Rekor Baru Musim Panas 2023-2025, Ratusan Ribu Warga Eropa Tak Bertahan dari Suhu Ekstrem

Ahmad Jaelani

Reporter

Selasa, 23 September 2025  /  7:29 pm

Para wisatawan menyejukkan diri di depan sebuah kipas angin di dekat Colosseum di Roma, Italia. Foto: Li Jing/Xinhua

BARCELONA, TELISIK.ID - Gelombang panas yang melanda Eropa sejak tiga tahun terakhir meninggalkan catatan suram dengan angka kematian yang terus meningkat. Tahun 2025 mencatatkan rekor baru musim panas terpanas, mempertegas ancaman serius perubahan iklim bagi kesehatan masyarakat di benua itu.

Laporan terbaru dari Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal) yang diterbitkan di jurnal Nature Medicine pada Senin (22/9/2025) menegaskan bahwa benua Eropa menghadapi lonjakan besar dalam kematian terkait suhu panas. Dalam tiga musim panas terakhir, jumlah korban meninggal mencapai 181.000 orang.

Data itu menunjukkan betapa besarnya dampak gelombang panas terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, terutama perempuan dan lansia.

Musim panas 2024 disebut sebagai periode dengan suhu paling ekstrem sepanjang sejarah pencatatan di Eropa. Dalam rentang Juni hingga September saja, terdapat 62.775 kematian yang dikaitkan dengan suhu panas.

Baca Juga: Prancis hingga Arab Saudi Kompak Akui Palestina, Israel Kian Terpojok di PBB

Italia tercatat sebagai negara dengan korban terbanyak, yaitu 19.038 jiwa. Spanyol berada di posisi kedua dengan 6.743 kematian, disusul Jerman dengan 6.282 kematian. Catatan itu menggambarkan bahwa kawasan Eropa Selatan dan Tengah paling merasakan dampak dari lonjakan suhu tersebut.

ISGlobal menganalisis data dari 654 kawasan di 32 negara Eropa. Hasilnya menunjukkan Yunani mengalami tingkat kematian tertinggi pada 2024, dengan rasio 574 kematian per satu juta orang.

Bulgaria menyusul dengan 530 kematian, sedangkan Serbia berada di posisi ketiga dengan 379 kematian per satu juta penduduk. Secara keseluruhan, ada 15 negara yang mencatat angka kematian tertinggi akibat gelombang panas sepanjang sejarah pencatatan suhu di benua itu.

Sejumlah foto yang beredar dari kota-kota besar di Eropa memperlihatkan warga berusaha bertahan di tengah suhu ekstrem. Di Roma, wisatawan terlihat menyejukkan diri di depan kipas angin besar di dekat Colosseum. Sementara di Bucharest, papan elektronik mencatat suhu udara mencapai 43 derajat Celsius pada pertengahan Juli 2024, menegaskan kondisi yang semakin sulit ditoleransi.

Peneliti ISGlobal, Natalia Shartova, menekankan bahwa percepatan pemanasan di Eropa terjadi lebih cepat dibandingkan wilayah lain di dunia.

“Eropa memanas lebih cepat dibandingkan benua lainnya akibat perubahan iklim, dua kali lipat dari rata-rata global. Wilayah Mediterania dan Tenggara merupakan wilayah yang paling terimbas, dengan dampak kesehatan yang signifikan dan meningkatnya angka kematian akibat suhu panas,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima, Selasa (23/9/2025).

Studi tersebut juga menyoroti kerentanan kelompok tertentu. Perempuan tercatat memiliki tingkat kematian 46,7 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Sementara itu, lansia berusia di atas 75 tahun menghadapi risiko jauh lebih besar, dengan tingkat kematian 323 persen lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Kondisi kesehatan yang sudah rentan dan keterbatasan fisik membuat kelompok ini paling terdampak dalam situasi suhu ekstrem.

Baca Juga: Unik: Anjing di China Raup Rp 21 Juta dari Mengumpulkan Botol Plastik Bekas

Selain memaparkan data, laporan ISGlobal juga memberi peringatan bahwa tren kenaikan suhu panas berpotensi berlanjut. Peningkatan suhu rata-rata di Eropa disebut lebih tajam dibandingkan rata-rata global.

Dampak yang dirasakan bukan hanya pada kesehatan, tetapi juga pada pola kehidupan sehari-hari, termasuk aktivitas ekonomi, mobilitas masyarakat, dan kapasitas layanan kesehatan di banyak negara.

Perubahan iklim yang terus memperburuk kondisi suhu ekstrem di Eropa menuntut langkah mitigasi segera. Para peneliti menilai, upaya adaptasi dan kebijakan kesehatan publik perlu dipercepat agar tidak semakin banyak korban jiwa jatuh setiap musim panas.

Dalam laporan itu, ISGlobal menegaskan bahwa pemahaman risiko dan kesiapan sistem kesehatan di tiap negara menjadi kunci untuk menghadapi tren suhu panas yang semakin tidak terkendali. (SHN)

Penulis: Ahmad Jaelani

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS