Kedekatan Sukarno dan Baduy

Kardin, telisik indonesia
Selasa, 17 Agustus 2021
0 dilihat
Kedekatan Sukarno dan Baduy
Presiden Sukarno menyalami Pak Hasan, utusan Baduy, di Rangkasbitung, pada 29 Maret 1957. (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten). Foto: Repro Historia.id

" Sebelum menyampaikan pidato dalam rapat umum "Persatuan" di alun-alun Rangkasbitung, Sukarno menemui utusan Baduy sebanyak tujuh orang yang diketuai oleh Pak Hasan, mantan lurah di daerah Baduy, dan Pak Katje "

JAKARTA, TELISIK.ID - Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR dan DPD RI pada 16 Agustus 2021.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jokowi memakai pakaian adat. Kali ini, yang ia kenakan adalah pakaian adat suku Baduy atau Kanekes yang terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dikutip dari Historia.id, dari empat tugas hidup masyarakat Baduy, salah satunya berkaitan dengan pemerintah, yaitu ngasuh ratu ngajayak menak (mengasuh penguasa dan mengemong para pembesar negara).

"Oleh karena itu, mereka tabu melawan atau memberontak kepada pemerintah 'yang harus diasuh dan dibimbingnya'. Keyakinan terhadap tugas tersebut tidak pernah luntur ataupun berubah sekalipun terjadi pergantian pemerintahan," tulis Toto Sucipto dan Julianus Limbeng dalam studi tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten seperti dilansir dari Historia.

Dengan demikian, hubungan Baduy dengan pemerintah daerah dan pusat terjaga dengan baik. Sebagai wujud hubungan baik itu, mereka memiliki tradisi seba, yaitu upacara adat tahunan menghadap pemerintah daerah Lebak dan Banten untuk mempersembahkan hasil pertanian. Mereka datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki sebagai ciri khasnya menuju pendopo kabupaten dan provinsi.

Berdasarkan cacatan, Presiden Pertama Republik Indonesia, Sukarno beberapa kali menerima kunjungan suku Baduy.

Pada 1950, Sukarno menerima dua orang Baduy di Istana Negara, Jakarta. Foto pertemuannya tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Foto lain koleksi Yayasan Idayu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) menunjukkan Ibu Negara Fatmawati hadir dalam pertemuan itu.

Tahun berikutnya, pada 1951, dalam kunjungan kedua kalinya ke Banten, Sukarno juga bertemu utusan masyarakat Baduy. Kemudian, pada 3 Juli 1954, Sukarno menerima utusan Baduy bernama Saltiwin dan Darjeuni di Istana Bogor.

Orang Baduy kembali bertemu dengan Sukarno pada 29 Maret 1957 ketika Sukarno berkunjung ke Rangkasbitung (Lebak), Banten.

Partaatmadja, staf Direktorat Publikasi Departemen Penerangan, yang mengikuti kunjungan itu melaporkan dalam Mimbar Penerangan, Tahun VIII, No. 4, April 1957: "Setelah kurang lebih tujuh tahun tak bertemu dengan rakyat Rangkasbitung, Bung Karno merasa sono (kangen), demikian pula sebaliknya rakyat Rangkasbitung merasa sono pula dengan Bung Karno."

Sebelum menyampaikan pidato dalam rapat umum "Persatuan" di alun-alun Rangkasbitung, Sukarno menemui utusan Baduy sebanyak tujuh orang yang diketuai oleh Pak Hasan, mantan lurah di daerah Baduy, dan Pak Katje.

"Sampaikanlah salamku kepada saudara-saudara lainnya dari Baduy yang tak dapat hadir," kata Sukarno kepada Pak Hasan, masih dikutip dari Historia.id.

Baca Juga: Ini Kronologi Peristiwa Rengasdengklok, Penculikan Soekarno-Hatta dan Proklamasi Kemerdekaan

Baca Juga: Ini Deretan Negara Pertama Akui Kemerdekaan Indonesia, Semuanya Negara Islam

Sukarno merupakan presiden yang paling dikenang oleh masyarakat Baduy. Mereka beberapa kali bertemu. Sehingga mereka punya joke soal presiden, sebagaimana dicatat budayawan Radhar Panca Dahana: “Presiden saya Soekarno, kalau Pak Harto kan cuma penggantinya.”

Dilansir dari Kompas.com, ketika berkunjung ke Baduy Dalam pada 2015, Gubernur Banten Rano Karno membuktikannya, Rano juga bercerita tentang masyarakat suku Baduy yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dia pimpin.

"Beberapa bulan lalu, saya sempat masuk ke wilayah Baduy Dalam. Di sana, tak seorang pun yang kenal saya," ujarnya.

Menurut Rano, warga Baduy Dalam, sesuai hukum adat, tidak melihat televisi dan radio.

"Tetapi, yang mengagetkan saya, ada warga Baduy yang menyimpan dan memasang foto Presiden Soekarno ketika bertemu masyarakat Baduy tahun 1950-an," lanjutnya dalam terbitan Kompas 21 April 2015 yang dikutip J. Osdar dalam tulisannya, "Rano, Jokowi, dan Badui.

Sementara dilansir dari IDNTimes.com, hubungan Sukarno dan Baduy dapat dilihat dari tradisi pelarangan warga asing dari Belanda masuk ke Baduy dalam.

"Sejarahnya Presiden Sukarno pernah ditemui di istana dan pernah berkunjung ke Baduy dari situ di Baduy ada larangan kulit putih (bule) Belanda tidak boleh ke Baduy dalam (hingga saat ini)," kata Kepala Pemerintahan Baduy, Jaro Saija dikutip dari IDN Times. (C)

Reporter: Kardin

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga