Renungan Ramadan: Puasa yang Nihil

Makmur Ibnu Hadjar, telisik indonesia
Minggu, 24 April 2022
0 dilihat
Renungan Ramadan: Puasa yang Nihil
Makmur Ibnu Hadjar, Pengurus MUI Sultra, Alumni UGM & Curtin University. Foto: Ist.

" Manakala seseorang yang selesai berpuasa tetapi tidak menjadi bertakwa, maka seluruh puasanya sis-sia "

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

Pengurus MUI Sultra, Alumni UGM & Curtin University

ISTILAH puasa yang kita kenal selama ini berasal dari bahasa Sangsekerta. Artinya setara dengan shiyam atau shaum dalam bahasa Arab. Esensi yang dikandung secara maknawi baik dari sisi semantik  maupun dalam pemahaman ibadah, adalah menahan diri.

Jadi, arti sesungguhnya puasa itu adalah latihan menahan diri atau mengendalikan diri. Allah Subhana Wata’la mewajibkan setiap muslim untuk melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadan. Tujuannya ialah agar setiap muslim meraih predikat pribadi sebagai manusia takwa.  

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah Ayat 183, Allah menjelaskan tujuan puasa ini secara gamblang, yaitu; hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

Dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengatakan bahwa manakala seseorang yang selesai berpuasa tetapi tidak menjadi bertakwa, maka seluruh puasanya sis-sia. Dengan  demikian puasa yang bermakna di sisi Allah adalah puasa yang menghasilkan sikap takwa.

Dengan kata lain, puasa yang kita laksanakan manakala tidak menghasilkan sikap takwa maka hampir pasti puasa kita “nihil” atau tidak menghasilkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Dengan demikian, kita perlukan penjelasan secara proporsional, makna dan substansi  apa itu takwa dan bagaimana perwujudan dan manifestasinya dalam sikap moral dan sikap praksis kita.

Pertama-tama kita harus memahami indikasi faktual dari definisi takwa. Rujukan kita adalah ayat-ayat awal Surat Al-Baqarah (Q:2: 2-4), yaitu; Pertama; mereka yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk; Kedua, mereka yang percaya kepada yang ghaib; Ketiga, mereka menegakkan shalat; Keempat, mereka mendermakan sebagian harta mereka, dan Kelima, mereka yang yakin akan adanya akhirat.  

Baca Juga: Memahani Penghentian Penyidikan dan Bahasa Massa

Itulah rumusan takwa, yakni lima indikatif sikap moral dan muamalah, seperti yang disebutkan di atas.

Pengertian lain dari pada takwa yang lebih umum adalah ingat kepada Allah. Sehingga berimplikasi dalam sikap spiritual dan sikap lahiriah kita, suatu kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir dalam setiap denyut jantung dan tarikan nafas kita.

Disebabkan oleh kesadaran yang mendalam bahwa Allah selalu hadir menyertai pada dimensi ruang dan waktu. Kemudian segala laku fisik dan laku spiritual kita selalu merujuk kepada apa yang diridhoi oleh Allah. Untuk itu, menurut Nurcholish Madjid, takwa itu mempunyai korelasi posistif dengan “akhlaqul karimah” (budi pekerti yang luhur).

Sepektrum takwa meliputi laku iman, yaitu ibadah kepada Allah, percaya yang ghaib, menegakkan shalat  dan  mendermakan sebahagian harta yang kita miliki. Spekturum lainnya adalah laku personal kita, yang terkait  dengan hubungan sosial, atau hubungan sesama manusia dan lingkungan, yaitu akhlaqul karimah.

Baca Juga: Mahasiswa Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Manivestasi sisi spiritual dan manivestasi sisi sosial (muamalah) ibadah puasa, adalah mendorong mengembangkan dan melatenkan sikap takwa. Apabila kita telah menetapkan niat untuk melaksanakan puasa, kemudian menahan lapar dan dahaga, mengendalikan hubungan boilogis dengan istri/suami, mengendalikan amarah dan berkata bohong, serta kita mewujudkan sikap empati kepada dhuafa, anak yatim dan fakir.  

Kita konsisten tidak melanggar semua itu, karena yakin bahwa Allah bersama kita. Kita menjadi jujur kepada Allah dan kita jujur kepada diri sendiri serta jujur kepad sesama manusia. Pembentukan sikap kejujuran kepada Allah, jujur kepada diri sendiri serta jujur kepada sesama manusia.

Semua ini adalah dasar pembentukan takwa, dan manakala sikap itu dapat dirawat dan pertahankan, maka kita mendapatkan stutus yang dikonstatir oleh Allah dalam Al-Baqarah 183, yakni menjadi manusia bertakwa. Artinya, puasa Ramadan kita tidak sia-sia. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga