Ribut-Ribut di Parpol, Masih Adakah Edukasi Politik

M. Najib Husain

Kolumnis

Sabtu, 11 Juli 2020  /  6:03 pm

Dr. M. Najib Husain, dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO  

Dalam minggu ini ada dua partai politik yang cukup banyak dijadikan diskusi baik di warung kopi maupun oleh nitizen yaitu dinamika pada Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Menariknya, dinamikanya terjadi pada satu daerah yang akan melaksanakan Pemilihan Serentak 2020 yaitu Buton Utara.

Dalam pelaksanaan pilkada secara langsung partai politik dituntut untuk mampu melakukan fungsinya secara substansial. Yakni edukasi politik bagi masyarakat, sosialisasi dan komunikasi politik. Ini menjadi sebuah kewajiban bagi partai politik dalam menjalankan fungsinya, fungsi utama partai politik tidak lain adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program berdasarkan ideologi tertentu.

Selain fungsi utama tersebut terdapat beberapa fungsi lain yang dilaksanakan parpol, seperti yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yaitu: fungsi rekrutmen politik, fungsi partisipasi politik, fungsi pemadu kepentingan, fungsi komunikasi politik, fungsi pengendali konflik dan fungsi kontrol politik. Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut bisa membawa partai politik pada kekuasaan atau, sebaliknya ditingalkan pemilihnya.

Keputusan–keputusan yang dibuat oleh partai politik pada pucuk pimpinan menyebabkan adanya dinamika pada para kader daerah  atau simpatisan untuk melakukan penolakan yang kadang sudah di luar aturan dalam organisasi yang cenderung memaksakan kehendak dengan aksi penolakan yang sebenarnya sangat merugikan citra partai itu sendiri sebagai partai yang  katanya paling siap berbeda pendapat.

Padahal sesungguhnya dengan perbedaan pilihan atau pendapat tersebut dapat menjadi pembelajaran politik bagi masyarakat bagaimana sebuah partai dapat menyelesaikan konflik internal tanpa harus diselesaikan dengan kekekerasan, makian dan sampai harus keluar dari partai yang membesarkan mereka.  

Perkembangan politik bangsa saat ini, memperlihatkan adanya gejala ke arah terlupakannya peran pendidikan politik. Dengan kata lain, sejak runtuhnya rezim Orde Baru hingga  reformasi seperti saat ini, elite politik, baik yang berada pada tingkat supra struktur maupun infra struktur telah gagal melakukan pendidikan politik yang benar kepada warga negara.

Implementasi etika politik sebagai salah sarana pendidikan belum berpihak pada masyarakat, bangsa dan negara. Reaksi dari kalangan supra struktur (Presiden, DPR, dan MPR) maupun infra struktur (partai politik, golongan penekan/tokoh masyarakat serta alat komunikasi politik) cenderung mempertahankan kekuasaan dan mencari kedudukan dengan bersembunyi di balik konstitusi.

Masyarakat menjadi ajang rebutan untuk mendapatkan dukungan politik belas kasih. Hal ini dibuktikan dengan seringnya elit politik memobilisasi massa yang berarti pemasungan terhadap demokrasi itu, sehingga yang ada bukan partisipasi politik yang sesungguhnya tetapi partisipasi politik yang semu.

Pendidikan politik sering disebut dengan istilah political forming atau politische bildung. Di sebut forming karena di dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut bildung (pendidikan diri sendiri) karena istilah ini menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik  (Khoiron, dkk. 1999 ).

Pendidikan politik pada hakikatnya adalah sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa, karena hal ini menyangkut relasi antar individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial, dalam situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan dan kemajemukan masyarakat.

Baca juga: Politik Injury Time, Parpol Jangan Salah Pilih

Dengan demikian, pendidikan politik bagi warga negara adalah penyadaran warga negara untuk sampai pada pemahaman politik atau aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan pertarungan konflik-konflik.

Pendidikan politik ini diselenggarakan sebagai upaya edukatif yang sistematis dan intensif untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara.

