Strategi Politik Penguasa Berantakan
Efriza, telisik indonesia
Sabtu, 24 Agustus 2024
0 dilihat
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.
" Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan capres terpilih Prabowo Subianto diduga bersama-sama mendesain kemenangan khusus Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di 5 daerah Jawa plus 1 daerah Sumatra Utara "
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
MAHASISWA dan masyarakat di hari Kamis melakukan aksi demonstrasi. Aksi ini memprotes rencana Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) yang berniat mengesahkan draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sayangnya karena peserta Rapat Paripurna tidak kuorum, maka rencana pengesahan itu dibatalkan.
Rencana pengesahan ini dibatalkan, otomatis strategi politik penguasa menjadi berantakan.
Pengesahan revisi UU Pilkada batal, pimpinan DPR memastikan aturan mengenai penghitungan batas minimum usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan kepala daerah, dipastikan tidak mengikuti draf revisi UU Pilkada.
Sehingga proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) mengikuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada Selasa kemarin, terhadap Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024, dalam UU 10/2016 tentang Pilkada.
Polemik antara masyarakat dan pemerintah ini terjadi karena berbedanya kepentingan di antara keduanya. Pemerintah mempunyai kepentingan agar dapat mengajukan Kaesang Pangarep yang diprediksi untuk di dorong mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jawa Tengah dan menyingkirkan Anies dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dari kompetisi Pilkada di Jakarta.
Tulisan ini ingin menguraikan upaya strategis politik dari penguasa politik yang akhirnya berantakan karena adanya putusan MK dan juga akibat demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak rencana draf revisi UU Pilkada.
Strategi Politik Menguasai 5 Jawa dan 1 Sumatra Utara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan capres terpilih Prabowo Subianto diduga bersama-sama mendesain kemenangan khusus Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di 5 daerah Jawa plus 1 daerah Sumatra Utara.
Baca Juga: Presiden Jokowi Limbung di Akhir Masa Jabatan
Sehingga, wajah politik Pilkada lokal dirasakan akan dipaksakan calon tunggal, dengan memborong partai-partai politik tetapi sekaligus menyingkirkan PDIP di beberapa pentas kontestasi tersebut. Sayangnya, strategi yang sudah matang ini, dikejutkan dengan hadirnya hasil judicial review berupa Putusan MK Perkara Nomor 60 dan 70.
Setelah Jakarta mendeklarasikan dukungan dua belas partai politik terhadap pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono, berkelindan dengan kompetisi semu dari hadirnya calon independen Pongrekun-Kun Wardhana yang dinyatakan lolos verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta.
Padahal sehari sebelumnya, pasangan calon independen ini disorot karena proses pengumpulan persyaratan dukungan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dilakukan oleh calon independen tersebut bermasalah dengan banyaknya pengaduan masyarakat ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Rekayasa demokrasi menghadirkan “kompetisi semu” pernah dilakukan di Pilkada Walikota Solo tahun 2020 lalu, yang akhirnya memenangkan pasangan Gibran-Teguh sebesar 86,5 persen.
Setelah Jakarta, mencuat opsi membatalkan pencalonan Airin-Ade Sumardi, yang diusung oleh Golkar-PDIP di Banten. Sedangkan yang diusung KIM Plus adalah Andra Soni-Dimyati Natakusumah, setelah Airin dan Golkar menolak usulan pasangan Airin-Andra Soni.
Andra Soni-Dimyati Natakusumah harus diakui elektabilitasnya rendah, bahkan tak berdaya. Maka rekayasa seperti mengusung Ridwan Kamil-Suswono yang elektabilitasnya lemah dilakukan.
Membatalkan pencalonan Airin dengan bergabungnya Golkar bersama KIM Plus mendukung Andra Soni-Dimyati Natakusumah pilihannya, kemudian menghadirkan calon tunggal dari dukungan partai politik melawan kotak kosong. Rencana ini yang dapat diterka dari wacana membatalkan Airin sebagai calon gubernur.
Opsi membatalkan pencalonan Airin sebagai calon gubernur berdampak langsung bahwa pasangan Airin-Ade otomatis juga batal dan PDIP hanya sebagai penonton kembali layaknya di Jakarta.
Pilihan keputusan ini kemungkinan besar akan dilakukan oleh Golkar demi solid dalam barisan koalisi. Ini jelas menunjukkan KIM Plus bukan ingin menyingkirkan dinasti politik, tapi KIM Plus ingin menguasai 5 daerah Jawa + 1 Sumatra Utara.
Demi obsesi menguasai 5 daerah Jawa plus 1 Sumatra Utara, maka Presiden Jokowi dan capres terpilih Prabowo mendesain politik di Pilkada. Dua daerah adalah untuk kepentingan Jokowi yakni Jawa Tengah dan Sumatra Utara karena Bobby Nasution dan Kaesang Pangarep yang merupakan keluarga besar Jokowi mencalonkan diri di dua daerah tersebut.
Meskipun, Jawa Tengah dan Sumatra Utara juga diperhitungkan oleh Prabowo dengan tambahan empat daerah lainnya Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jakarta. Keenam daerah itu utamanya 5 daerah Jawa adalah untuk kepentingan Prabowo menyalurkan program makanan bergizi gratis tanpa diganggu oleh nuansa politik dari oposisi seperti Jakarta misalnya.
Upaya Presiden Jokowi Mengatur Pilkada
Refleksi yang terjadi saat ini adalah bobroknya tiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif, dan partai politik. Indonesia saat ini sedang menghadapi kemunduran demokrasi, ini berakar dari tekanan kuat yang dilakukan oleh penguasa politik, utamanya Presiden Jokowi.
Hasrat kekuasaan yang tinggi dari Jokowi sebagai presiden, yang mengutamakan ambisi pribadi, keluarga, dan kelompoknya, telah mendorongnya untuk menggunakan pengaruh dan mekanisme politik serta hukum dengan cara-cara yang tidak etis.
Baca Juga: Mempertahankan Wantimpres atau Memilih Kembali DPA
Langkah-langkah yang diambil oleh Jokowi dengan dukungan partai-partai politik dan DPR ini telah memperlemah demokrasi, merusak tatanan politik, dan mengancam stabilitas institusi negara.
Ironisnya, partai-partai politik kecuali PDIP (dijadikan “musuh bersama” delapan partai di Senayan), yang seharusnya menjadi benteng demokrasi, justru terlibat dalam tindakan buruk yang dilakukan oleh penguasa politik.
Kesepakatan jahat yang dilakukan oleh Baleg DPR dalam upaya mengakali dan membatalkan keputusan MK menjadi bukti nyata dari degradasi moral di tubuh legislatif pusat.
Presiden Jokowi telah menjadi simbol penguasa politik yang tamak akan kekuasaan. Presiden Jokowi tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi, tetapi juga menjadi faktor utama kemunduran demokrasi di Indonesia.
Inilah penyebab dari masyarakat dan mahasiswa bangkit melawan dengan melakukan aksi demonstrasi untuk melawan tindakan politik yang merusak hukum dan menghancurkan institusi demokrasi.
Momen dan fakta dari kisruh politik menjelang Pilkada, adalah bukti yang menunjukkan kegeraman mahasiswa dan masyarakat terhadap penguasa politik yang tamak kekuasaan dan bukti mahasiswa dan masyarakat sedang memperjuangkan pemulihan demokrasi akibat sedang dipermainkan untuk kepentingan politik pribadi, keluarga Presiden Jokowi, dan kelompoknya.
Seperti pernyataan diawal, strategi politik penguasa akhirnya berantakan, berhasil dibatalkan oleh dua putusan MK dan gelombang demonstrasi masyarakat. Kecenderungan ke depan yang terjadi adalah PDIP tidak lagi menjadi penonton di Pilkada Jakarta dan Banten, bahkan Airin tidak dibatalkan. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS