Misteri Mata Air Raano, Situs Cagar Budaya yang Dikeramatkan Warga Buton Selatan

Ali Iskandar Majid

Reporter

Minggu, 02 Februari 2025  /  1:51 pm

Mata air Raano yang salak saat ini masih dikeramatkan oleh masyarakat Desa Bola, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan. Foto: Ali Iskandar Majid/Telisik

BUTON SELATAN, TELISIK.ID – Situs budaya mata air Raano yang terletak di Desa Bola, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan, menyimpan cerita mistis yang membuatnya tetap dikeramatkan oleh masyarakat setempat hingga kini.

Mantan Kepala Desa Bola sekaligus juru kunci situs tersebut, La Gunti menceritakan, dahulu penduduk setempat harus menempuh jarak berkilometer untuk mendapatkan sumber air bersih. Hingga suatu hari, seorang pria lanjut usia bernama La Watanjo—atau lebih dikenal sebagai La Rano—secara tidak sengaja menemukan mata air tersebut saat berburu rusa di hutan bersama hewan peliharaannya.

Seiring waktu, sumber air itu dikenal dengan nama Raano, yang dalam bahasa setempat berarti “darah.” La Gunti menuturkan, terdapat berbagai versi mengenai asal-usul nama tersebut.

Cerita Mistis di Balik Mata Air Raano

Bagi masyarakat setempat, mata air Raano memiliki kisah mistis yang dipercayai secara turun-temurun. Hingga kini, setiap proses pembersihan mata air selalu diiringi dengan pukulan gendang dan gong sebagai bagian dari ritual adat.

Konon, air dari mata air ini hanya akan memancar jika terdengar pukulan gendang dan gong dari para peserta ritual pembersihan. Inilah salah satu alasan mengapa mata air Raano tetap dikeramatkan oleh masyarakat sekitar.

"Kalau tidak dipukul gendang atau gong, airnya tidak mau keluar," tutur La Gunti kepada telisik.id, Sabtu (1/2/2024).

Baca Juga: Puncak Kayangan 2: Permata Tersembunyi di Pulau Sombori

La Gunti juga mengisahkan, dahulu mata air Raano memiliki lubang besar dengan aliran yang menembus hingga ke Pulau Bata Atas, Buton Selatan. Namun, lubang tersebut akhirnya ditutup secara permanen karena dikhawatirkan membahayakan, terutama bagi anak-anak.

"Ditutup karena khawatir ada anak-anak yang melompat ke dalamnya," ujarnya.

Bahkan, pernah terjadi insiden di Desa Bola di mana seorang pendatang mengalami penyakit kulit setelah secara tidak sopan berbicara mengenai mata air yang kala itu dalam keadaan kotor. Akhirnya, Parabela (Ketua Adat) setempat harus turun tangan untuk menangani masalah tersebut.

"Tidak boleh sembarangan bicara saat berada di mata air Raano karena sudah ada korban. Itulah mengapa sampai sekarang sumur ini masih kami keramatkan," tandasnya.

Selain cerita mistis tersebut, beredar pula kepercayaan di kalangan masyarakat bahwa pria maupun wanita dewasa yang belum menikah akan segera menemukan jodohnya setelah meminum air dari mata air Raano.

Warisan Cagar Budaya yang Tetap Terjaga

Terlepas dari kisah mistisnya, mata air Raano telah menjadi sumber air bersih utama bagi warga Desa Bola sejak lama. Hingga hari ini, sumur tersebut masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terutama saat musim kemarau.

Mata air Raano juga telah diakui sebagai warisan cagar budaya yang dirawat bersama oleh masyarakat Desa Bola. Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buton Selatan, La Ode Haerudin, mengungkapkan bahwa situs ini telah mendapatkan sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) pada Oktober 2025.

Haerudin menambahkan bahwa tradisi ritual pembersihan mata air Raano rutin dilaksanakan setiap bulan Juni.

Baca Juga: Pesona Wisata Karamba Resto di Teluk Lande Buton Selatan Curi Perhatian Investor Negara Drakor

"Setiap tahun digelar ritual Pilumeano We'e Raano yang diselenggarakan setiap bulan Juni," kata Haerudin.

Ritual Pilumeano We’e Raano: Merawat Sumber Kehidupan

Ritual adat Pilumeano We’e Raano merupakan tradisi membersihkan dan merawat mata air sebagai sumber kehidupan. Prosesi ini diawali dengan ritual pidhupai atau pembakaran kemenyan/dupa yang dilakukan oleh tetua adat bersama masyarakat Dusun Rano.

Sebagaimana lazimnya ritual adat, terdapat tradisi pidawu, yakni pemberian sajian makanan sebagai bentuk penghormatan. Pidawu dilakukan melalui prosesi batata atau permohonan yang dipimpin oleh seorang tokoh adat yang ditunjuk secara turun-temurun.

Ritual ini bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi luhur masyarakat Desa Bola, khususnya Dusun Rano, serta Buton Selatan secara umum. Hingga saat ini, tradisi ini masih dijunjung tinggi dan dihormati sebagai bagian dari kekayaan budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. (C)

Penulis: Ali Iskandar Majid

Editor: Fitrah Nugraha

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

TOPICS