Rapor Merah Pemerintahan Jokowi dalam Penanganan Pandemi COVID-19
Kolumnis
Minggu, 25 Juli 2021 / 3:23 pm
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
PANDEMI COVID-19 di Indonesia telah memasuki gelombang kedua. Pandemi yang sudah berlangsung selama satu tahun empat bulan ini, malah semakin menunjukkan kegagapan pemerintah dalam melakukan respons cepat atas meluasnya kasus positif COVID-19 per harinya.
Beberapa menteri telah merespons penanganan yang lamban ini dengan meminta maaf kepada publik. Diawali permintaan maaf oleh Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) sekaligus Koordinator darurat Jawa-Bali. Dilanjutkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang turut meminta maaf.
Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah menunjukkan kekesalannya terhadap penanganan yang lambat dan malah menghasilkan kegaduhan di masyarakat akibat komunikasi publik pejabat yang buruk.
Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi semakin merosot dalam menangani COVID-19. Tren menurun ini merujuk LSI terjadi sejak September 2020.
Hasil Survei menunjukkan terjadi penurunan kepercayaan terhadap pemerintah dalam penanganan COVID-19 sebesar 13,5 persen, ini terlihat dari keyakinan Pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 dari sebesar 56,5 persen merosot menjadi sebesar 43 persen.
Selain itu, ketidakpercayaan terhadap presiden semakin meningkat sejak November 2020. Saat itu, sebanyak 14,3 persen responden sangat tidak percaya terhadap kinerja Jokowi dalam menangani pandemi.
Kemudian, ketidakpercayaan meningkat menjadi 15,2 persen pada Februari 2021 dan terus meningkat menjadi sebesar 22,6 persen pada Juni 2021 (katadata.co.id, 19 Juli 2021). Tulisan ini ingin menjelaskan sejumlah persoalan yang mendera dalam situasi gelombang kedua pandemi COVID-19 yang turut menjelaskan mengapa Pemerintahan Jokowi memperoleh raport merah dalam penanganan COVID-19 ini.
Baca juga: PPKM Darurat dan Komunikasi Buruk Pemerintah
Ketidaksiapan Merespons, Membuat Kebijakan, dan Melakukan Evaluasi
Penanganan COVID-19 ini menunjukkan pemerintah kurang memperhatikan perkembangan ke depan dan tak mempersiapkan strategi penanganan. Sehingga menampakkan Pemerintah selalu telat dalam menghadapi situasi yang akan terjadi.
Ini terlihat jelas dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak tampaknya aturan menyeluruh. Pemerintah terlihat tak memahami situasi yang terjadi dengan subtansi permasalahannya, yang hadir hanyalah sekadar respons tambal-sulam, pemilihan diksi semata, bahkan memaksa pemerintah memainkan politik pencitraan semata.
Jika pemerintah menyatakan bahwa gelombang kedua terjadi karena pasca lebaran Idul Fitri. Semestinya pemerintah sudah mempersiapkan tindakan merespons untuk terjadinya gelombang kedua itu.
Ketika pemerintah sudah mencoba melakukan upaya menggagalkan masyarakat agar tidak mudik, sayangnya pemerintah tidak memahami tindakannya harus disertai dengan keseriusan dan tindakan yang menyeluruh.
Sangat disayangkan langkah ini tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah bahkan untuk sekadar mengkoordinasikan dengan daerah, yang tampak malah ketidakjelasan dalam bersikap, melarang mudik tetapi mempromosikan masyarakat belanja di mall, membuka rekreasi hiburan, yang pada dasarnya ini bentuk ketidakjelasan tentang larangan berkerumun.
Bahkan, baru-baru ini pemerintah merespons dengan kebijakan, pembatasan kedatangan warga negara asing/tenaga kerja asing masuk Indonesia, padahal persoalan keinginan pembatasan orang-orang dari luar telah lama didengungkan masyarakat.
Ketidaksiapan pemerintah semakin terjadi ketika Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Langkah ini terlihat pemerintah mencoba merespons dengan cepat, tetapi lagi-lagi respons pemerintah tidak menyeluruh, kesan tambal-sulam malah terjadi.
