Ini Sejarah Halal Bihalal dan Makna Ucapan Minal Aidin Wal Faizin

Ibnu Sina Ali Hakim, telisik indonesia
Sabtu, 15 Mei 2021
0 dilihat
Ini Sejarah Halal Bihalal dan Makna Ucapan Minal Aidin Wal Faizin
Ilustrasi halal bihalal. Foto: Repro umroh.com

" Minal Aidin, termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah. Fitrah manusia yang sejati, nuraninya menyala, punya sifat baik dan peduli. Wal Faizin, dan orang yang beruntung. Karena dosanya diampuni, amal-amal baiknya diterima oleh Allah. Itulah makna dari Minal Aidin Wal Faizin "

KENDARI, TELISIK.ID - Pada hari raya Idul Fitri, umat Islam di Indonesia memiliki tradisi bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, teman, dan juga tetangga.

Tidak hanya bertemu dan bertukar kabar, silaturahmi tersebut juga dijadikan momen untuk saling meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.

Anak-anak sungkem pada orang tuanya. Teman, kerabat, dan tetangga, saling berjabat tangan.

Momen saling bermaafan itu juga dikenal dengan istilah "halal bihalal"

Pada saat bermaaf-maafan, umat Islam di Indonesia biasa mengucapkan satu kalimat yang sama "Minal Aidin Wal Faizin".

Apa maknanya?

Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menjelaskan, "Minal Aidin Wal Faizin" adalah istilah yang dipopulerkan di Indonesia dan menjadi tradisi Islam.

"Minal Aidin, termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah. Fitrah manusia yang sejati, nuraninya menyala, punya sifat baik dan peduli. Wal Faizin, dan orang yang beruntung. Karena dosanya diampuni, amal-amal baiknya diterima oleh Allah. Itulah makna dari Minal Aidin Wal Faizin," kata Cholil dilansir dari Kompas.com Sabtu (15/5/2021).

Tidak hanya itu, ucapan Minal Aidin Wal Faizin juga mengandung harapan agar setiap muslim selalu dalam keadaan baik, dan mudah-mudahan amalan Ramadan yang telah dijalani dapat membuat menjadi lebih baik.

"Mudah-mudahan amal kita Ramadan ini menjadi latihan, yang nantinya setelah Ramadan bisa menjadi lebih baik, dan kita tahun depan bisa sampai pada Ramadan yang akan datang," kata Cholil.

Baca Juga: Ini Alasan Mengapa Dalam Islam Dikatakan Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

Sementara itu dilansir dari sindonews.com, istilah halal bihalal berasal dari bahasa Arab, namun ternyata orang Arab sendiri tidak mengerti makna dan esensi dari halal bihalal.

Hal itu karena, tradisi halal bihalal adalah tradisi yang khas dan hanya dijumpai pada komunitas muslim di Indonesia.

Pencetus terminologi halal bihalal adalah KH Wahab Chabullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Istilah tersebut muncul sekitar pertengahan Ramadan pada 1948.

Ketika itu, Presiden Soekarno tengah dihadapkan dengan permasalahan disintegrasi bangsa yang kian memanas pasca-pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun.

Di tengah situasi pelik itu, para elit politik pada saat itu justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi.

KH Wahab Chasbullah, yang dimintai pendapat oleh Bung Karno, kemudian menyarankan acara silaturahim di antara elit politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.

Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.

Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elit politik yang hadir.

KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah 'halal bihalal'.

Diawali dengan penjelasan situasi para elit politik yang saling serang dan menyalahkan satu sama lain, KH Wahab menjelaskan hukum saling menyalahkan dalam Islam.

Dia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa dan hukumnya haram. Agar elit politik terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.

Baca Juga: Solusi Palestina, Mubalig Sultra: Negara Muslim Kirim Tentara Usir Israel

Caranya, para elit politik harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan.

KH Wahab Chasbullah menyebut acara itu sebagai 'Thalabu halal bi thariqin halal', maksudnya adalah mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan dengan cara memaafkan kesalahan.

Alur pemikiran itu kemudian membawa K.H Wahab pada sebuah istilah yang hingga saat ini dikenal luas di Indonesia, yaitu halal bihalal.

Bung Karno pun menerima baik usulan itu. Saat Idul Fitri tiba, ia mengundang seluruh tokoh politik ke Istana untuk mengikuti acara halal bihalal.

Untuk pertama kalinya sejak perbedaan pendapat di antara mereka muncul, para elite politik yang berbeda-beda itu duduk di satu meja dan momen tersebut dinilai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itu, acara tatap muka, berbincang-bincang serta saling bersalam-salaman tersebut diikuti oleh instansi pemerintah hingga masyarakat luas hingga saat ini. (C)

Reporter: Ibnu Sina Ali Hakim

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Baca Juga