Selanjutnya, Hess dan Newman (1989) mendefenisikan sosialisasi politik sebagai suatu proses mentransmisi pola-pola nilai dan perilaku politik yang stabil dalam suatu masyarakat. Semua pembelajaran politik baik formal maupun informal, tidak hanya melibatkan belajar politik secara eksplisit.

Dengan demikian sosialisasi politik mencakup semua aktivitas dalam belajar politik, bagaimana memperoleh sikap dan nilai-nilai tentang politik dan bagaimana bertindak secara politik. Sudah banyak penelitian tentang sosialisasi politik, namun ada satu kajian yang paling erat kaitannya dengan sosialisasi politik yaitu teori belajar sosial (social learning theory).

Dalam perspektif teori belajar sosial tersebut, perubahan kognisi politik sebagai salah satu hasil belajar (sosialisasi) politik bermula dari pengamatan terhadap sebuah peristiwa, baik langsung maupun tidak langsung yang disertai peniruan terhadap model yang diamati (modeling).

Teori belajar sosial berakar pada teori psikologi aliran perilaku (behaviourism), yang menyandarkan konsepsinya pada empirisme dan pragmatisme. Menurut teori ini cara seseorang mempelajari perilaku baru dibedakan menjadi dua cara, yaitu (1) belajar melalui konsekuensi respon (learning by response consequences), dan (2) belajar melalui peniruan (learning through modeling).

Belajar melalui konsekuensi respon mengacu kepada pengalaman langsung berkenaan dengan akibat suatu respon (tindakan). Belajar melalui konsekuensi respon memainkan tiga fungsi, yakni (1) menyediakan informasi, (2) melahirkan motivasi, dan (3) memperkuat respon secara otomatis.  

Model lain yang erat kaitannya dengan sosialisasi politik di kemukakan oleh Kraus dan Davis (1989) ia mengemukakan ada dua model sosialisasi politik yaitu: model progresi linear dan model keluarga.

Model progresif linear terbagi atas tiga model yaitu: model peran, model perilaku, dan model sikap politik sebagai jalan untuk menjelaskan pembangunan sikap, peran, dan perilaku politik.

Model peran memandang perilaku politik dikembangkan dari terpaan terhadap peran politik. Peran politik yang kita lihat pada individu akan menjadi basis bagi aktivitas politik selanjutnya. Keluarga memainkan peran yang cukup dominan dalam membangun sikap politik yang pada akhirnya akan melahirkan kedewasaan politik serta perilaku politik.

Model perilaku politik ini berasumsi bahwa anak-anak pada umumnya menganut pandangan politik yang mirip atau hampir sama dengan orang tuanya. Model ini memandang bahwa orang tua mengindoktrinasi anaknya dalam dalam hal sistem politik.

Sedangkan model sikap perilaku terlalu menyederhanakan pengaruh orang lain. Padahal sikap politik itu sendiri dipelajari dalam angka waktu yang relatif lama sehingga tidak realistis bila kita beranggapan bahwa sikap politik anak selalu berasal dari sikap politik orang tua.

Kedua model kekuatan keluarga (familiy primacy model), sepanjang tahun 50-an hingga awal 60-an mayoritas studi tentang sosialisasi politik menunjukkan bahwa pengaruh keluarga menyentuh semua aspek-aspek lain dari proses sosialisasi yaitu: teman sebaya, pendidikan, status sosial, jenis kelamin, umur, dan persepsi yang keseluruhannya bagaikan berbentuk lingkaran yang di tengah-tengahnya terdapat keluarga.

Studi tentang agen sosialisasi politik menunjukkan bahwa keluargalah yang menjadi faktor dominan yang membentuk arah dan derajat pengaruh terhadap perilaku politik.

Oleh sebab itu, dinamika yang terjadi pada dua partai saat ini dan kemungkinan besar akan terjadi pada partai lain, sebaiknya diselesaikan dengan pendekatan organisasi dan juga diputuskan secara organisasi sehingga masyarakat akan semakin simpati dengan partai karena salah satu fungsi partai adalah rekruitmen politik yang melalui jalan pengkaderan. Lalu apa jadinya partai kalau tidak lagi yang mau berpartai. (*)