Semestinya, ketika kebijakan itu akan dibuat, sosialisasi dimasifkan terlebih dahulu, perencanaan dibuat dengan baik. Sehingga ketika penerapan itu dilakukan maka masyarakat bisa menerima dengan baik, ketika terdampak pun masyarakat bisa memaklumi sebagai bentuk kehadiran pemerintah terhadap kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
PPKM Darurat ditetapkan yang terjadi adalah kegaduhan di ruang publik. Misal, PPKM Darurat dijalankan sejak 3 Juli sampai 20 Juli 2021, tetapi bantuan pemerintah untuk kehidupan masyarakat berupa uang maupun sembako malah turunnya tidak bersamaan dengan penerapan PPKM Darurat, yang terjadi sudah mendekati akhir PPKM Darurat baru bantuan pemerintah dapat dirasakan masyarakat.
Kebijakan ini mengesankan pemerintah baru mempersiapkan hal tersebut karena diprotes oleh masyarakat, bukan bagian dari perencanaan PPKM Darurat.
Kegagapan juga terlihat seperti dalam merespons terjadinya kelangkaan atas kebutuhan oksigen, penuhnya keterisian tempat tidur (BOR), kurangnya ketersediaan rumah sakit darurat dan kebutuhan akan sarana masyarakat untuk melakukan isolasi mandiri (isoman).
Ketika pemerintah memilih lebih memasifkan program vaksin. Ternyata ketersediaan vaksin untuk di daerah-daerah malah menunjukkan kelambatan kerja pemerintah dalam pendistribusian. Beberapa daerah yang terlacak sudah mengungkapkan kekurangan vaksin, seperti kabupaten Kudus, Depok, Kendari, Bangka Belitung, Majene, Solok Selatan, Mataram, Sangihe, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya.
Program pemerintah untuk herd immunity (kekebalan kolektif) pun tak berjalan maksimal. Angka Vaksinasi baru mencapai 11 persen dari total 270 juta penduduk. Padahal targetnya minimal 70 persen penduduk Indonesia sudah divaksin.
Di level ASEAN, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Singapura dan Malaysia. Misal, Singapura vaksinasi dosis pertama sudah mencapai 56 persen, dan Malaysia sudah 18 persen, (cnbcindonesia, 23 Juli 2021).
Pemerintah juga baru-baru ini telah menunjukkan kelelahannya. Pola kerja sentralistis, bekerja sendiri malah menunjukkan kelambanan, kelelahan, dan terhuyung-huyung pemerintah dalam merespons situasi gelombang kedua dari varian delta ini.
Bulan Juli ini baru terlihat pemerintah mengajak peran serta masyarakat membantu pemerintah mencapai program vaksinasi, ini diungkapkan oleh Ketua Umum PBNU bahwa Pemerintah selama ini main sendiri tidak mengajak civil society, baru belakangan ini NU diajak dalam program vaksinasi, (detik.com, 23 Juli 2021).
Jika diamati pemerintah juga belum sepenuhnya menggerakkan seluruh kekuatan pendukung pemerintah dari elemen partai-partai politik, seperti PKB mengkritik pemerintah bekerja sendiri, one man show.
Terkesan pemerintah hanya memberikan Panggung kepada PDI Perjuangan saja, sebagai partainya pemerintah, terkesan hanya PDI Perjuangan saja yang paling peduli, padahal sebaiknya persoalan pandemi ini harus ditangani bersama-sama.
Bukankah kekuatan PDI Perjuangan tak ada di setiap daerah, misal, kota Depok memperlihatkan PDI Perjuangan tak bisa mengadakan program kegiatan vaksin, karena dikuasai oleh kepala daerah dari PKS.
Kegiatan yang memilih-milih, tanpa membangun kebersamaan dengan seluruh masyarakat, maka akan membuat pemerintah semakin lama mengatasi pandemi COVID-19.
Pemerintah juga tampak sekali malah mengesankan hanya memilih kata saja tanpa memahami substansi permasalahan. Ini ditunjukkan dengan situasi yang cuma memilih diksi semata dari PSBB, PPKM Mikro, menjadi PPKM Darurat, selanjutnya PPKM berlevel. Tetapi substansi permasalahan tak bisa ditangani dengan serius.
