Negosiasi Tarif Trump Belum Tuntas, Amerika Tuding QRIS dan GPN Indonesia Penghambat
Reporter
Minggu, 20 April 2025 / 9:41 am
Perwakilan Trump, nilai QRIS dan GPN hambat bisnis, negosiasi tarif belum capai kesepakatan. Foto: Repro vnbusines.
JAKARTA, TELISIK.ID - Ketegangan diplomatik kembali mencuat dalam negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat. Sistem pembayaran domestik seperti QRIS dan GPN menjadi sorotan tajam dari Presiden Donald Trump, yang menilai kebijakan tersebut sebagai penghalang bagi pelaku usaha asing, termasuk dari AS.
Pemerintah Indonesia pun mengambil langkah koordinasi dengan otoritas terkait untuk merespons tudingan tersebut.
Isu penggunaan sistem pembayaran domestik Indonesia mencuat dalam proses negosiasi tarif resiprokal antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat.
Pemerintah AS melalui Presiden Donald Trump menyebut sistem QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan non-tarif yang dinilai merugikan perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.
QRIS dan GPN dipandang oleh pemerintah AS sebagai kebijakan yang memberi keuntungan eksklusif bagi pelaku usaha dalam negeri. Hal ini dianggap membatasi ruang gerak perusahaan asing dalam memasuki ekosistem pembayaran digital Indonesia yang terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti isu tersebut dengan melakukan koordinasi lintas lembaga.
Baca Juga: Tabuh Gendang Perang Dagang, 10 Barang Ekspor Indonesia Paling Berdampak Kebijakan Trump
“Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers daring, seperti dikutip dari iNews, Minggu (20/4/2025).
Pemerintah Indonesia menilai keberadaan QRIS dan GPN sebagai langkah strategis untuk mendorong inklusi keuangan. Kedua sistem tersebut juga diakui mampu memperkuat efisiensi dan kedaulatan sistem pembayaran nasional di tengah dinamika global yang penuh tekanan.
QRIS merupakan sistem pembayaran berbasis kode QR yang dapat digunakan di berbagai platform. Sementara GPN memungkinkan interkoneksi antarbank dan lembaga keuangan domestik untuk menciptakan transaksi yang efisien, aman, dan terintegrasi secara nasional.
Namun, Amerika Serikat tetap melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk hambatan non-tarif. Dalam konteks negosiasi tarif yang sedang berlangsung, hal ini menjadi salah satu poin utama yang dibahas bersama isu-isu ekonomi lainnya yang berkaitan langsung dengan akses pasar dan perlakuan dagang.
“Pembahasan dengan pihak Amerika juga menyentuh kebijakan ekonomi lainnya, seperti perizinan impor, Angka Pengenal Importir (API), OSS, layanan perpajakan dan kepabeanan, serta pengaturan kuota dan sektor keuangan,” ujar Airlangga.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa negosiasi tarif ini merupakan respons atas kebijakan Presiden Trump yang menerapkan bea masuk tinggi terhadap sejumlah produk asal Indonesia.
Beberapa komoditas bahkan dikenakan tarif antara 32% hingga 47%, yang sangat memengaruhi daya saing ekspor nasional di pasar Amerika.
Selain fokus pada sistem pembayaran, pemerintah Indonesia juga mengusulkan agar kerja sama bilateral antara kedua negara diperluas ke berbagai sektor.
Baca Juga: Amerika Bombardir Yaman, 74 Nyawa Melayang di Laut Merah
“Kita juga minta agar Amerika Serikat memperdalam sektor perdagangan, investasi, energi, kerja sama mineral penting, sektor keuangan, pertahanan, dan pendidikan,” kata Airlangga.
Pemerintah Indonesia berharap adanya keadilan dalam perlakuan tarif terhadap produk ekspor dari Indonesia. Menurut Airlangga, Indonesia meminta agar perlakuan tarif terhadap produk Indonesia disetarakan dengan negara-negara pesaing, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
“Kami tegaskan bahwa selama ini tarif yang dikenakan tidak level playing field, termasuk dibandingkan dengan negara pesaing kita di ASEAN. Kita ingin diberikan tarif yang tidak lebih tinggi,” tegas Airlangga.
Negosiasi tarif antara kedua negara ditargetkan rampung dalam waktu 60 hari ke depan. Di tengah proses tersebut, Indonesia juga menyiapkan strategi diversifikasi ekspor ke kawasan Eropa dan Australia guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS. (C)
Penulis: Ahmad Jaelani
Editor: Kardin
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS