Isu Hak dan Pilihan Bebas di Balik Sebatang Rokok

Zaenal Abidin, telisik indonesia
Sabtu, 22 Juni 2024
0 dilihat
Isu Hak dan Pilihan Bebas di Balik Sebatang Rokok
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015. Foto: Ist.

" Pertumbuhan perokok aktif di Indonesia tersebut tidak terlepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya kepada masyarakat, melalui media sosial "

Oleh: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015

BEBERAPA pekan terakhir ini marak pemberitaan mengenai meningkatnya kasus merokok anak dan remaja di Indonesia. Berita ini pun kembali menyadarkan publik kita bahwa rokok masih merupakan masalah kesehatan serius di negeri ini. Dan juga menyadarkan tentang perlunya melindungi anak dan remaja kita dari produk tembakau dan nikotin.  

Bermula dari peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), 31 Mei 2024, yang mengangkat tema “Lindungi Anak dari Campur Tangan Industri Produk Tembakau”. Tema ini diperkuat oleh sebuah survei yang mengatakan bahwa anak-anak berusia 13-15 tahun di sebagian besar negara secara konsisten menggunakan produk tembakau dan nikotin.  

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti pun ikut angkat bicara guna memperkuat tema HTTS ini. Menurut Eva Susanti, kita dihadapkan dengan bahaya pertumbuhan perokok aktif di Indonesia, terutama pada anak dan remaja. Pertumbuhan perokok aktif di Indonesia tersebut tidak terlepas dari industri produk tembakau yang gencar memasarkan produknya kepada masyarakat, melalui media sosial. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id, 29 Mei 2024.

Hak dan Pilihan Bebas

Dalam dunia pemasaran terdapat sebuah pandangan bahwa konsumen biasanya memiliki penilaian yang terbaik bagaimana mengatur pengeluaran uangnya untuk pembelian barang dan jasa. Asumsi tersebut didasari oleh adanya hak-hak yang melekat pada diri seorang konsumen.  

Hak-hak tersebut, antara lain: Pertama, konsumen berhak membuat pilihan bebas yang rasional dan berdasarkan informasi setelah mempertimbangkan biaya dan manfaat pembeliannya. Kedua, bahwa konsumen memikul semua biaya yang dikeluarkan. Andai semua konsumen menggunakan hak-hak mereka dengan cara seperti ini dan mengetahui risiko serta beban biaya yang akan ditanggung, maka secara teoritis pasti akan menggunakan sumber daya yang ada padanya secara efisien.  

Berikut ini akan kita bedah, apakah pilihan bebas yang dilakukan oleh seorang perokok sama persis pada pilihan untuk konsumsi barang lain? Orang yang merokok akan merasakan keuntungan seperti perasaan nikmat dan perasaan terbebas. Selanjutnya perokok akan mencoba membandingkan keuntungan-keuntungan ini dengan biaya yang dikeluarkan secara pribadi atas pilihan yang diambilnya.  

Biasanya perokok mengatakan bahwa keuntungan akan dirasakan melebihi biaya yang dikeluarkannya. Sebab jika tidak, pasti perokok tidak akan mengeluarkan uang untuk merokok.  

Meski demikian, dapat saja pilihan bebas untuk membeli rokok berbeda dengan pilihan bebas untuk membeli barang konsumsi lain. Misalnya, bila ditilik dari tiga kaca mata berikut ini. Pertama, ada bukti bahwa banyak perokok tidak mengetahui atau menyadari penyakit dan kematian dini akibat pilihan bebas mereka.  

Kedua, merokok biasanya dimulai sejak anak dan remaja (menjelang dewasa). Anak dan remaja mungkin belum menyadari risiko kesehatan yang dihadapi akibat merokok. Akibatnya, mereka meremehkan biaya yang akan dihabiskan untuk merokok, yaitu biaya yang harus dipikul dimasa tua nanti (biaya perawatan kesehatan dan hilangnya berbagai kesempatan) karena tidak mampu mengubah keputusan yang diambil diwaktu muda (anak dan remaja).  

Ketiga, merokok memberi beban biaya pada orang yang tidak merokok. Dengan membebankan sebagian biaya kepada orang lain, perokok mungkin akan terdorong untuk merokok lebih banyak lagi dibanding jika harus memikul sendiri semua biaya itu. Ini tentu tidak adil.

Baca Juga: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri Versus Naturalisasi Dokter Asing

Mereka yang bukan perokok jelas harus mengeluarkan biaya ekstra akibat ketidaknyamanan, gangguan kesehatan, dan iritasi yang disebakan tersebarnya kepulan asap di lingkungan sekitarnya. Selain itu, perokok disinyalir membebankan biaya finansial secara tidak langsung kepada masyarakat bukan perokok. Paling tidak, bila biaya pelayanan kesehatan pada tingkat tertentu dibayar dengan pajak umum, maka mereka yang bukan perokok ikut kebagian dari biaya itu.

Selain menimbulkan masalah sosial ekonomi, perokok akan menerima berbagai konsekuensi kesehatan akibat dari kebiasaannya. Konsekuensi tersebut, seperti ketagihan nikotin. Sifat kecanduan nikotin telah tersebar dengan baik melalui brosur, spanduk, maupun poster-poster, namun masih saja diremehkan oleh berbagai pihak, baik konsumen (perokok) maupun industri.  

Merokok dapat mengakibatkan penyakit serta kecacatan yang fatal. Dan, bila dibandingkan dengan berisiko lainnya, risiko kematian dini akibat merokok adalah risiko yang luar biasa tingginya. Separuh dari perokok jangka panjang pada akhirnya akan meninggal karena tembakau, dan setengah diantara mereka terpaksa harus mengakhiri hidupnya dalam usia masih produktif.  

Penyakit yang berhubungan dengan rokok telah terdokumentasikan dengan baik. Setidaknya terdokumentasi di dalam buku “Pedoman Diagnosis Penyakit Terkait Rokok" yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tahun 2012. Setidaknya ada 15 penyakit terkait rokok dan mekanismenya terangkum di dalam buku ini. Dan, tentu saja terdapat langkah-langkah diagnosis, pencegahan, dan tata laksananya.

Kelima belas penyakit tersebut, yakni: stroke iskemik (infark serebri), penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh arteri perifer, kanker, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, infeksi saluran pernapasan, gangguan pada kehamilan dan janin, dampak merokok terhadap ukuran janin, dampak merokok terhadap perkembangan neurologis dan kognitif, bayi berat lahir rendah (BBLR), sudden infant death syndrome (SIDS), gangguan kesuburan (infertilitas) dan impotensi, gangguan reproduksi perempuan, dan terakhir diabetes.

Di daerah di mana kasus TBC masih tinggi, risiko perokok untuk terpapar kuman TBC, jauh lebih besar dibanding mereka yang tidak merokok. Bahkan dalam banyak diskusi, rokok pun disebut dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh, sehingga akan mudah terjangkit suatu penyakit.

Orang tua yang merokok dapat mengakibatkan anaknya menjadi stunting. Mengapa demikian? Pertama, karena asap rokok mengganggu penyerapan gizi pada anak, yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya. Kedua, karena dilihat dari sisi biaya belanja rokok yang membuat orang tua mengurangi jatah belanja makanan bergizi dan biaya kesehatannya.

Baca Juga: Desa Wisata Namu, Asa Indonesia Poros Maritim Dunia

Rokok, juga mempengaruhi kesehatan orang yang tidak merokok. Contoh, bayi-bayi dari ibu yang perokok, lahir dengan berat badan rendah. Selain itu ia pun menghadapi risiko tinggi terjangkit penyakit pernapasan dan mengahadapi risiko “sindrom bayi meninggal secara mendadak” (sudden death syndrome) yang lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang lahir dari ibu yang bukan perokok.  

Catatan Akhir

Keseluruhan kisah tentang sebatang rokok dan perokok di atas, jika ditarik lebih jauh, maka kita akan bertemu dengan isu kemanusiaan yang mendasar, yakni “Sehat sebagai hak azasi manusia dan sehat sebagai investasi.” Di sini, seorang perokok betul-betul harus menghitung baik-baik pemaknaan hak dan pilihan bebasnya.  

Bahwa memang betul, merokok adalah hak dan pilihan bebas bagi perokok. Tapi sebagai makhluk berakal mereka pun diberi hak dan pilihan bebas yang lebih luhur? Hak dan kehendak bebas yang lebih luhur itu adalah hak untuk hidup sehat dan terhindar dari semua akibat buruk dari sebatang rokok.

Baru berbicara persoalan hak individu, rokok sudah membuat hidup menjadi rumit. Bagaimana lagi kalau dikaitkan dengan hak dan HAM orang lain yang terganggu atau menderita penyakit akibat kepulan asap para perokok (perokok pasif) di sekitarnya.  

Karena itu, sekalipun dikatakan hak dan pilihan bebas, konsumsi rokok tetap buruk. Buruk kepada perokok dan keluarganya, kepada seluruh komunitas, lingkungan hidup, perekonomian negara, dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Wallahu ‘allam bisawwab. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga