Ironi Buruh di Konawe, Akankah Sejahtera?

Luthfiah Jufri, telisik indonesia
Minggu, 20 Desember 2020
0 dilihat
Ironi Buruh di Konawe, Akankah Sejahtera?
Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd, pemerhati sosial asal Konawe. Foto: Ist.

" Wajar saja jika para buruh melakukan aksi protes terhadap perusahaan tambang tersebut, karena banyak hak-hak mereka yang dikurangi bahkan dihilangkan sementara tuntutan kewajiban semakin meningkat. Buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama dalam perekonomian justru dimarjinalkan. "

Oleh: Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd

Pemerhati Sosial Asal Konawe

ALIH-alih mendapat kesejahteraan pasca disahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ribuan buruh di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara menuntut Kenaikan Gaji dan Perubahan Status Karyawan pada Senin (14/12/20). UU Ciptaker telah resmi berlaku sejak diundangkan pada 2 November 2020, ternyata tidak berdampak baik bagi aktivis buruh.

Aksi demonstrasi ribuan buruh itu tergabung dalam Aliansi Buruh dan Federasi Buruh. Mereka adalah pekerja Smelter nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) Morosi. Mereka kesal karena tak kunjung ada kenaikan upah dan perubahan status karyawan.

Ketua Front Nasional Pekerja Buruh Indonesia (FNPBI) Konawe, Irfan menuturkan, banyak karyawan di dua perusahaan tersebut yang telah bekerja lebih dari 1,8 tahun, namun masih kategori karyawan kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) (Telisik.id, 14/12/2020).  

Menurut Irfan melalui telepon seluler, Senin (14/12/20) menuturkan seharusnya yang sudah lebih dari 1,8 tahun kerja sudah naik menjadi karyawan tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Bahkan karyawan itu sudah ada yang kerja sampai empat tahun tapi masih kontrak.  

Tak hanya itu, pihaknya juga menuntut kenaikan upah karyawan yang telah bekerja lebih dari satu tahun lamanya. Pasalnya, tenaga kerja lokal (TKL) diupah sebesar Rp 2,7 juta sedangkan untuk tenaga kerja asing (TKA) upahnya mencapai Rp 10 juta per bulan.

Baca juga: Demokrasi yang Memilukan

Akibat Buruk UU Ciptaker

Pengesahan UU Ciptaker ini telah membuka mata kita bahwa di balik UU tersebut memang ada upaya yang kuat mengeksploitasi buruh. Jika ditelaah lebih jauh pasal-pasal yang tertuang dalam UU tersebut telah terbukti dampak buruknya.

Bertolak belakang dengan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, terutama di pasal 42 bahwa bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun, maka berlaku upah minimum yang ditetapkan Gubernur. Artinya, jika telah lebih dari satu tahun seharusnya status dan gaji mereka sudah naik.

Mengacu pada definisi pekerja dan ketentuan pasal 41 dan 42 PP78/2015 dalam laman Sekretaris Kabinet Negara disebutkan tidak ada perbedaan keberlakuan ketentuan upah minimum antara pekerja PKWT dan PKWTT, itu artinya ketentuan tersebut berlaku untuk semua pekerja secara umum.

Adapun pekerja kontrak, sebelumnya hanya dapat dikontrak selama dua tahun dan bisa diperpanjang satu tahun. Jika masih dibutuhkan, pengusaha harus mengangkat dia sebagai karyawan tetap.

Namun, UU Ciptaker membuka peluang pengusaha untuk menggunakan pekerja Outsourcing dan pekerja kontrak dalam jangka Panjang. Hal ini tentunya lebih murah karena mereka tak mendapatkan pesangon ketika masa kontraknya habis. Dibandingkan menjadi karyawan tetap pengusaha harus banyak mengeluarkan uang.

Wajar saja jika para buruh melakukan aksi protes terhadap perusahaan tambang tersebut, karena banyak hak-hak mereka yang dikurangi bahkan dihilangkan sementara tuntutan kewajiban semakin meningkat. Buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama dalam perekonomian justru dimarjinalkan.

Baca juga: Muhammadiyah, FPI dan Human Right

Standar Gaji Buruh Menurut Islam

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh di tempat dia bekerja, bukan upah terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka harus ada pakar yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak.

Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.  

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa. Wa’allahu’alam biishowab.(*)

Artikel Terkait
Baca Juga