Larangan Mudik Perlu Kebijakan Nyata Agar Masyarakat Tak Galau
Teti Ummu Alif, telisik indonesia
Minggu, 18 April 2021
0 dilihat
Teti Ummu Alif, Pemerhati Kebijakan Publik. Foto: Ist.
" Pemerintah memutuskan mudik dilarang di tengah pandemi corona. Sontak saja, hal ini membuat masyarakat perantau "galau" karena kehilangan harapan untuk melepas rindu dengan keluarga di kampung halaman. "
Oleh: Teti Ummu Alif
Pemerhati Kebijakan Publik
LARANGAN mudik lebaran tahun 2021, telah resmi diberlakukan pemerintah kepada semua masyarakat Indonesia. Tak terkecuali masyarakat Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Wali Kota Kendari, Sulkarnain Kadir telah menghimbau masyarakatnya untuk berlebaran di Kota Kendari saja. Agar masyarakat tetap aman dari penularan virus corona (Telisik.id 28/3/2021).
Larangan mudik yang berlaku mulai 6-17 Mei 2021 ini, ditetapkan dengan dasar mencegah penyebaran COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini. Aturan ini pun berlaku untuk semua masyarakat. Artinya, tidak hanya bagi anggota TNI, Polri, BUMN, ASN, karyawan swasta, dan mandiri saja.
Tercatat, tahun ini merupakan tahun kedua pemberlakuan larangan mudik. Akankah masyarakat akan kembali menjadi "Bang Toyib" yang tak kunjung pulang pada momen lebaran 2021?
Mudik merupakan salah satu tradisi tahunan yang telah mendarah daging di tengah masyarakat. Lebaran tanpa mudik bagaikan sayur tanpa garam. Terasa hambar. Tak pelak, instruksi pemerintah pusat untuk melarang mudik tahun ini kembali menuai pro kontra sekaligus kekecewaan publik.
Pasalnya, masyarakat seakan mendapat angin segar dengan pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam rapat dengan komisi V DPR. Pada kesempatan itu, Menhub menyatakan bahwa pada prinsipnya pemerintah melalui Kemenhub tidak melarang mudik.
Baca juga: Pancasila Hilang di PP 57/2021
Sehingga, Menhub berharap kegiatan mudik dapat berjalan baik tanpa mengabaikan protokol kesehatan. Sehingga pihaknya akan memperketat pengawasan di transportasi darat, laut, dan udara (Kumparan, 16/3).
Namun, tak berselang lama usai Menhub mengumumkan mudik tidak dilarang, pada Jumat (26/3) sejumlah kementerian terkait yang dikoordinasi Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, telah membahas masalah mudik lebaran tahun 2021.
Pemerintah memutuskan mudik dilarang di tengah pandemi corona. Sontak saja, hal ini membuat masyarakat perantau "galau" karena kehilangan harapan untuk melepas rindu dengan keluarga di kampung halaman.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta pemerintah segera membuat aturan rinci pelarangan mudik lebaran 2021. Menurutnya, larangan mudik lebaran 2021 tanpa disertai dengan mekanisme yang jelas akan membuat masyarakat kebingungan dan bisa mengurangi kepercayaan publik (CNNIndonesia.com 27/3).
Pemerintah juga diharapkan sesegera mungkin mengeluarkan Surat Edaran (SE) pelarangan mudik agar pemerintah daerah bisa melakukan persiapan dan mengedukasi masyarakat.
Sebab, aturan pelarangan yang ketat bisa menjadi simalakama bagi pemerintah, terutama melihat psikologis masyarakat yang tahun lalu juga tidak pulang kampung.
Meski ada aturan, mereka yang ingin mudik bisa saja mencari celah dari aturan yang sudah dibuat. Penerapan regulasi yang tegas itu penting agar larangan mudik tahun ini tak seperti yang terjadi di 2020, di mana pemerintah melarang mudik tapi mengizinkan masyarakat untuk pulang kampung.
Baca juga: Milenial Bicara Politik, Kenapa Tidak?
Ya, pernyataan yang tak sinkron antar pejabat acap kali terjadi di negeri ini. Bahkan kebijakan yang dihasilkan pun sering kontradiktif. Lihat saja, di satu sisi pemerintah berdalih jika pelarangan mudik bertujuan untuk menurunkan angka penyebaran virus COVID-19 yang telah setahun bersarang.
Namun di sisi lain, pariwisata justru dibuka lebar dengan alasan untuk membangkitkan ekonomi negara. Ditambah lagi serbuan TKA yang kian tak terbendung. Sungguh aneh bukan? Alhasil, publik menilai kebijakan pelarangan mudik tahun ini terkesan asal jadi tanpa riset yang matang.
Penguasa mestinya memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi menjelang lebaran di tengah pandemi. Seyogianya, pemerintah menjadikan kebijakan pelarangan mudik tahun lalu sebagai catatan penting.
Mengevaluasi hal apa yang kurang dan segera diperbaiki. Tak lupa menyiapkan strategi jitu agar masyarakat tetap terlindungi dan aktivitas ekonomi tak terganggu.
Dalam kondisi saat ini, negara harus melakukan kewajibannda karena penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya. Saat menyebar wabah menular, negara juga harus menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobaan dan obat secara gratis untuk seluruh rakyat, mendirikan rumah sakit dan laboratorium pengobatan dan lainnya yang termasuk kebutuhan asasi rakyat seperti halnya pangan, pendidikan dan keamanan.
COVID-19 ini semakin menegaskan bahwa dunia ini ibarat satu wadah. Memiliki satu kesatuan dan harus ditata oleh sistem yang satu. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Sebagaimana di masa Sayyidina Umar RA Syam pernah tertimpa pandemi hebat.
Sebagai kepala negara, Sayyidina Umar RA mengambil kebijakan lockdown dengan segala konsekuensinya, karena Syam merupakan bagian dari Daulah Islamiyah. Pandemi dan bebagai dampaknya berhasil ditangani.
Sesungguhnya, saat ini kita sangat membutuhkan negara Rabbani dan seorang kepala negara yang adil. Seorang pemimpin yang berusaha mengangkat masyarakat dari jurang krisis dan kemiskinannya.
Menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas, mengurusi urusan mereka dengan cara yang menjamin keamanan dan martabat mereka melalui penerapan hukum Allah di tengah-tengah mereka, dan membersihkan negeri dari penindasan kaum penjajah. Sehingga masyarakat tak lagi galau saat ingin mudik ke kampung halaman. (*)