Tantangan Pilkada di Tengah Pandemi COVID-19 Kala New Normal

Siswanto Azis

Reporter

Kamis, 04 Juni 2020  /  9:35 pm

Dosen Hukum Tata Negara Unsultra, La Ode Muhram, S.H.,M.H. Foto: Siswanto Azis/Telisik

KENDARI, TELISIK.ID - Pilkada serentak 2020 akhirnya ditentukan nasibnya. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara sepakat Pilkada serentak digelar pada 9 Desember 2020.

Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 telah dituangkan dalam Perppu No.2 Tahun 2020 sebagai penundaan Pilkada akibat COVID-19.

Menurut  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara La Ode Muhram, S.H.,M.H, jika hanya didasari pada penjelasan Kepala Gugus melalui surat No. b-196 tahun 2020, itu bukan pencabutan status bencana.

"Dalam Perppu 2/2020 tidak ada ruang untuk menyelenggarakan Pilkada sepanjang status bencana belum dicabut," menurutnya.

Baca juga: Pemkot Siapkan Skenario KBM di Sekolah Saat New Normal

Faktualnya, kata dia, penafsiran yang terjadi terkesan parsial. Basisnya seolah menggeser dari Regeling ke Policy. Melanjutkan tahapan Pilkada seolah dasar hukumnya adalah kebijakan new normal.

"Menilik new normal, sepertinya ada kegamangan dalam memaknai new normal. Apakah new normal ini bermakna bahwa bencana non alam sudah berakhir atau belum," ujarnya kepada Telisik.id, Kamis (4/6/2020).

Padahal menurut La Ode Murham, ukuran kepastiannya adalah pencabutan status bencana nasional. Jika new normal adalah perilaku menyesuaikan diri di tengah bencana, berarti bencananya belum berakhir.

Lebih jauh, jika new normal adalah pencabutan status bencana meski masih terjadi bencana non alam (Pandemi COVID-19), maka bisa dibenarkan. Tapi itupun materilnya tetap bencana, ia hanya terlekat pada kebenaran hukum saja, bukan kebenaran sosiologisnya.

"Sekali lagi kita cermati, menilik substansi Perppu 2/2020, penjadwalan Pilkada belum dilanjutkan sepanjang status bencana belum dicabut," tegasnya.

Baca juga: Satu Korban Kecelakaan Kapal di Sungai Konawe Ditemukan Tewas

Kalaupun tetap harus dilaksanakan, menurut La Ode Murham, solusinya adalah merubah Perppu 2/2020. Cantumkan pasal eksepsional yang mengakomodir status new normal.

Atau teknisnya, tafsir dan berlakukan new normal itu sebagai pencabutan status bencana. “Ke dua opsi ini pun memang berkonsekuensi terhadap preseden buruk politik hukum kepemiluan kita yang rabun, tidak futuristik. Tapi, sudahlah, tidak masalah, demi tertib hukum,” lanjutnya.

Dengan memaksakan Pilkada di masa pandemi COVID-19, sama halnya berjudi dengan keselamatan rakyat dan penyelenggara. Berarti penyelenggaraan di tengah kondisi unpredictable.

"Apalagi ini rentan dengan hak hidup underogable right yang tak boleh dikangkangi oleh hak lain, Misal pun Citizen Legal Right - Hak Politik,” tutupnya.

Masih banyak kondisi lainnya yang memang begitu menyiratkan bahwa terlalu dini jika tahapan dilanjutkan. Apakah dengan memaksakan selekasnya bisa menjamin pelaksanaannya baik? Ataukah lebih bermanfaat?, Ingat. Berhukum itu ada hukumnya. Salus Populi Suprema Lex (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara).

Reporter: Siswanto Azis

Editor: Sumarlin