Zakat Fitrah dan Seni Mengatur Harta untuk tidak Dihambur-Hamburkan

Iin Prasetyo

penulis

Sabtu, 30 April 2022  /  11:19 am

Iin Prasetyo, Peminat Ekonomi Islam, Jurnalis dan Narablog Tinggal di Medan. Foto: Ist.

Oleh: Iin Prasetyo

Peminat Ekonomi Islam, Jurnalis dan Narablog Tinggal di Medan

“AMBILAH zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Ta’ala Mahamendengar lagi Mahamengetahui,” (Q.S. At Taubah: 103).

Maqashid kewajiban berzakat tertuang dalam firman Allah Q.S. At Taubah: 103. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa zakat disyariatkan untuk tujuan tertentu yakni mendidik kepribadian yang suka memberi atau dermawan.

Sementara itu, dalam maqashid Hadis tentang zakat fitrah, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mewajibkannya untuk tujuan khusus yakni mensucikan harta orang yang melaksanakan zakat fitrah (muzakki) dan membantu kaum miskin untuk menyongsong hari Raya sehingga kegembiraan pun bisa sama-sama dirasakan.

Oleh karena itu, sabda Rasul dalam Hadis yang diriwayatkan Abi Said Al Khudhri: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ makanan atau satu sha’ syair atau satu sha’ kurma atau satu sha’ aqth”.

Tujuan itu pun dikemukakan oleh Ibnu Abbas dalam Hadis Riwayat Abu Daud bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan kata yang tidak terpuji, juga untuk memberikan makan orang-orang miskin.

Hadis itu memakai diksi ‘makanan’ oleh karenanya beberapa bentuk makanan yang disabdakan Rasulullah bukanlah tujuan melainkan sarana. Artinya, setiap makanan yang sekiranya pantas dan membantu orang miskin pada hari Lebaran maka dibolehkan. Itulah pendapat jumhur fuqaha yang membolehkan setiap bentuk yang dapat meringankan hajat orang miskin di hari Idulfitri.

Seni mengatur harta dalam Islam

Manajemen ekonomi Islam mengatur bagaimana dua ruang lingkup fikih muamalah, yang pertama bersifat adabiyah yaitu ijab dan kabul, saling ridha, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, membagi hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia dan berhubungan dengan kehartaan.

Baca Juga: Renungan Ramadan: Puasa yang Nihil

Sedangkan sifat madiyah seperti dikatakan Dr. Mardani dalam buku Fiqh Ekonomi Syariah, Prenamedia Group, 2012, yaitu mencakup segala aspek kegiatan ekonomi manusia yang pertama sekali mengatur harta, hak milik, fungsi uang, dan ‘uqud.

Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. Al Isra’: 26 – 27: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”. Allah secara jelas mengharuskan kita untuk membelanjakan harta kepada orang-orang yang memenuhi kriteria untuk menerimanya, termasuk kepada orang-orang yang dalam perjalanan, dan Allah tegas melarang untuk jangan tabdzir atau menghambur-hamburkan harta. Bahkan orang yang berlaku boros (al mubadzdzirin) digolongkan sesama setan.

Keseimbangan merupakan keniscayaan dalam seni mengatur harta. Maka dari itu Allah pun memerintahkan untuk membelanjakan harta kita secara proporsional, tidak berlebih-lebihan. Allah Ta’ala juga berfirman dalam Q.S. Al Furqan: 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta (mereka) tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir”.

Prinsip ekonomi Islam tidak menghendaki tabzdir, sebaliknya harta harus dialokasikan secara wajar. Prinsip tersebut adalah asal dari pembentukan karakter orang untuk menjadi konsumen yang cerdas. Tentu ketika orang menjalankan perannya sebagai konsumen harus bersikap bijaksana, selektif memilih barang konsumsi, mulai dari menilai kualitas, menimbang kuantitas hingga pada harga berapa barang tersebut pantas dikonsumsi atau dinikmati.

Artinya, konsumsi itu dilakukan berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan, bukan keinginan.

Satu lagi, perilaku konsumsi yang berakibat pada isu kelangkaan dan mahalnya harga suatu barang akan bisa mendorong keresahan, biasanya disebut panic buying.

Ini adalah tantangan kita untuk bagaimana menjadi konsumen yang penuh pertimbangan, ketika isu kelangkaan dan hal yang mendukungnya mencuat jangan sampai membuat kita tergesa-gesa menentukan barang kebutuhan apalagi sampai menimbun barang, sungguh orang yang tergesa-gesa itu mendapat pengaruh dari setan.

Baca Juga: Memahani Penghentian Penyidikan dan Bahasa Massa

Kemudian dari pada itu, salah satu cara mengembangkan harta ialah menunaikan zakat. Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang dijelaskan dari buku Dr. Mardani, bahwa salah satu dampak atas usaha menunaikan zakat adalah mengembangkan harta benda. Pengembangan harta yang dimaksud dapat dilihat dari dua sisi, yaitu spiritualitas, berdasarkan pada  firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al Baqarah: 276: “Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.

Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa”. Kemudian dari sisi ekonomis-psikologis, yaitu ketenangan batin dari pemberi zakat, infak, dan sedekah akan mengantarkannya berkonsepsi dalam pemikiran dan usaha pengembangan harta.

Di sisi lain juga si penerima zakat, infak, atau sedekah itu akan berpengaruh pada daya beli dan meningkatkan produksi. Dijelaskan juga bahwa dampak dari zakat yakni mengikis habis sifat-sifat kikir dan melatih orang (yang berzakat) untuk lebih peduli atau dermawan sehingga dapat mengantarkannya pada rasa syukur atas nikmat Tuhan.

Hasil akhirnya ialah dapat mensucikan diri dan mengembangkan kepribadian. Selain itu zakat dapat juga menciptakan ketenangan dan kedamaian bukan hanya bagi si penerima zakat tapi bagi si pemberi juga. (*)