Wa Kaa Kaa, Raja Perempuan Buton dan Makna Merdeka dari Timur Nusantara
Eka Putri Puisi, telisik indonesia
Rabu, 20 Agustus 2025
0 dilihat
Batu Popaua, lokasi pelantikan raja pertama Buton Wa Kaa Kaa. Foto: Eka Putri Puisi/Telisik
" Sejarah Nusantara sering ditulis dari sudut pandang pusat. Kita mengenal Majapahit di Jawa, Sriwijaya di Sumatra, dan raja-raja laki-laki yang dianggap besar "

BAUBAU, TELISIK.ID - Sejarah Nusantara sering ditulis dari sudut pandang pusat. Kita mengenal Majapahit di Jawa, Sriwijaya di Sumatra, dan raja-raja laki-laki yang dianggap besar.
Namun, di antara kepulauan timur Indonesia, terdapat kisah lain yang jarang masuk buku pelajaran sekolah: kisah tentang seorang perempuan yang memimpin kerajaan di pesisir selatan Sulawesi Tenggara, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Ia adalah Wa Kaa Kaa, tokoh yang dalam tradisi Buton disebut sebagai raja pertama sebelum Kesultanan Buton berdiri. Wa Kaa Kaa hadir sebagai jejak penting bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah anomali di Nusantara.
Ia memimpin di awal abad ke-14, di sebuah pulau yang kelak menjadi pusat maritim penting. Ceritanya memberi pelajaran bahwa demokrasi, musyawarah, dan kesetaraan gender telah hidup dalam budaya kita jauh sebelum kita mengenal konsep-konsep itu dari dunia Barat.
Wa Kaa Kaa dalam Tradisi dan Penelitian Sejarah
Seperti banyak kisah sejarah lokal di Nusantara, jejak Wa Kaa Kaa lebih banyak hidup dalam tradisi lisan ketimbang naskah akademis. Dalam cerita rakyat Buton, ia disebut berasal dari Johor, seorang perempuan perantau yang kemudian menetap di Pulau Buton. Ia dipercaya oleh Patalimbona, empat pemimpin komunitas, untuk menjadi raja pertama.
Tradisi lisan menyebutkan bahwa pelantikan Wa Kaa Kaa berlangsung pada tahun 1292 M. Namun, banyak peneliti menilai angka tersebut lebih bersifat simbolis daripada data tradisi lisan menyebutkan bahwa pelantikannya berlangsung pada tahun 1292 M.
Namun, banyak peneliti menilai angka tersebut lebih bersifat simbolis daripada data kronologis yang bisa dipastikan. Penentuan angka ini kemungkinan erat kaitannya dengan kebutuhan legitimasi sejarah lokal. Yang lebih mungkin, kepemimpinan Wa Kaa Kaa berlangsung pada awal abad ke-14, masa ketika struktur pemerintahan Buton Mulai terbentuk.
Dalam naskah lokal, seperti Resensi Kebutonan, Wa Kaa Kaa digambarkan sebagai pemimpin yang menekankan musyawarah dan kesepakatan kolektif. Ia bukan penguasa absolut. Kekuasaan yang dipegangnya dipandang sebagai amanah, bukan hak pribadi.
Baca Juga: Sajo Moane, The Real Pirate Dance dari Wakatobi Tampil di HUT RI ke-80
Konsep ini kemudian diwariskan dalam sistem pemerintahan Buton yang unik: raja atau sultan dipilih melalui musyawarah dan dianggap sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa tunggal.
Di sisi lain, penelitian akademis berusaha memisahkan mana yang tradisi dan mana yang dapat diverifikasi. Menurut tradisi lokal dan analisis sejarah, beberapa kelompok yang turut mendirikan komunitas awal di Buton, dikenal sebagai Mia Patamiana, melibatkan imigran dari Johor. Hal ini juga tercatat dalam buku Sejarah Buton yang Terabaikan karya Susanto Zuhdi.
Namun, hubungan langsung antara kelompok itu dengan figur Wa Kaa Kaa masih sulit dibuktikan secara empiris. Artinya, sebagian kisah tentang asal-usul Wa Kaa Kaa yang konon muncul dari bilah gading itu, tetap berada pada ranah tradisi lisan. Tetapi terlepas dari perdebatan asal-usul, yang tak terbantahkan adalah makna simbolik Wa Kaa Kaa.
Ia dipandang sebagai raja pertama, seorang perempuan yang menjadi fondasi pemerintahan Buton. Kehadirannya menjadi bukti bahwa sejak awal, Buton mengakui kapasitas perempuan dalam memimpin. Dalam konteks sejarah Nusantara yang didominasi laki-laki, ini adalah catatan penting.
Buton, Perempuan, dan Akar Demokrasi Nusantara
Buton sejak lama dikenal sebagai wilayah strategis. Letaknya berada di jalur pelayaran penting yang menghubungkan Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Laut di sekelilingnya kaya, dan masyarakat Buton tumbuh sebagai komunitas maritim yang terbuka pada interaksi luar.
Dalam konteks itulah Wa Kaa Kaa muncul sebagai pemimpin. Ia bukan sekadar simbol politik, tetapi juga simbol keterhubungan. Dengan kepemimpinannya, Buton mulai membentuk jati diri sebagai kerajaan maritim yang berdaulat, sekaligus terbuka terhadap pertukaran budaya.
Lebih dari itu, kepemimpinan Wa Kaa Kaa menunjukkan sebuah model politik yang berbeda dari kerajaan lain. Jika banyak kerajaan di Nusantara bersifat monarki absolut, Buton justru mengembangkan sistem berbasis kolektivitas. Musyawarah menjadi kunci. Pemimpin dipilih dan dapat diganti jika dianggap tidak lagi mampu mengemban amanah.
Banyak antropolog melihat sistem ini sebagai bentuk demokrasi lokal. Demokrasi yang tidak lahir dari buku-buku Barat, tetapi dari praktik hidup masyarakat pesisir. Wa Kaa Kaa adalah awal dari sistem itu. Ia dipilih bukan karena keturunan semata, tetapi karena diyakini mampu memimpin.
Dari perspektif feminisme, hal ini penting. Wa Kaa Kaa hadir sebagai bukti bahwa perempuan di Nusantara tidak hanya menjadi “pendamping” dalam politik, tetapi juga aktor utama. Kepemimpinannya mematahkan anggapan bahwa politik adalah wilayah maskulin.
Ia menandai sejarah bahwa perempuan punya peran dalam mengatur arah bangsa jauh sebelum wacana emansipasi bergulir. Warisan ini terus hidup dalam Kesultanan Buton. Selama berabad-abad, sistem pemerintahan di sana menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi. Sultan dianggap pelayan, bukan penguasa.
Nilai musyawarah, kolektivitas, dan pengabdian menjadi inti. Jika kita bandingkan dengan prinsip demokrasi Indonesia modern, ada garis kesinambungan yang jelas.
Di sini kita melihat bahwa semangat demokrasi dan kesetaraan gender bukanlah “barang impor”, melainkan bagian dari akar budaya Nusantara. Wa Kaa Kaa adalah salah satu tokoh yang menegaskan akar itu.
Refleksi Kemerdekaan dan Warisan Wa Kaa Kaa bagi Perempuan Hari Ini
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sering dipahami sebagai peristiwa politik yang lahir dari perjuangan abad ke-20.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, kemerdekaan adalah hasil akumulasi panjang nilai, tradisi, dan praktik sosial dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam konteks Buton, nilai itu datang dari warisan Wa Kaa Kaa.
Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan bisa dijalankan dengan musyawarah, bahwa kekuasaan adalah amanah, dan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin tertinggi. Semua ini adalah bagian dari nilai kemerdekaan: merdeka dari penjajahan, merdeka dari ketidakadilan, dan merdeka dari belenggu patriarki.
Sayangnya, kisah Wa Kaa Kaa jarang masuk dalam narasi nasional. Kita lebih sering mendengar nama-nama besar dari Jawa atau Sumatra, sementara tokoh-tokoh perempuan dari timur Indonesia tersisih. Padahal, memasukkan Wa Kaa Kaa dalam refleksi kemerdekaan akan memperkaya pemahaman kita.
Kemerdekaan bukan hanya cerita dari Jakarta, tetapi mozaik dari banyak tempat. Bagi perempuan Indonesia hari ini, Wa Kaa Kaa bisa menjadi inspirasi. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah hal baru, melainkan bagian dari sejarah panjang bangsa.
Ketika perempuan masih berjuang untuk mendapatkan ruang politik yang setara, kisah Wa Kaa Kaa menjadi pengingat: kita punya teladan dari masa lalu. Di Buton, nilai warisan Wa Kaa Kaa masih terasa. Musyawarah adat masih digunakan untuk menyelesaikan konflik.
Baca Juga: DPRD dan Pemkot Baubau Tetapkan Perda RPJMD 2025-2029 Jelang Disahkan
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Maman, warga Desa Limbo Wolio sekaligus tour guid heritag yang aktif memberi edukasi tentang Kerajaan Buton. Selain itu, perayaan 17 Agustus di baubau sering diwarnai parade budaya, yang merayakan identitas lokal. Semua itu menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bendera.
Bagi bangsa Indonesia, warisan Wa Kaa Kaa adalah pelajaran penting: merdeka berarti juga mengenal akar sejarah sendiri. Jika kita hanya mengingat pahlawan dari pusat, kita kehilangan gambaran utuh tentang perjalanan bangsa.
Lebih jauh, Wa Kaa Kaa adalah simbol kedaulatan perempuan. Ia hadir di awal abad ke-14, tetapi pesannya masih relevan di abad ke-21: perempuan mampu memimpin, membangun, dan menjaga bangsa. Dalam konteks perjuangan kesetaraan gender hari ini, refleksi atas Wa Kaa Kaa memperkuat bahwa perjuangan itu punya akar historis.
Kemerdekaan Indonesia akan lebih bermakna jika dibaca sebagai hasil dari warisan panjang ini. Bahwa di balik Proklamasi 1945 ada nilai-nilai musyawarah, kesetaraan, dan persatuan yang telah lama hidup di daerah-daerah. Wa Kaa Kaa dari Buton adalah salah satunya.
Wa Kaa Kaa bukan sekadar cerita lokal dari Buton. Ia adalah bagian penting dari sejarah perempuan Nusantara. Melalui kepemimpinannya, kita belajar bahwa demokrasi dan kesetaraan gender telah menjadi bagian dari budaya kita jauh sebelum merdeka.
Menghubungkan kisah Wa Kaa Kaa dengan perayaan 17 Agustus berarti memperluas makna kemerdekaan: tidak hanya bebas dari penjajah, tetapi juga bebas dari belenggu patriarki, bebas untuk menjaga identitas lokal, dan bebas untuk menegaskan kepemimpinan perempuan. (A)
Penulis: Eka Putri Puisi
Editor: M Nasir Idris
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS