Revisi UU Pemilu hanya Memperluas Kekuasaan
Efriza, telisik indonesia
Minggu, 31 Januari 2021
0 dilihat
Efriza, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP). Foto: Ist.
" Persoalan ambang batas parlemen ini kembali menimbulkan pro dan kontra, tulisan ini akan membahas persoalan tersebut. "
Oleh: Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)
PARTAI-partai politik di DPR beberapa minggu ini sedang menyibukkan diri untuk menghitung upaya memperluas kekuasaan politik yang akan direngkuhnya ke depan. Keinginan meraih kekuasaan sebanyak-banyaknya tampak dalam membahas revisi undang-undang pemilu.
Tak tanggung-tanggung, yang dilakukannya adalah mengatur soal kenaikan ambang batas (parliamentary threshold) di DPR dan juga menerapkan aturan penetapan ambang batas untuk DPRD.
Ambang batas parlemen yang merupakan batas minimal partai politik untuk diikutkan dalam penentuan kursi dan penentuan wakilnya di parlemen. Ambang Batas ini diterapkan berjenjang yakni ambang batas untuk DPR sebesar 5 persen, sementara ambang batas DPRD provinsi sebesar 4 persen, dan ambang batas DPRD kabupaten/kota sebesar 3 persen.
Persoalan ambang batas parlemen ini kembali menimbulkan pro dan kontra, tulisan ini akan membahas persoalan tersebut.
Mengakali Suara Rakyat
Upaya penetapan ambang batas parlemen ini, sejatinya adalah mekanisme partai-partai di parlemen memberangus kesempatan bagi partai-partai kecil yang tidak berada di parlemen dan membunuh kesempatan hidup bagi partai politik baru.
Pengaturan yang terkesan berjenjang itu sejatinya hanya mengakomodir 9 partai politik di DPR saja, sebagai ilustrasi, jika partai A mendapat suara lebih dari 5 persen dalam Pileg DPR sebelumnya, maka partai A berhak mendapatkan kursi DPR dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Sedangkan jika memperoleh suara 4 persen dalam Pileg DPR sebelumnya, partai itu tidak berhak mendapatkan kursi DPR meski berhak mendapat kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dan selanjutnya, jika partai A mendapat suara 3 persen dalam Pileg DPR sebelumnya, maka mereka tidak berhak mendapatkan kursi DPR dan DPRD provinsi, tetapi partai A tetap berhak mendapat kursi DPRD kabupaten/kota.
Hitung-hitungannya tak perlu menunggu Pemilu, karena dapat diprediksi bahwa hanya 9 dari total 16 partai politik peserta pemilu yang mampu lolos ke parlemen pada Pemilu 2024 nanti. Mereka yang lolos tentu saja adalah partai-partai politik di parlemen saat ini yakni PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN dan PPP.
Baca juga: Mendiskusikan Kembali Pemilu Serentak
Sedangkan tujuh partai-partai lain tak akan memperoleh kursi, karena Partai Perindo saja hanya mampu memperoleh 2,67 persen, nasib naas juga menyertai Partai Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Partai Garuda dan PKPI tak akan mendapatkan kesempatan memperoleh kursi.
Jika kita membuka kembali perdebatan di parlemen setiap lima tahunan terhadap revisi undang-undang Pemilu, tampak bahwa parliamentary threshold untuk di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sudah sempat diwujudkan dalam Undang-Undang Pemilu yang ditetapkan pada tahun 2014 lalu, namun aturan ini akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan tidak berlakunya parliamentary threshold sebesar 3,5 persen yang berlaku secara nasional tersebut, disebabkan ketidakadilan dalam pembagian kursi-kursi di lembaga legislatif.
Partai-partai politik yang semestinya memperoleh kursi berdasarkan ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah, malah dirampas kursinya oleh partai politik lain yang sebenarnya malah gagal dalam memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih. Realitas ini menunjukkan bertentangan dengan kedaulatan rakyat dan tujuan Pemilu itu sendiri.
Kepentingan Kekuasaan Semata
Ambang batas parlemen telah diterapkan sejak tahun 2009, setelah kegagalan aturan electoral threshold di Pemilu 2004 sebelumnya. Aturan parliamentary threshold ini menyebutkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat diikutkan dalam proses penentuan kursi DPR dengan adanya ambang batas yang ditetapkan dan selalu mengalami kecenderungan kenaikan.
Seperti pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen mencapai 2,5 persen. Tetapi pada Pemilu 2014, ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5 persen. Angka itu kembali mengalami kenaikan kedua kalinya pada Pemilu 2019 dengan 4 persen. Dan, untuk menuju Pemilu 2024 tampaknya ambang batas parlemen cenderung untuk dinaikkan dibandingkan untuk tetap dipertahankan sebesar 4 persen tersebut.
Tujuan penerapan ambang batas parlemen itu sejatinya untuk menyederhanakan sistem kepartaian tetapi dengan instrumen pengurangan jumlah partai politik di parlemen.
Aturan ini dapat dianggap sebuah aturan yang baik, dengan eksekusi penyederhanaan partai yang cenderung cepat, untuk tujuan efektifitas dari dinamika di parlemen agar terjadinya kekuatan partai-partai yang seimbang.
Baca juga: Pragmatisme Politik
Meski begitu, aturan ini juga dianggap mengabaikan hasil dari suara rakyat, karena calon yang dipilih akan gagal ke DPR jika ketentuan ambang batas tak terpenuhi.
Persoalan ambang batas ini juga sebenarnya malah menciptakan perilaku partai-partai yang makin pragmatis. Apalagi jika diterapkan dengan sistem parliamentary threshold hingga sampai DPRD.
Bukan saja mereka mengabaikan suara rakyat atas calon yang semestinya terpilih tetapi gagal karena ketentuan ambang batas tersebut. Melainkan dampaknya juga partai-partai cenderung akan makin abai dalam peranannya melakukan pengkaderan.
Partai-partai juga cenderung akan mengabaikan membangun identitas kepartaian karena semangatnya hanya kepentingan kekuasaan semata, ideologi lagi-lagi hanya hiasan belaka tanpa bisa diterjemahkan dalam bentuk visi-misi dan program partai, tawaran preferensi kebijakan instan yang dipilih untuk disampaikan ke konstituen tanpa berbasis nyata untuk dapat diproses dan diwujudkan.
Kecenderungan memikirkan pasar politik elektoral memaksa partai-partai memasang calon yang memang populer dengan mengabaikan memberi kesempatan besar kepada kadernya. Padahal kadernya yang semestinya didorong untuk menjadi wakil rakyat, karena mereka telah berkeringat sejak lama membesarkan partai.
Pola jenjang pengkaderan seketika ‘terbang’ tertiup angin tatkala memasuki perhelatan pemilu untuk kepentingan memenangkan elektoral semata.
Kecenderungan terjadi nomadisme politik (politisi kutu loncat) juga dilakukan oleh anggota-anggota partai di parlemen. Perpindahan wakil rakyat ke partai lain tak bisa dihindari.
Terjadinya eksodus wakil rakyat makin kentara dan meningkat beriringan dengan kenaikan-kenaikan ambang batas parlemen. Inilah yang terjadi ketika tujuan pemilu, hanya diterjemahkan sebagai memperoleh wakil-wakil rakyat dan menjadi wakil rakyat kembali.
Semestinya ada nilai luhur dari keikutsertaan seseorang berpolitik dan bergabung dalam partai tertentu, inilah yang terabaikan, berupa adanya kesepakatan individu dan partai politik atas dasar kesamaan visi-misi, program, dan preferensi kebijakan dari dasar ideologi partai tersebut.
Baca juga: Kejutan Kecil tapi Bermakna di Pemilihan Serentak 2020
Di sisi lain, persoalan ambang batas ini akan menghadirkan politik elektoral dengan biaya yang mahal. Populernya seseorang calon di masyarakat namun instan dalam berpolitik dan berpartai, tentu akan membuat calon tersebut gagap dalam menjelaskan partai politik beserta programnya kepada konstituen dan pemilih.
Akhirnya, berdampak bukan saja calonnya yang instan yang tercipta tetapi juga perilaku instan digunakan dalam berkampanye. Konsekuensinya menghasilkan politik kampanye berbiaya besar.
Perhelatan Pemilu sebagai kompetisi penawaran program diganti dengan prioritas menggunakan materi (uang) semata, ini juga terjadi fenomena ‘mengguyur’ basis konstituen partai dengan uang semata.
Tentu saja ini akan merusak semangat anggota-anggota partai dalam membesarkan partai berdasarkan perjuangan partai itu untuk masyarakat.
Dapat dipastikan akan terjadinya konflik internal, dalam realitas sikap berupa ‘bara dalam sekam’ di kepartaian, seperti antarsesama kader-kader partai, ada yang mendasari membangun partai dengan program nyata bagi masyarakat karena mereka sejatinya juga warga masyarakat, tetapi ada pula yang merasa kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari adanya perhelatan pemilu.
Di sisi lain, korupsi akan dapat makin populer menjadi hot news, ini tak lain, perilaku instan tersebut akan membuat sosok tersebut terasing dalam basis partai, mau tak mau, praktek instan akan terus dilakukannya, dan inilah yang menyebabkan biaya di pemilihan dan biaya hidup sebagai wakil rakyat akan memaksanya untuk mencari dana dengan terus menerus.
Sehingga dipikirannya tak tampak lagi halal dan haram dan memudarnya nilai luhur bekerja sebagai wakil rakyat.
Realitas inilah yang tak pernah hadir dipermukaan, yang ada hanya semangat menihilkan kompetisi, dengan argumentasi demi penyederhanaan kepartaian, efektivitas dalam proses politik di parlemen dan efektivitas untuk sistem pemerintahan.
Padahal, penyederhanaan kepartaian dengan ambang batas yang sedang dirumuskan ini dilakukan hanya untuk syahwat kekuasaan semata, sebab tak ada semangat mendorong laku berikutnya setelah porsi pembicaraan ambang batas parlemen yakni berupa mereformasi kepartaian.
Seperti mempertanyakan dan mendorong perumusan mekanisme dalam pengkaderan dan penentuan calon-calon wakil rakyat, sebab cara instan yang selama ini dipraktekkan telah menghasilkan wakil rakyat yang terasing dengan konstituen dan pemilih dan tergagap dalam proses pembuatan kebijakan. (*)