Langkah blusukan maupun sidak yang dilakukan Presiden Jokowi boleh dianggap langkah baik, tetapi temuan presiden di lapangan semestinya secara tidak langsung menampar Presiden Jokowi.
Ketika terjadinya kelangkaan obat-obatan, karena kosongnya stok, sayangnya, pemerintah tidak memberikan respons baik, malah mengesankan politik pencitraan, ketika melakukan komunikasi dengan telepon seluler kepada Menteri Kesehatan, dan berujung seperti sedang beriklan menjelaskan anda bisa mengecek ketersediaan obat dan vitamin itu melalui situs https:farmaplus.kemkes.go.id/, dan situasi ini mencakup lebih dari 2.100 apotik di seluruh Indonesia.
Sehingga meninggalkan pertanyaan dibenak publik, jadi kelangkaan ini apakah akan dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pendistribusian menyeluruh, atau menyuruh masyarakat mengecek lalu melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan obat, misalnya.
Pemerintah juga tak bisa melakukan langkah-langkah yang baik dengan program 3T yaitu testing, tracing, dan treatment. Malah yang ditunjukkan sekarang ini, menjelang langkah pelonggaran PPKM pada 26 Juli (esok hari), pemerintah tidak menggiatkan langkah testing dan tracing.
Padahal ini adalah langkah upaya, selain protokol kesehatan, vaksinasi, tentu saja 3T. Jika langkah tresting dan tracing dikendurkan, kemudian ditingkatkan, wajar akhirnya terjadi penolakan di masyarakat seperti di Suramadu menolak tes swab.
Bahkan, akhirnya yang terjadi asumsi di publik, peningkatan dan penurunan kasus positif tergantung kebutuhan pemerintah kapan saja dibutuhkan, misal, saat menjelang pembukaan sekolah tahun ajaran baru, maupun menjelang hari-hari raya keagamaan.
Baca juga: Pandemi, dan Usulan-usulan yang Mengabaikan Rakyat
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah tentu saja diharapkan merespons dengan cepat, melakukan langkah-langkah yang lebih terencana, dan membuat kebijakan yang menyeluruh.
Untuk melakukan langkah-langkah itu yang harus dilakukan oleh pemerintah, pertama, meningkatkan kordinasi dan komunikasi dengan berbagai daerah-daerah minimal pada setiap provinsi, jika tak bisa memenuhi keseluruhan kabupaten/kota.
Lalu, melakukan langkah pengawasan terhadap setiap daerah provinsi tersebut. Peran daerah begitu penting karena pemerintah telah menyerahkan kepada daerah-daerah yang melakukan tindakan di garda-garda terdepan mengatasi pandemi COVID-19.
Pemerintah perlu memastikan pelaporan kasus-kasus positif dan meninggal dunia memang benar-benar sesuai dengan data di lapangan. Sebab, kekhawatiran pandemi COVID-19 ini akan makin berlangsung lama, menyebabkan naluri alamiah manusia, khawatir jika daerahnya tidak pernah keluar dari zona merah, dan akhirnya mensiasati karena khawatir gejolak di masyarakat dengan melakukan pelaporan yang tidak sesuai data di lapangan.
Selain mengawasi dan berkordinasi, pemerintah juga perlu membantu daerah mengupayakan mengedukasi masyarakat di daerah-daerahnya yang dianggap masih rendah dalam penerapan protokol kesehatan seperti di Provinsi Banten.
Kedua, pemerintah perlu mengevaluasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para menteri-menteri sebagai pembantu presiden. Presiden Jokowi perlu melakukan kordinasi, kesolidan antar menteri-menteri.
Harus disadari saat ini pemerintah terjebak akan situasi politik ke depan khususnya Pemilu Serentak 2024 mendatang. Akhirnya, kerja pemerintah malah tidak solid. Menggeser peran menteri kepada menteri lainnya atas tanggung jawab mengatasi pandemi ini, malah menunjukkan ketidaksolidan kerja pemerintah.
Semestinya, pemerintahan semakin solid, mengabaikan popularitas elektoral yang akan didapat oleh salah satu atau beberapa menteri yang dianggap akan menguntungkannya dalam melangkah menuju Pilpres 2024.
