Selamat HPN 2021, Profesional Matang

Suryadi, telisik indonesia
Senin, 08 Februari 2021
0 dilihat
Selamat HPN 2021, Profesional Matang
Suryadi, Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Foto: Ist.

" Sering-sering, masalah-masalah besar justru dipecahkan oleh mereka yang dianggap kecil. "

Oleh: Suryadi

Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)

TAK ada yang rumit, jika berpikir solutif. Ungkapan lama Latin yang hingga kini tetap relevan: “A cane non magno tenetur aper” ---“Sering-sering, masalah-masalah besar justru dipecahkan oleh mereka yang dianggap kecil.” Para penyandang profesi apa pun, mungkin pernah mengalaminya.

Dokter itu profesi. Demikian juga perawat, tentara, polisi, arsitek, pengacara, notaris, penulis, atau jurnalis, dan banyak lagi profesi yang lain.

Kewenangan, fungsi, tugas, dan kewajiban dari penyandang suatu profesi tidak bisa digantikan oleh penyandang profesi lainnya. Memang demikian adanya, baik karena keahlian khas yang dimiliki atau karena alasan aturan perundang-undangan yang menjustifikasi demikian. Selain itu, masing-masing juga mempunyai pedoman berperilaku dan kode etik.

Dengan demikian, misalnya, karena keahliannya dan sumpahnya, dokter untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya, tidak bisa dan tidak boleh digantikan oleh penyandang profesi lainnya --yang mirip-mirip sekalipun--, seperti perawat atau bidan.

Tentara juga tidak boleh digantikan oleh polisi; arsitek oleh pengacara; pengacara oleh notaris; notaris oleh penulis; penulis oleh jurnalis atau sebaliknya dan seterusnya.

Empirik saja, dulu ketika mulai masuk ke dalam profesi yang saya sandang dan tekuni hingga saat ini, saya belum bisa membedakan sesuatu antara yang sekadar pekerjaan dan profesi. Suatu ketika pernah pindah pekerjaan yang jauh lebih menjamin untuk menjadi mapan. Tetapi, tak lama kemudian, kembali ke pekerjaan semula.

Itulah saat mulai berada dalam aktivitas yang saya geluti hingga kini dan saya rasakan ini bukan sekadar pekerjaan, tapi profesi. Berbagai kepahitan dialami karena berbagai alasan termasuk kondisi pribadi yang lebih banyak disebabkan oleh masalah keuangan, lingkungan sosial, maupun “sikap memusuhi” dari eksternal. Toh saya bahagia menjalaninya. Seolah-olah ada yang terus memanggil-panggil untuk tetap terus bergelimang di dalamnya. ‘Involve!’

Dengan uraian tersebut, saya tidak ingin memonopoli arti dan makna profesi. Bagaimana kalau sampai dipertanyakan sudah profesionalkah?

Baca juga: Generasi Z, Pedang Bermata Dua

Senior dan Matang

Saya tidak ingin ‘geer’ sendiri alias ‘gede rasa’. Rugi. Menyandang suatu profesi, “ya”, tapi apakah sudah profesional, tentu ini tak bisa cuma klaim dari diri sendiri. Karena, ada tentang keahlian di satu sisi, dan di lain sisi ada pengakuan umum/ dari pihak lain. Apalagi, sampai mengklaim diri senior.

Meskipun begitu, sebetulnya tak ada masalah dengan klaim sudah profesional plus senior sekalipun. Karena, yang terpenting memang senyatanya seperti yang akan kita bahas dalam tulisan ini. Itu pun masih boleh digugat sebagai ‘ngawur’, kalau memang ‘ngawur’. Untuk menemukan persesuaian, tak jadi soal. Moga saja dapat bertemu dalam sahut-bersahut sehat, sehingga tak menjebak diri dalam kepura-puraan. Jangan ada dusta di antara kita.

Kalau banyak penyandang profesi yang berbeda pendapat tentang profesional, senior, dan kematangan, saya syukuri saja, sambil menyorongkan doa “Moga mereka memang jauh lebih profesional, lebih senior, dan lebih matang daripada saya”. Untuk  segala aspek!

Soal senior tak senior, saya teringat pada kalimat iklan ‘nyeleneh’ sebuah produk: “Tua itu pasti, tapi dewasa belum tentu.” Jadi, senior tak senior itu, urgensinya pada  implementasi konkret dengan penuh kematangan atas suatu profesi sehingga dapat disebut profesional.

Bukan klaim verbal atau sekadar menuliskannya sendiri. Sejunior atau sesenior apa pun, jauh-jauh lebih membahagiakan jika menjadi profesional, karena melekat kematangan di situ. Dalam bahasa Betawi pasaran, “kagak cuma numpang nimpe.”

Dari sudut bahasa, profesi bukanlah asli dari bahasa Indonesia, juga bukan dari rumpun bahasa Melayu. Profesional berakar pada kata dasar profesi. J.S. Badudu singkat mengurai ‘profesi’ sebagai: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (keahlian, keterampilan), atau pekerjaan (tenaga ahli) yang daripadanya didapat nafkah untuk hidup. Sementara profesional yaitu bersifat profesi (2003: 286).

Senada dengan itu, mengutip Kamus Prancis-Prancis (Le Nouveau Petit Robert, Paris, 1996) Wibowo menulis, selain menekankan  dimensi teknis pekerjaan (keahlian), juga memberikan wawasan lebih luas mengenai makna kata “profession”. Dalam rumpun makna teknis, kata profesi merujuk pada pekerjaan yang mendapatkan bayaran. Entah dimaknai positif seperti pekerjaan yang memiliki prestise sosial dan intelektual atau pekerjaan spesialis seseorang.

Entah pula dalam makna yang peyoratif apa pun yang menguntungkan seperti profesi pembunuh dan pembohong (Hardiman, 2016: 3). Kata peyoritif berasal dari kata peyorasi yang menurut KBBI diartikan, “Perubahan makna yang mengakibatkan sebuah ungkapan menggambarkan sesuatu yang lebih tidak enak, tidak baik, dsb (2002: 869). Perubahan makna sehingga menjadi rendah.

Baca juga: Bela Negara bagi Generasi Milenial Lewat Media Sosial

Cukup sampai di situ kah? Tidak! “Profession’ merujuk pada “pernyataan umum, pernyataan di depan umum berkenaan dengan kepercayaan, opini, atau tingkah laku tertentu. Dalam makna yang lebih luas, demikian Wibowo, “Profesi ternyata tidak selalu berkaitan dengan bayaran uang atau keterampilan teknis apa pun! Profesi adalah pernyataan di depan umum, saat orang menyampaikan kepercayaan atau opini tertentu” (Hardiman, 2016; 4).

Perbincangan ini meluas hingga menyentuh batas kematangan dari si penyandang suatu profesi, sehingga dapat dikatakan profesional. Di sini ada unsur kematangan dalam menghadapi apa pun yang menantang profesinya. Tantangan itu, boleh jadi hal yang baik menaikkannya ke jenjang lebih baik, tapi bukan mustahil pula justru sebaliknya jatuh karena hal yang “menyenangkan”.

Intinya, bagaimana misalnya, para penyandang profesi dapat dikatakan profesional. Mereka itu boleh jadi para dokter, perawat, tentara, polisi, arsitek, pengacara, notaris,  penulis, atau jurnalis, dan banyak lagi penyandang profesi yang lainnya. Semua itu penyandang profesi yang dituntut matang untuk dapat dijadikan profesional.

Pasti dibutuhkan kematangan untuk itu, mengingat kematangan sebagai salah satu ciri  untuk dapat dikatakan atau mengklaim diri dewasa berprofesi. Unsur lain yang juga tak kalah determinan menjadi dewasa dalam berprofesi adalah mandiri.

Suatu ketika saya diminta untuk berbagi dalam sebuah diskusi. Ada yang bertanya, “Kami kan di desa. Apakah nanti dengan profesi kami ini, akan ada perubahan kehidupan kami menjadi lebih baik?”

Jawabannya, terpulang kepada mereka. Matanglah dalam berprofesi agar dewasa menjadi profesional. Di masa yang ditandai kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi (TI) dewasa ini, jangan lupa banyak membaca, sabar, cermat menghadapi perubahan serta giat berinovasi, tanpa harus meninggalkan pikir, akal, dan hati. Itu pertanda penyandang profesi adalah manusia.

Jangan lupa selalu jadilah kekuatan ekonomi bersama rakyat yang merupakan basis hakiki yang senantiasa disetiai, sebagaimana kokoh berkomitmen pada kebenaran. Ibarat air, si penyandang profesi adalah air, sementara rakyat adalah mata airnya. “A fonte puro pra defluit aqua”, kata ungkapan Latin yang dapat diartikan: “Air jernih keluar dari mata air yang jernih.”

Untuk kaum jurnalis Indonesia, Selamat Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2021. (*)

TAG:
Artikel Terkait
Baca Juga