Reposisi KUA Sebagai Wujud Inklusifitas Beragama

Ibnu Sina Ali Hakim

Reporter

Minggu, 03 Maret 2024  /  4:51 pm

Mencuatnya wacana ke publik bahwa eksistensi Kantor Urusan Agama (KUA) adalah untuk menyelesaikan urusan semua agama ikut ditanggapi oleh Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag, Minggu (3/3/2024). Foto: Humas IAIN Kendari

KENDARI, TELISIK.ID - Mencuatnya wacana ke publik bahwa eksistensi Kantor Urusan Agama (KUA) adalah untuk menyelesaikan urusan semua agama ikut ditanggapi oleh Rektor IAIN Kendari, Prof. Dr. Husain Insawan, M.Ag, Minggu (3/3/2024).

Prof. Husain mengatakan, hal itu murni gagasan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas (Gus Men) yang mesti diapresiasi. Ia menyebut setiap gagasan selalu dimaknai beragam, ada beberapa yang tidak setuju, namun banyak pula yang sangat setuju. Hal tersebut dipandang wajar-wajar saja.

"Gusmen itu layaknya seorang filosof yang selalu menguji nalar akademik publik. Sejauh mana wawasan publik untuk mencerna atas konsep yang digelindingkan. Ketika Gusmen menyampaikan sebuah statemen, kita jangan terlalu terburu-buru untuk menjustifikasi bahwa konsep yang disampaikan itu keliru, kecuali kalau memang awalnya sudah didasari dengan negative thinking," katanya.

Baca Juga: Lukman Abunawas Hadir Acara Muktamar DMI di Jakarta

"Namun bagi mereka yang berpikiran positif mampu menelisik lebih dalam mengenai makna yang terkandung dalam konsep Gusmen, barulah orang akan memahami bahwa ternyata konsep yang disampaikan adalah "sesuatu" bangat, seperti halnya konsep KUA. Urusan keagamaan yang berkenaan dengan agama lain mesti terwadahi dengan baik, maka itulah kenapa KUA harus direposisi," lanjutnya.

Prof. Husain mengungkapkan, gagasan Gusmen pada prinsipnya menguatkan Pancasila dan sekaligus merawat ke-indonesiaan karena sebagai bangsa Indonesia tentu bersepakat bahwa tidak sedang mempertajam perbedaan, tetapi selalu mencari sisi-sisi kesamaan dan kesetaraan dengan pemilik agama dan keyakinan lain, terutama dalam pengambilan kebijakan dan perlakuan sosial.

"KUA yang selama ini hanya dipresentasikan sebagai garda terdepan dalam urusan agama Islam sudah harus direinterpretasi kembali, yakni dengan melibatkan semua agama dan keyakinan yang diakui dalam undang-undang," ucap dia.

Munculnya pemikiran dan praktik bahwa KUA selalu diidentikan dengan urusan agama Islam seperti ini, lanjut Prof Husain, nampaknya terilhami dengan pembatinan terhadap Piagam Jakarta yang meluber di mana umat Islam harus mendapatkan privilege secara berlebihan, padahal sebenarnya tidak demikian seharusnya.

"Sudah saatnya kini kita memandang bahwa pemeluk agama lain secara equal bukan menjadi rival sehingga dalam praktik pelayanan kebutuhan beragama pun sudah saatnya untuk difasilitasi dalam kerangka mengimplementasikan Pasal 29 UUD 1945," lanjutnya.

Prof Husain menuturkan, gagasan reposisi KUA ini berkaitan dengan program revitalisasi KUA di Kementerian Agama RI. Reposisi KUA sesungguhnya merupakan bentuk inklusivitas beragama karena di negeri ini tidak diperkenankan bila hanya ada satu agama yang harus mendapatkan perlakuan istimewa. Semua agama yang diakui undang-undang berhak mendapatkan akses dan perlakuan yang sama.

Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut maka perlu ditawarkan paling tidak ada 4 hal pokok yang harus dipenuhi untuk merealisasikan wacana ini, sehingga diterima oleh publik, yakni pertama merevisi regulasi untuk mengakomodir kebutuhan agama lain yang dapat diselesaikan melalui KUA.

"Misalnya perlu ada perubahan UU No 24 tahun 2013 tentang administrasi kependudukan yang salah satunya terkait pencatatan nikah, terutama Pada Pasal 8 ayat (2) menjelaskan pelaksanaan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan di KUA hanya berlaku bagi penduduk beragama Islam," katanya.

Kedua, melakukan sosialisasi secara massif berupa pemberian literasi dan penyebarluasan informasi yang termuat dalam regulasi tersebut, terutama dengan memanfaatkan media sosial.

Ketiga, penyiapan fasilitas yang memadai berupa pembangunan gedung besar bersama untuk memberikan pelayanan kepada umat beragama masing-masing yang lokusnya bisa dalam satu gedung perkantoran besar yang menampung seluruh pegawai lintas agama dan bisa juga menjadi satuan terpisah yang berada pada area yang sama.

Baca Juga: Tidak Hanya Beras, Harga Telur di Kendari Makin Ganas

Keempat, adalah penyediaan sumber daya manusia profesional untuk memberikan pelayanan urusan keagamaan pada agama masing-masing.

"Pada akhirnya KUA tidak lagi dikenal sebagai Kantor Urusan Agama tetapi akan menjadi Kantor Urusan Agama-Agama (KUA2) yang sudah melibatkan semua agama. Urusan KUA2 tidak lagi menyangkut perkawinan saja, tetapi lebih luas dari pada itu berkenaan dengan pembangunan rumah ibadah, hak keperdataan anak, harta gono gini, warisan, hibah, wakaf," tambahnya.

"Bagi warga non muslim yang berada di desa-desa sangat terbantu dengan model reposisi KUA menjadi KUA2 ini untuk mengurus perkawinan. Seharusnya mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit karena mesti mendatangi kantor catatan sipil yang berada di ibukota kabupaten yang letaknya sangat jauh. Tapi dengan adanya KUA2, maka rentang kendali jarak dan sistem administrasi jauh lebih murah, akomodatif, efektif dan efisien," pungkas Rektor IAIN Kendari. (B-Adv)

Penulis: Ibnu Sina Ali Hakim

Editor: Fitrah Nugraha

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS