PPKM Darurat dan Komunikasi Buruk Pemerintah

Efriza

Kolumnis

Minggu, 18 Juli 2021  /  9:22 pm

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PANDEMI COVID-19 meski sudah berlangsung di Indonesia selama kurang lebih satu tahun empat bulan. Tetapi pemerintah masih saja belum menunjukkan kesolidan dalam penanganan pandemi ini, utamanya komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah masih tidak berjalan dengan baik.

Komunikasi yang buruk ini terjadi terkait dengan nasib Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Ketidakjelasan informasi terjadi karena sinergi para pembantu presiden menunjukkan ketidakkompakan. Kesimpangsiuran dalam menyampaikan informasi menyebabkan komunikasi pemerintah menjadi buruk.

Dampak yang dihasilkan dari komunikasi ini adalah secara perlahan dapat menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah dan juga menimbulkan keraguan terhadap kinerja pemerintah.

Komunikasi yang simpang-siur ini juga tak bisa dianggap hanya sekadar komunikasi semata. Melainkan penulis mencurigai adanya kepentingan yang dijalankan oleh pemerintah. Komunikasi yang terkesan simpang-siur ini jika diamati, meminjam bahasa anak sekarang, bahwa pemerintah sedang “test ombak.”

Pemerintah sedang menunggu respons (feedback) dari masyarakat, sehingga pada akhirnya keinginan luas masyarakat yang akan dipilih dan dijalankan dalam pengambilan keputusan pemerintah. Seakan bahwa pemerintah seiya, sekata dengan permintaan publik.

Pengambilan keputusan dengan cara ini memang terkesan tampak baik. Namun sebenarnya, komunikasi ini menunjukkan lemahnya pemerintah dalam berkomunikasi kepada publik, juga menunjukkan keraguan pemerintah dalam mengambil keputusan, dan lemahnya koordinasi antar elemen instansi atau departemen dari pemerintah terkait.  

Meski buruk, tetapi kelemahan komunikasi ini juga dapat menghasilkan kesempatan dan peluang untuk memperoleh simpatik publik. Langkah ini yang tampaknya digunakan oleh PDI Perjuangan dalam memperbesar simpatik publik kepada partai dari kesimpang-siuran komunikasi pemerintah.

Komunikasi Pemerintah yang Simpang Siur

Dalam pemahaman sistem politik bahwa komunikasi politik merupakan kunci penting dari rangkaian kegiatan dalam proses pembuatan keputusan/kebijakan. Proses politik yang didalam rangkaian ini komunikasi politik tidak hanya tentang input atau masukan yang berupa tuntutan dan dukungan masyarakat semata, maupun hanya tentang output berupa keputusan dan kebijakan.

Tetapi juga terjadi di dalamnya sebuah proses dari artikulasi menjadi agregasi, dan juga adanya respons atau feedback dari masyarakat terhadap proses pembuatan keputusan tersebut.

Komunikasi dan koordinasi yang buruk ini terjadi atas nasib PPKM Darurat. Ketika itu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa Presiden Joko Widodo disampaikannya telah memutuskan memperpanjang penerapan PPKM darurat hingga akhir Juli 2021.

Namun informasi dari Muhadjir Effendy ini malah menghasilkan kesimpang siuran di masyarakat, sebab ternyata keputusan resmi belum ditetapkan dan yang patut menyampaikan sekiranya adalah Luhut Binsar Pandjaitan selaku Koordinator PPKM Darurat.

Baca Juga: Pandemi, dan Usulan-usulan yang Mengabaikan Rakyat

Komunikasi pemerintah seperti ini menyebabkan publik direpotkan karena terlihat pemerintah tidak satu komando. Semestinya, masalah PPKM Darurat yang adalah hal penting yang perlu disampaikan dengan satu pemahaman. Nasib kondisi PPKM Darurat pada dasarnya juga berdampak pada masyarakat dengan ekonomi ke bawah.

Ketidakjelasan komunikasi kepada publik yang dilakukan pemerintah bukanlah hal pertama. Melansir penelitian dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang sempat merilis penelitian mereka tentang komunikasi politik kabinet Presiden Joko Widodo selama Pandemi COVID-19 dengan kurun waktu 1 Januari hingga 5 April 2020.

Dijelaskan berdasarkan hasil risetnya bahwa adanya 37 pernyataan blunder dari pernyataan pemerintah terkait virus covid. Hal mana ke-37 Pernyataan blunder ini terjadi di tiga masa yakni: 13 diantaranya terjadi pada masa krisis pra-krisis COVID-19, kemudian 4 pernyataan terjadi selama masa awal krisis, dan 20 pernyataan terjadi di masa krisis, pernyataan itu disampaikan dari pejabat pemerintahan hingga tingkat eselon 1, (nasional.kompas.com, 2020).

Ketidakbecusan pemerintah dalam berkomunikasi maupun mengedukasi masyarakat melalui komunikasi menyebabkan gelombang kedua pandemi COVID-19 melanda negeri ini. Hingga saat ini masyarakat semakin terbelah antara yang percaya dengan COVID-19 dengan yang tidak mempercayainya.

Ini terjadi, pada awalnya ketika wabah COVID-19 merebak di beberapa negara, Indonesia belum diketahui terjangkiti atau belum. Para pejabat publik dari berbagai tingkatan yang semestinya bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat malah menyampaikan pernyataan-pernyataan yang cenderung meremehkan, seperti: “itu seperti flu biasa, nanti juga sembuh sendiri,” juga “Orang Indonesia tidak terkena wabah korona karena banyak berdoa,” dan “Orang Indonesia kebal Virus Corona karena makan nasi kucing,” atau “makan kapal selam, torpedo, dan sebagainya,” (Eddi Haryoto dkk, 2020:23).

Pilihan kata dalam menyampaikan informasi ini menghasilkan sikap tak acuh dari masyarakat untuk meyakini bahwa COVID-19 adalah berbahaya, masyarakat sekarang banyak yang menyimpulkan bahwa COVID-19 seperti flu biasa.

Padahal misal, terdapat perbedaan anosmia atau kehilangan indera penciuman antara COVID-19 dengan flu biasa, seperti jika sebagian besar pasien COVID-19 yang kehilangan indera penciuman tetap bisa bernapas lega karena hidung biasanya tidak tersumbat atau berair, sedangkan penderita flu biasa indra penciuman hilang akibat hidung tersumbat.

Di tengah situasi komunikasi yang buruk ini ternyata juga dapat dihasilkan manfaat untuk memperoleh simpatik publik. Ketika terjadi kesimpang siuran ini, Ketua DPR Puan Maharani dengan cerdas dapat memanfaatkan momentum ini.

Dengan Puan meminta pemerintah untuk menyampaikan hasil evaluasi PPKM Darurat Jawa-Bali terlebih dahulu, sebelum berencana memperpanjangnya kembali. Sebab, hasil evaluasi ini penting diketahui masyarakat sebagai pihak yang merasakan dampak kebijakan ini (tempo.co, 17 Juli 2021).

Seperti kebetulan, meski diragukana jangan-jangan telah danya kesepakatan yang tersembunyi. Koordinator PPKM Darurat Luhut menyatakan keputusan PPKM Darurat akan diambil setelah dilakukan evaluasi terlebih dahulu.

Hingga tulisan ini diselesaikan nasib PPKM Darurat belum diresmikan namun evaluasi PPKM Darurat sudah disampaikan. Kejadian ini mengesankan bahwa adanya fungsi pengawasan dilakukan oleh DPR melalui Ketua DPR terhadap polemik di masyarakat atas komunikasi pemerintah yang tidak sinergi.

Meski demikian, keuntungan ini tidak saja milik para legislator di Senayan saja, tetapi juga menguntungkan bagi Puan Maharani yang diwacanakan akan maju sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. Puan terkesan begitu tegas menyuarakan aspirasi masyarakat, bahkan pemerintah juga patuh atas permintaan tersebut. Padahal bisa saja ini adalah upaya saling berbagi peran saja atas polemik tersebut.

Baca Juga: Ma'ruf Amin Wakil Presiden Pendamping

Saran untuk Pemerintah

Presiden Joko Widodo semestinya sekarang ini mengevaluasi kinerja para pembantu Presiden termasuk jika perlu menegur para pembantu presiden bahkan melakukan reshuffle jika hanya menciptakan kegaduhan.

Berdasarkan catatan penulis, bahwa dalam periode pertamanya, Presiden Jokowi juga pernah direpotkan dalam hal komunikasi para pembantu presiden. Lalu permasalahan ini dijadikan bahan evaluasi, bahkan ada yang sampai di reshuffle kabinet.  

Saat ini, pemerintah harus mengupayakan komunikasi yang tidak simpang siur, kebijakan yang dikeluarkan telah dilakukan sepemahaman antar elemen instansi atau departemen dari pemerintah.

Sehingga tidak ada yang merasa diabaikan, menjadi “kambing hitam” padahal sudah bekerja sebagai garda terdepan mengatasi pandemi ini, sebab kesan ini akan menghasilkan penilaian negatif terhadap pemerintah, bahwa pemerintah bekerja tidak solid dan komunikasi kurang efektif, ujungnya tentu saja keraguan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Akhirnya, seperti dikatakan Presiden Jokowi bahwa jangan sampai masyarakat frustrasi gara-gara kesalahan-kesalahan kita dalam komunikasi, kesalahan-kesalahan kita dalam menjalankan sebuah keputusan/kebijakan, (detik.com, 17 Juli 2021).

Pemerintah semestinya memahami bahwa kinerja pemerintah dinilai oleh masyarakat bukan saja berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan, kebijakan yang dihasilkan, kecepatan mengeluarkan berbagai kebijakan, ketegasan dan keadilan kebijakan, tetapi juga cara mensosialisasikan, maupun menghimpun dukungan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, ini menunjukkan bahwa semua kinerja pemerintah juga tak lepas dari yang namanya komunikasi.

Sebaiknya, memang kebijakan yang akan dikomunikasikan adalah yang bersifat pasti, sebab dampak kebijakan yang belum jelas malah akan mengurangi kepercayaan masyarakat, berbeda jika kebijakan itu masih bersifat perumusan. Dan, semestinya yang menyampaikan juga merupakan orang yang memang ditelah dipercaya Presiden sebagai penanggungjawab. (*)