Sebab, keberhasilan pemerintah adalah keberhasilan bersama bukan hanya individu menteri semata.
Jika tak bisa melakukan itu, maka lebih baik pemerintah menghadirkan institusi baru yang memang khusus menangani Pandemi COVID-19 ini, selain dibebani kerja khusus kepada kesehatan dan ekonomi.
Pimpinan dari lembaga baru ini yang dipilih harus orang yang benar-benar profesional bukan dari unsur partai politik, tetapi harus berkordinasi dengan kementerian-kementerian terkait, agar penanganan pandemi ini bisa dijalankan dengan menyeluruh.
Lembaga ini juga dibebani untuk memperhitungkan situasi ke depan, seperti masalah sarana-prasarana darurat, pendistribusian obat-obatan, oksigen, dan juga menghasilkan kebutuhan vaksin untuk target 70 persen masyarakat divaksin.
Ketiga, pemerintah juga perlu bertindak tegas dengan melakukan reshuffle kabinet.
Jika memang ada kinerja menteri yang dianggap tak beres dalam melakukan penanganan COVID-19, seperti dari sisi kordinasi, dari sisi hasil kinerja, maupun dari sisi kecepatan merespons permasalahan publik.
Ini dilakukan merespons kegaduhan di tingkat publik, juga menjawab beberapa respons kekecewaan Presiden Jokowi terhadap menterinya, yang misal, komunikasinya buruk, tidak peka dengan melakukan kunjungan ke luar negeri di tengah pandemi, atau ketidakkonsistenan dalam bersikap dan keputusan yang dibuat oleh menteri terkait.
Tentu saja, Presiden Jokowi sudah memiliki laporan kinerja dari setiap pembantu presiden, sehingga dapat segera melakukan evaluasi dan pengambilan keputusan.
Keempat, Presiden Jokowi dalam memerintah utamanya dalam menangani pandemi COVID-19 harus melakukan kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat. Membangun kebersamaan dengan elemen masyarakat akan menghadirkan kepercayaan publik kepada pemerintah, kedekatan publik kepada pemerintah.
Bahkan, dengan sendirinya masyarakat akan memiliki kesadaran sosial dan kebersamaan dalam kemanusiaan, juga meminimalkan hoaks akibat bergandengan tangannya pemerintah dan masyarakat.
Sehingga, kesadaran pemerintah tidak hanya sekadar memuji seperti Rumah Oksigen Pulo Gadung yang dibangun oleh komponen bangsa, tetapi juga kesadaran untuk bersama dengan rakyat.
Kelima, pemerintah harus mulai berpikir tidak bisa kerja sendiri. Pemerintah harus mulai membuka mata dan telinga untuk masyarakat.
Pemerintah harus menggunakan kekuatan di lingkungan masyarakat terkecil seperti PKK, peran ketua RT dan RW. Tak bisa lagi, sekadar jargon bersama rakyat, menangis bersama masyarakat, tetapi rakyat malah diabaikan.
Seperti, program vaksinasi semestinya sudah diberikan dan juga dilakukan misalnya oleh PKK dengan mengikutsertakan peran RT/RW setempat bukan malah masyarakat dikumpulkan di mall atau disuruh ke Puskesmas terdekat, tetapi program door to door vaksinasi dilakukan melalui Badan Intelijen Negara (BIN) semata ini malah mengesankan di masyarakat adanya pembagian keuntungan fee semata.
Keenam, pemerintah harus mulai mendata kembali untuk program-program kemanusiaan, seperti bansos, bantuan langsung tunai, dan sasaran masyarakat lebih diperbanyak, sebab situasi pandemi ini telah menyebabkan kemerosotan ekonomi di berbagai tingkatan, bahkan sudah diungkapkan oleh hasil Bank Dunia bahwa ekonomi Indonesia sudah turun kelas.
Pemerintah memang dituntun untuk menyelesaikan masalah pandemi tak sekadar kesehatan semata tetapi juga memikirkan ekonomi masyarakat, dan juga mengupayakan perbaikan internal pemerintah dengan lebih baik dari segi kepekaan sosial, kordinasi, komunikasi, dan kebijakan yang akan dikeluarkan. (*)