Desa Wisata Namu, Asa Indonesia Poros Maritim Dunia

Muh. Nato Alhaq, telisik indonesia
Minggu, 16 Juni 2024
0 dilihat
Desa Wisata Namu, Asa Indonesia Poros Maritim Dunia
Muh. Nato Alhaq, S.IP, M.Si, Ketua Prodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari, Mahasiswa Pascasarjana UHO. Foto: Ist.

" Potensi Namu belum sepenuhnya dikembangkan. Desa Namu masih menghadapi permasalahan, seperti kurangnya infrastruktur dasar wisata (jalan beraspal, listrik dan komunikasi), fasilitas wisata, promosi, dan sumber daya manusia yang terampil di bidang pariwisata "

Oleh: Muh. Nato Alhaq, S.IP, M.Si

Ketua Prodi Desain Komunikasi Visual UM Kendari, Mahasiswa Pascasarjana UHO

 

KEINDAHAN Namu bukanlah dongeng. Coba keluarlah, nikmati keping surga terhampar di negerimu itu, sebelum benar-benar menjelma dongeng buah keserakahan.

Namu, secara administratif adalah Desa Wisata sejak 2017 di Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Potensi wisata bahari yang luar biasa dengan pantai berpasir putih nan indah, jernih air laut  dengan terumbu karang yang terjaga. Hutan bakau yang lebat serta spot snorkeling dan diving yang menarik. Desa Namu memiliki prasyarat  menjadi tujuan wisata yang populer di Indonesia.

Pemda Konsel seingat saya datang belakangan dalam mengkonsepsi surga bumi ini sebagai kawasan wisata umum. Sebelumnya kelompok masyarakat pemerhati lingkungan membahu bersama Kepala Desa  serta masyarakat Namu menyelamatkan sisa potensi alam yang ada, hingga dapat terbentuk spot Namu seperti saat ini.  

Pemerintah sudah lebih peduli sekarang ketimbang awal awal perintisan. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terbentuk. Kepala Desa aktif berpromosi dan Pemda mendorong infrastruktur sesuai kemampuan yang juga terbatas.

Dinas Pariwisata kabarnya juga peduli dengan memasukan Namu dalam kalender event-event strategis kepariwisataan. Turis lokal, mancanegara mulai datang mencicip kecantikan alam desa ini. Kampus terkemuka semisal UGM Jogjakarta, UHO dan UM Kendari juga menjadikannya sebagai daerah penelitian dan pengabdian.

Sayangnya belum cukup. Potensi Namu belum sepenuhnya dikembangkan. Desa Namu masih menghadapi permasalahan, seperti kurangnya infrastruktur dasar wisata (jalan beraspal, listrik dan komunikasi), fasilitas wisata, promosi, dan sumber daya manusia yang terampil di bidang pariwisata. Hal ini menyebabkan Desa Namu belum dikenal luas oleh para wisatawan baik lokal terlebih lagi turis internasional.  

Pengembangan wisata bahari di Desa Namu adalah ikhtiar menuju poros maritim dunia yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan ekonomi maritim, melestarikan sumber daya kelautan dan pesisir, serta memperkuat pertahanan dan keamanan maritim.  

Laman kominfo.go.id, menguraikan 5 (lima) pilar cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia oleh Presiden Joko Widodo:

• Pilar pertama: pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.

• Pilar kedua: Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Baca Juga: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri Versus Naturalisasi Dokter Asing

• Pilar ketiga: Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.

• Pilar keempat: Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan

• Pilar kelima: Membangun kekuatan pertahanan maritim.

Lebih lanjut, saya ingin melihat desa wisata ini dalam beberapa perspektif antara lain:  

A. Wisata Sebagai Benteng dari Pengrusakan Ekosistem Perairan Laut

Saya tidak ingin membahas Sulawesi Tenggara sebagai daerah primadona baru sektor pertambangan dunia. Melainkan mencoba mendendangkan keindahan lain yang lebih berkelanjutan. Keberadaan industri pertambangan di daerah pesisir laut seringkali membawa ‘ketersakitan’ lingkungan.

Misalnya Pencemaran/kerusakan ekosistem yang mengarah pada    kiamat sumber daya alam hayati khususnya bagi lokasi terdampak serius pertambangan. Jika demikian, maka aktivitas civitas ekonomika pertambangan tersebut berbenturan dengan upaya masyarakat  dan global untuk melestarikan potensi maritim sebagai daya tarik wisata sekaligus ancaman bagi program Indonesia sebagai Poros maritim dunia.

Dalam konteks ini, kami memandang Konsep Desa Wisata berbasis potensi bahari dapat menjadi benteng perlindungan terhadap kerusakan lingkungan. Prasyaratnya:

1. Berdayanya masyarakat lokal selaku pemangku kepentingan pengelola sumber daya pesisir dan laut. Dengan ini akan mendorong masyarakat  menjaga kelestarian lingkungan sebagai kesadaran utama.

2. Berkembangnya model-model ekowisata dan pariwisata berbasis konservasi, yang menekankan pada edukasi dan partisipasi wisatawan dalam upaya pelestarian lingkungan maritim.

3. Tumbuhnya industri pariwisata yang ramah lingkungan, seperti akomodasi ramah lingkungan, dan pengolahan sampah yang berkelanjutan.

4. Membangun advokasi dan gerakan bersama antara masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain untuk menolak izin-izin industri ekstraktif yang dapat merusak lingkungan pesisir dan laut.

5. Mitigasi dampak wisata khususnya bagi sistem adat/kearifan lokal, masyarakatnya sekaligus aspek lingkungannya.

Tuhan memberkahi Desa Namu dengan kepingan keindahan, namun bersamanya juga ditakdirkan berselimut sumber daya ekstraksi dalam bentuk galian tambang.  Artinya eksistensi keindahan desa berhadapan dengan potensi  eksploitasi lingkungan tidak berkelanjutan. Apa yang kemudian masyarakat Desa Namu kembangkan? Jawabannya adalah “Kesadaran Bersama hidup bermartabat dalam  lingkungan lestari”.

Bagaimana kesadaran bersama tersebut bekerja, berikut faktanya. “Status” Desa Namu adalah alat tekan atau senjata perlawanan terhadap tambang talian C yang berada di desa tersebut. Keberadaan tambang galian batu ini dicermati warga dan pemukanya sebagai ancaman nyata atas keindahan alam maupun perubahan ekologi bagi  pertanian desa Namu termasuk desa sekitarnya.  

Setelah berdialektika dan menghadapi dinamika yang tidak mudah, masyarakat berhasil menekan sehingga galian C yang beroperasi di Desa Namu dapat menghentikan aktivitasnya atas eksistensi desa wisata tersebut.  

Dalam kasus ini, pengembangan konsep desa wisata, tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui aktivitas kepariwisataan, lebih jauh konsep ini menjadi benteng perlindungan atas eksploitasi sumber daya alam dengan tidak bertanggung jawab baik oleh warganya maupun pihak lain.  Hal ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia yang menekankan pada keberlanjutan dan kelestarian lingkungan laut.

B. Mengembalikan Martabat Nelayan Sebelum Ditetapkan Kawasan Wisata 2017

Masyarakat Namu adalah nelayan dengan sebagian bergaya destruktif. Menangkap ikan dengan  bius bahkan bom ikan. Selain membahayakan nelayan, cara ini  merusak terumbu karang sebagai habitat ikan dan sejumlah komoditi  laut lainnya. Dampaknya, tangkapan berkurang drastis dan nelayan harus berlayar jauh dari desa.

Baca Juga: Tandus Nilai Agama, Tindak Asusila Marak di Kampus

Tentu saja berakibat naiknya biaya operasional yang tidak sebanding dengan harga jualnya. Masyarakat Namu hidup terbatas dengan ekonomi yang terbelakang karena profesi nelayan hanya bisa menghasilkan sedikit untuk kehidupan. Hasil melaut hanya  cukup untuk dijual ke pengepul kecil atau di jual ke tetangga dan sisanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga nelayan.  

Cerita pilu nelayan Namu berubah seiring perjalanan desa wisata Namu.  Saat ini ada beragam karakter nelayan bahkan tata cara mengelolanya. Tentu tidak lepas dari budaya masyarakat terhadap lautnya. Antara lain nelayan tenggiri, penombak ikan, penembak ikan, dan nelayan pancing. Seluruh aktivitas tersebut terkonsepsi sebagai komoditi wisata yang menghasilkan:

a. Mondondo (menombak ikan). Jika sebelumnya kebiasaan ini hanya ritual ekonomis yang menekankan pada hasil tangkapan. Sejak berstatus desa wisata, Dinas Pariwisata menggubahnya sebagai atraksi wisata. Kelihatan sederhana namun dengan strategi ini, bisa merubah pandangan mencari ikan harus jauh keluar desa menjadi  aktivitas di sekitar pesisir saja.

Demikian pula perubahan dari  menjual komoditi ikan saja menjadi komoditi hiburan atau wisata unik bagi para wisatawan. Upaya baik ini mengalihkan system eksploitasi yang lebih berwawasan lingkungan sekaligus memberi peluang pendapatan nelayan melalui kompensasi biaya sebagai ivent pertunjukan bahari.

b. Nelayan yang meninggalkan profesinya karena kemiskinan dapat dicegah dengan peningkatan pendapatan bukan hanya dari hasil tangkap, melainkan jasa penyewaan kapal nelayan juga menjadi pendapatan lain bagi nelayan. Khusus pada masa masa tertentu, profesi nelayan menjadi spesial karena kunjungan wisatawan yang ingin melakukan wisata pemancingan atau wisata selam.

c. Spot terumbu karang yang mulai terjaga, menjadi destinasi wisata selam yang menawan bagi wisatawan sekaligus menciptakan kenyamanan bagi biota laut penghuni karang. Perbaikan ekologi ini pada gilirannya mengembalikan hasil tangkapan yang berlimpah selaras kesejahteraan nelayan yang ikut membaik.

Perubahan paradigma nelayan yang dulu meninggalkan profesi karena tekanan ekonomi, akhirnya pulang pada panggilan samudera. Mereka menjawab bagaimana bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang berdaya dan bermartabat. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga