ia gigih bekerja lewat langkah-langkah yang strategis, dan akhirnya justru ia mendapat dukungan besar dari para pemuka agama serta berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas). Dua tahun berjalan baik dan efektif kepemimpinannya di Polda Banten.

Selanjutnya ia dipromosi menjadi kepala “polisinya polisi” --Kadiv Propam Polri. Maka, tak mengherankan bila segera setelah dilantik menjadi Kapolri, dia utamakan bersilaturahmi ke PB NU, PP Muhammadiyah, dan Rabithah Alawiyah (RA, organisasi yang mengurusi silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia).

Pada hari yang berbeda, usai meresmikan pembangunan rumah anggota Polri yang rusak akibat gempa di Mamuju, Sulbar, Kapolri melanjutkan bersilaturahmi dengan Ketua MUI Sulsel, Anre Gurutta (AGH) K.H. Sanusi Baco di kediamannya di Makassar, Sulsel. Selain itu, ia juga menyambangi “saudara tua”-nya, TNI serta sesama penegak hukum seperti Mahkamah Agung, KPK, dan Kejaksaan Agung.

Serupa dengan Sigit, serentak para pemimpin kepolisian di daerah-daerah juga melakukannya. Jejaknya di Banten, diteruskan oleh Kapolda Irjen Pol. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H., M.B.A. Bahkan, ia menggulir “12 Comander Wish” yang detil ia gali dari kedalaman lokalitas setempat. Misalnya, “Rukun Ulama-Umarak”, “Subuhan Keliling”, “Saba Pesantren”, “Sowan Sepuh”, “Warung Jumat”, dan “Penguatan Manajemen Media”.

Hal serupa juga dilakukan mantan Kapolda Banten (14 April-5 Oktober 2016), Irjen Pol. Drs. Ahmad Dofiri, M.Si yang kini Kapolda Jawa Barat. Lulusan terbaik Akpol 1989 dengan cepat merebut hati berbagai kalangan di provinsi yang terbagi menjadi 18 kabupaten dan sembilan kota ini.

Seraya menggulir “Reformasi Kultur”, “Peningkatan Kinerja dan Modernisasi”, “Peningkatan Stabilitas Kamtibmas”, dan “Meningkatkan pemberdayaan Media”, Dofiri intens bersilaturahmi ke berbagai tokoh masayarakat dan tokoh agama.

Silaturahmi antara lain ke Abuya K.H. Muhyiddin Abd. Qodir Al-Manafi, pimpinan  Pondok Pesantren Islam Internasional “Asy-Syiffa Walmahmudiyah”, Pamulihan, Sumedang. Ia juga turun langsung menyambangi warga masyarakat terutama yang terdampak COVID-19 di berbagai wilayah termasuk di Pangandaran.

Selain kepada sesama Forkopimda, ia juga bersilaturahmi ke internal, dengan personel di Polres-polres. Hal tak jauh berbeda dilakukan di wilayah Provinsi Lampung oleh Kapolda Irjen Pol. Drs. Purwadi Ariyanto, M.Si.  

Silaturahmi demi silaturahmi dilakukan Sigit sebagai Kapolri. Langkah ini, hendaklah dilihat bukan sekadar keinginan pribadinya, melainkan semangat kelembagaan Polri merangkul semua berbagai pihak untuk masuk ke dalam ruang bersama, demi rasa aman dan terayominya masyarakat.

Meski, masih harus dibuktikan sepanjang masa-masa kepemimpinannya, setidaknya Polri sudah mendapatkan jaminan akses dari Ketua PB NU, Said Aqil Siradj untuk bersinergi dengan NU mulai dari pengurus besar sampai ke tingkat kecamatan.

Sementara  Sekjen PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyatakan sangat mendukung program-program yang berkaitan dengan moderasi beragama yang akan dikembangkan Polri.

Muhammadiyah juga mendukung penuh komitmen melakukan pendekatan humanis dan merakyat dalam menangani dan mengatasi persoalan masayarakat. Bahkan, Muhammadiyah mengusulkan “Polisi Sahabat Umat” untuk ‘tagline’ Polri.

Sementara Ketua Umum RA, habib Zein bin Smith mencatat dengan baik komitmen dalam menjalankan tugasnya, Polri akan melakukan pendekatan secara transparan dan humanis.

Arsul Sani, anggota Komisi III DPR RI, mitra Polri, melihat kegiatan mendahulukan menyambangi organisasi keagamaan, adalah sebagai suatu “tradisi silaturahmi”.  

Langkah ini, menurutnya, akan menumbuhkan kebiasaan bagus yaitu menunjukkan bahwa menjadi pejabat yang pertama-tama perlu dimiliki adalah sikap mendengar, bukan mau didengarkan.

Catatan penulis, kebiasaan mau mendengar merupakan bagian pendemokrasikan diri sekaligus pengakuan akan keberadaan orang lain.

Dalam konteks polisi demokratik, hal ini dapat dimaknai polisi yang menghargai hak-hak sipil, yang tunduk pada prinsip hak-hak sipil, tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan ‘good governance’ serta melakukan pemolisian modern (community policing) (2018: 41).

Mungkin kita sering mendengar orangtua mengingatkan, “Semua terpulang pada niat, dan senang bersilaturahmi itu akan menjadi pembuka jalan mendapatkan rezeki, termasuk persaudaran.” Rezeki, dalam hal ini, adalah semua kebaikan yang didapat.

Silaturahmi sudah dibakukan sebagai kata dalam bahasa Indonesia dengan arti  ‘tali persahabatan’ (KBBI, 2002: 1065). Kemungkinan silaturahmi diserap dari silaturahim yang dalam bahasa Arab, yang terdiri atas dua kata yaitu sillah (hubungan) dan rahim (kasih-sayang).

Seperti halnya “halal bil halal” , silaturahmi tidak dikenal dalam bahasa Arab, kecuali “silaturahim”. Sementara HR Bukhari Muslim dalam narasi hadis menyebutkan, “Rahmat tidak akan turun kepada kaum yang padanya terdapat orang yang memutuskan tali silaturahmi”, yang diartikan, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan (silaturahmi).

Semua tugas Polri berkaitan dengan masyarakat sehingga silaturahmi terasa amat cocok untuk membangun modal sosial baginya. Sementara, tesis dalam teori modal sosial sangat singkat dan tegas, cukup dalam dua kata yaitu ‘soal hubungan’.

Semakin banyak Anda mengenal orang, dan semakin banyak Anda memiliki kesamaan cara pandang dengan mereka, maka semakin kaya modal sosial Anda (Field, 2003: 1). Dengan modal sosial yang dimiliki, setiap anggota Polri, diharapkan akan  lebih bisa membangun jaringan sosial (Field, 2003: 18).

Ini akan amat berguna untuk kepentingan langkah cegah dini dan pencegahan. Dua tindakan ini akan mendukung keyakinan bahwa terus menurunnya jumlah tindak kejahatan yang didukung pelibatan masyarakat, pertanda memang negara benar-benar kian aman dari kriminal.

Jadi, keberhasilan polisi tidak diukur dari tingginya angka kriminal yang diungkap, tapi sungguh-sungguh sebaliknya. Inilah permaknaan orkestrasi silaturahmi yang harmoni. (*)