Pandemi, dan Usulan-usulan yang Mengabaikan Rakyat

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 11 Juli 2021
0 dilihat
Pandemi, dan Usulan-usulan yang Mengabaikan Rakyat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Di tengah pandemi ini, semestinya sebagai anggota DPR lebih banyak suaranya terdengar di gedung Senayan. Bukan malah teriak kencang, serasa ia menggantikan suara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bersuara di luar parlemen "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PANDEMI COVID-19 yang sedang menjadi gelombang kedua ini. Malah turut menghadirkan suara berupa ketidakpekaan politisi terhadap derita rakyatnya. Kekhawatiran menyelimuti di gedung Senayan, ketika beberapa koleganya terpapar COVID-19, bahkan berita duka juga menyelimuti dengan wafatnya tiga anggota DPR.

Kekhawatiran akibat meluasnya penyebaran virus COVID-19 menyebabkan Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) malah mengusulkan Rumah Sakit Khusus Pejabat, meski akhirnya politisi itu mendapat teguran dari DPP PAN dan sekaligus PAN meminta maaf.

Bukan saja tak peka terhadap penderitaan yang sedang mendera bangsa dan negara ini. Politisi juga malah memancing emosi di masyarakat. Ketika politisi sekaligus legislator, asyik sibuk mengkritik pemerintah dari luar Senayan, tetapi kehadirannya malah minim sebagai legislator yang mewakili rakyat.  

Kelakuan politisi mementingkan panjat sosial (pansos), kelakuan ingin diistimewakan, tentu acap menghiasi berita di media sehingga menjadi konsumsi publik. Serasa sekali bahwa mereka menempatkan dirinya berada di tempat yang megah, sedangkan banyak rakyat yang sedang mengalami kemerosotan ekonomi akibat pandemi COVID-19, malah terabaikan.

Usulan nyeleneh juga hadir dalam ruang-ruang publik. Di tengah Pandemi ini, wacana presiden dipilih lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) disampaikan oleh Pimpinan DPD-RI, dengan beragam alasan yang selalu menyertai adalah biaya yang mahal dan polarisasi di masyarakat.

Bahkan, usulan ini selalu disampaikan dengan makna tendensius terhadap rakyat. Seperti, demokrasi yang diserahkan kepada rakyat untuk memilih, cenderung dianggap menghasilkan orang-orang bodoh ke tampuk kekuasaan dan lebih peliknya lagi dianggap keterpilihan orang-orang bodoh ini disebabkan oleh “pemilih yang bodoh.”  

Sehingga, solusi yang dianggap baik adalah pemilihan presiden dikembalikan ke sistem tidak langsung, yaitu dipilih oleh MPR.  

Konsekuensi Sistem Multipartai

Keriuhan di masyarakat dari banyaknya suara yang bergulir dari politisi, tentu saja baik bagi iklim demokrasi. Jika suara-suara politisi menunjukkan kepada kepedulian terhadap rakyat.

Sayangnya, masih minimnya politisi-politisi bersuara yang menunjukkan kepedulian dengan masyarakat. Malah yang diperdengarkan adalah suara yang cenderung mengeliminasi rakyat, kepentingan rakyat disingkirkan untuk lebih memilih meningkatkan kepentingan diri dan kelompoknya.

Di tengah pandemi ini, semestinya sebagai anggota DPR lebih banyak suaranya terdengar di gedung Senayan. Bukan malah teriak kencang, serasa ia menggantikan suara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bersuara di luar parlemen.

Seperti yang disuarakan oleh Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas). Ia benar menyuarakan, akan kekhawatiran bahwa Indonesia akan menjadi negara gagal (failed nation) dalam menangani pandemi COVID-19.  

Tetapi sayangnya, suara Ibas kencang di luar parlemen, tetapi kehadirannya di parlemen sangat minim. Beberapa kolega Ibas di komisi VI, malah mengajak Ibas untuk hadir di rapat-rapat Komisi VI.

Ajakan ini agar Ibas dapat memberikan masukan seperti kepada BUMN seperti Farmasi, dicontohkan misalnya, sebaiknya dalam bekerja seperti apa yang semestinya dalam meningkatkan pelayanan vaksin kepada masyarakat.

Baca Juga: Ma'ruf Amin Wakil Presiden Pendamping

Padahal, suara Ibas cenderung bagus merujuk data dirinya sebagai politisi di Komisi VI sekaligus Ketua Fraksi Demokrat. Semestinya, ia bisa bersuara dengan mitra kerja antara lain seperti: Kementerian Negara BUMN, Kementerian Perdagangan, Kementerian Investasi.

Jika Ibas lebih banyak bersuara di luar parlemen padahal legislator, itu bukan menunjukkan ia menjalankan tugasnya sebagai legislator yang berperan mengawasi pemerintah, konsekuensi diri mengawal Partai Demokrat sebagai oposisi pemerintah.

Tetapi melainkan, ini menunjukkan Ibas sedang melakukan Pansos semata, menarik simpatik publik hanya untuk kepentingan partainya bukan murni mengatasnamakan rakyat.

Wajar akhirnya, jika suara Ibas yang cenderung di luar Senayan, malah dikucilkan oleh kawan-kawannya sesama legislator. Sebab, ia dianggap bahasa anak sekarang “kudet” atau kurang update. Ia tak bisa mendapatkan objektivitas dari langkah-langkah apa yang telah dilakukan dan akan dilakukan oleh pemerintah.

Ia hanya menunjukkan ambisius pribadi, kepentingan kelompoknya semata, tetapi malah mengecewakan suara-suara masyarakat yang telah memilihnya untuk menduduki jabatan politisi di Senayan.

Masyarakat pun dapat bertanya, jangan-jangan Ibas malah hanya pandai mengkritik tanpa bisa memberikan solusi, makanya suaranya hanya kencang di luar Senayan. Jika seperti itu, untuk apa menjadi politisi yang berjuang sebagai legislator, mending menjadi politisi administrasi di tingkat Pusat partai saja.

Sebenarnya, suara-suara sumbang ini adalah konsekuensi dari sistem kepartaian yang bersifat multipartai. Sehingga, partai-partai hanya berpikir merebut simpatik dan berupaya mencari popularitas semata, ini semua hanya untuk kepentingan diri dan partainya saja. Sehingga melupakan kerja nyata bagi masyarakat.

Semestinya di tengah pandemi ini, banyak kerja-kerja partai yang bisa ditunjukkan untuk meraih simpatik masyarakat tanpa perlu harus selalu bersuara, misal, memberikan dukungan bantuan sosial atas nama partai terhadap masyarakat di daerah pemilihannya yang sedang isolasi mandiri, memberikan program penyemprotan disinfektan bagi masyarakat, maupun mengadakan program-program vaksin bagi masyarakat yang dilakukan atas nama partai.

Tetapi tampaknya politisi-politisi partai, lebih khawatir corona dibandingkan benar-benar berada untuk rakyat dalam program yang dibutuhkan masyarakat. Kekhawatiran hal wajar, dan benar, tetapi itu semua bisa diminimalisir, misal dengan bekerjasama kepada orang-orang yang profesional yang sudah terbiasa bekerja di tengah-tengah pandemi, dan juga mendata lalu mempekerjakan anggota-anggota partainya yang memahami cara bekerja membantu masyarakat dengan cara yang benar tanpa khawatir tertular.

Kesalahan Partai Dilimpahkan ke Rakyat

Di era Reformasi ini telah sangat tegas diatur dalam konstitusi (hasil amandemen UUD 1945) bahwa untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan sebagai calon presiden dan wakil presiden dipilih melalui partai politik.

Semangat ini mengagungkan yang dikatakan oleh EE. Schattschneider (1942) pada pertengahan abad ke-20, bahwa “partai politik menciptakan demokrasi, dan demokrasi modern tak terpikirkan tanpa partai politik, (Richard S. Katz & William Crotty, 2014: 22).

Hasil Amandemen UUD 1945 juga telah menghasilkan keputusan bersama bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat, sehingga karena itu tidak lagi bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR seperti sebelumnya.

Bahkan, juga dijelaskan bahwa Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, keputusan ini pun berkali-kali dikukuhkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak calon independen dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

Baca Juga: Giat Vaksinasi dan Gelombang Kedua COVID-19

Jika diperhatikan dengan seksama bahwa terjadinya polarisasi di masyarakat, bukanlah disebabkan oleh masyarakat itu sendiri. Polarisasi ini terjadi karena “persekongkolan” partai politik atas nama koalisi partai politik, yang hanya memikirkan kemenangan saja, dengan cara yang pragmatis.

Akhirnya yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, terjadi apa yang dinamakan dengan rematch atau pertandingan ulang antara pasangan calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.

Semestinya, partai-partai politik dapat menggulirkan banyak calon, setidaknya empat pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bisa diajukan jika kita mengacu kepada presidential threshold yakni pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang menenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasiona pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Partai politik juga menafikkan urgensi pelembagaan proses seleksi kandidat presiden oleh partai politik secara terbuka dan demokratis, bahkan juga cenderung menutup akses dari partisipasi konstituen dan publik.

Yang dilakukan oleh partai politik adalah cenderung memberikan posisi “privalage” kepada ketua umum atau pimpinan partai politik dengan “tiket” menjadi bakal calon presiden, sebut saja, AHY dengan Partai Demokrat, Gus AMI dengan PKB, dan Airlangga Hartarto dengan Partai Golkar.

Memang fenomena Jokowi dapat tiket untuk calon presiden bentuk pengecualian, sebab ia bukan pengurus pusat Partai Politik, apalagi Ketua Umum partai. Tetapi, jika kita pelajari, keterpilihan Jokowi sebagai calon presiden juga penuh kontroversi mengitarinya, misal ia adalah Petugas Partai, ia adalah “boneka” dari Ketua Umum, sebab kebijakan/keputsuan yang dibuat oleh Jokowi tidak lepas dari pengaruh Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan.

Pilpres adalah pilihan kontroversi mengenai apakah kita akan kembali kepada pemilihan presiden melalui MPR, ataupun presiden tetap dipilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Ini semua kembali bandulnya ada di fraksi-fraksi partai politik di parlemen, tetapi tentu saja suara masyarakat melalui LSM, akademisi, dan opini-opini di media, juga tidak bisa dikesampingkan.

Merujuk kepada hasil Survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan, dari hasil survei yang digelarnya pada 21-28 Mei 2021, bahwa mayoritas publik tidak ingin presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Mayoritas rakyat sebesar 84,3 persen menolak jika presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan dikembalikan kepada MPR. Dukungan untuk pemilihan presiden kepada MPR, hanya 8,4 persen warga yang mendukung jika presiden dipilih oleh MPR. Ini menunjukkan, gagasan tentang presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi MPR ditolak, (liputan6.com, 20 Juni 2021).

Jika kita pelajari seksama bahwa pemilih pada dasarnya tidak bodoh dalam memilih. Asumsi bahwa masyarakat bodoh dalam memilih itu terbantahkan. Sebab, karena yang menyodorkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah gabungan partai politik.

Calon presiden dan wakil presiden apakah akan berjumlah 4 pasangan calon, 3 pasangan calon, maupun 2 pasangan calon, atau terjadi rematch sekalipun, semua dapat terjadi karena pilihan dan kesepakatan partai-partai politik.

Pasangan-pasangan calon yang akan dipilih oleh rakyat, dihasilkan dari gabungan partai politik berdasarkan realitas tidak ada satu partai politik yang dapat mencalonkan satu pasangan calon. Sehingga pasangan-pasangan calon yang akan berkompetisi adalah yang sudah dianggap terbaik oleh gabungan partai politik (koalisi partai politik).  

Apalagi jelas bahwa partai politik memainkan peran yang penting dalam sistem demokrasi, sebab partai politik memungkinkan warga untuk berpartisipasi secara padu dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan terpilihnya sejumlah besar jabatan partai politik (Richard S. Katz & William Crotty, 2014: 7-8).

Begitu pula dengan isu kampanye, pilihan visi-misi, bahkan menguatnya figur kandidat dibandingkan dengan visi-misi, bebannya juga ada pada partai-partai politik. Sebab, partai politik yang memainkan politik pencitraan, melakukan politik demagogi, menghadirkan isu kampanye negatif maupun black campaign, juga lebih menonjolkan figur kandidat dibandingkan mensosialisasikan visi-misi yang akan menjadi program kerja pasangan calon jika terpilih.

Baca Juga: Pasar Gelap Demokrasi

Bahkan, jika di tingkat masyarakat terjadi polarisasi, ketidakdekatan dengan partai politik, itu semua disumbang oleh perilaku pragmatis partai-partai politik.  

Partai-partai politik lebih senang memainkan lakon yang tidak jelas, tidak menampakkan keseriusan dalam bersikap sebagai oposisi atau pendukung pemerintah, suara mereka hanya untuk kepentingan partai politiknya semata.

Di sisi lain, pragmatisme partai politik, juga akan membahayakan jika pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Sebab jika dianggap bahwa Pilpres memboroskan anggaran karena mekanisme pelaksanaannya. Pemilihan MPR juga malah yang bisa terjadi politik uang akan lebih masif terjadi di Gedung Senayan.

Di sisi lain, jika saat ini Pilpres langsung dianggap menghasilkan orang-orang bodoh di tampuk kekuasaan. Bukan tidak mungkin, Pemilihan Presiden melalui MPR juga dapat menghasilkan orang-orang bodoh ditampuk kekuasaan, bahkan juga malah dapat menghasilkan terpilihnya calon presiden yang tidak diinginkan oleh rakyat.  

Oleh sebab itu, reformasi kepartaian menjadi penting, bukan lagi berbicara menihilkan partisipasi politik masyarakat. Tetapi menggulirkan wacana tentang partai politik mengikutsertakan rakyat maupun konstituennya dalam setiap pengambilan keputusan di internal maupun pengambilan keputusan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Semestinya, partai politik dapat melakukan konvensi internal di partai politik, tak sekadar memperhitungkan elektabilitas semata berdasarkan survei-survei yang banyak menerpa publik. Partai-partai juga semestinya menjalankan politik desentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat internal terkait siapa calon yang diusung maupun pasangan calon yang diusung.

Sehingga tidak sekadar berdasarkan suara elit semata, melainkan dari berbagai aspirasi hirarki tingkat internal masing-masing daerah. Bahkan, bila perlu, pengambilan suara dari keputusan partai lebih meluas dengan merepresentasi suara konstituen anggotanya yang terdaftar.

Sehingga dihasilkan keputusan yang merupakan suara berdasarkan aspirasi konstituen partai politik, tak sekadar legitimasi berdasarkan suara dengan berdasarkan surat keputusan partai yang harus dijalani oleh anggota-anggota partai politik sebagai petugas partai semata. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga