Keluarnya Narapidana di Masa Pandemik, Perlukah?

Hijriani, telisik indonesia
Minggu, 03 Mei 2020
0 dilihat
Keluarnya Narapidana di Masa Pandemik, Perlukah?
Hijriani, S.H., M.H, Dosen FH Universitas Sulawesi Tenggara & Praktisi Hukum. Foto: Ist.

" Sekitar 38.822 narapidana dan anak telah dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak untuk mengikuti program asimilasi dan integrasi sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di lapas, rutan, dan LPKA. Hal tersebut dinyatakan oleh Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham Rika Aprianti. "

Hijriani, S.H, M.H

Dosen Fak. Hukum Universitas Sulawesi Tenggara & Praktisi Hukum

Sekitar 38.822 narapidana dan anak telah dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak untuk mengikuti program asimilasi dan integrasi sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di lapas, rutan, dan LPKA.

Hal tersebut dinyatakan oleh Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham Rika Aprianti.

Kementerian Hukum dan HAM menargetkan jumlah narapidana dan anak yang dikeluarkan melalui program asimilasi dan integrasi sekitar kurang lebih 30.000 orang.

Pengeluaran dan pembebasan tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 sekaligus Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 yang telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beberapa waktu yang lalu.

Aturan yang hampir berkaitan juga tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang hal yang sama. Berdasarkan beberapa aturan di atas, pengeluaran Narapidana dan Anak melalui asimilasi dilakukan dengan berbagai syarat:

  1. Narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020;
  2. Anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020
  3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012
  4. Tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing (WNA).

Apabila melihat dari sisi wabah dan kondisi bangsa saat ini dengan adanya pandemic Covid-19, mempengaruhi semua bagian kehidupan berbangsa kita. Tidak hanya di Indonesia, pemimpin negara lainpun turut menganut kebijakan yang sama, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Iran, Brazil, Polandia, Turki, Myanmar, Afganistan, serta negara lainnya, sebagaimana instruksi Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet dalam keterangan tertulisnya di Genewa, yang mendesak negara-negara untuk melonggarkan populasi di penjara.

Hal itu dilakukan untuk melindungi orang-orang yang ditahan dalam fasilitas tertutup seperti penjara yang terlalu penuh dan sesak. Risiko penyebaran Covid-19 akan lebih rentan dalam lembaga pemasyarakatan.

Memang secara general atau global, pembebasan narapidana terjadi di belahan dunia, penyebabnya tidak lain karena terjadi over crowded prison system dimana di dalam lapas atau rutan jumlah penghuni melebihi kapasitas. Ini baru di lapas atau rutan, belum lagi tahanan penyidik baik kepolisian dan kejaksaan.

Crowded atau kepadatan yang melebihi kapasitas merupakan masalah yang semakin  meluas di sejumlah negara dan tempat  penahanan. Ini tentu saja masalah  kemanusiaan yang sangat serius, karena  secara otomatis berujung pada kondisi  penahanan di bawah standar dan seringkali tidak manusiawi.

Puluhan ribu orang terpaksa hidup dalam waktu lama di dalam ruangan yang sesak,  dengan ruang untuk bergerak, duduk atau  tidur yang tak mencukupi. Hal ini secara  serius merongrong kemampuan pemerintah  untuk memenuhi kebutuhan dasar para  tahanan terkait tempat tinggal, perawatan  medis, bantuan hukum dan kunjungan keluarga.

Terjepit di ruangan sempit, seringnya dalam kondisi kebersihan yang buruk dan tak ada privasi, membuat terampasnya kebebasan yang dalam keadaan normal pun sudah  membuat tertekan, dan terasa jauh lebih  buruk. Situasi ini mengikis martabat manusia  dan merusak kesehatan fisik dan mental tahanan, serta prospek reintegrasi mereka.

Selain memberikan beban berlebihan pada infrastruktur, kondisi ini juga meningkatkan potensi ketegangan dan konflik antar tahanan dan dengan para pegawai lapas. Situasi ini dengan cepat menyebabkan kesulitan dalam menjaga ketertiban di dalam penjara, yang  selanjutnya mengakibatkan konsekuensi yang berpotensi sangat buruk dalam hal keamanan bagi para tahanan, serta dalam hal pengawasan dan keamanan.

Baca juga:  Diskusi Demokrasi di Tengah Pandemi

Dalam kondisi tersebut tindakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bisa dimafhumi, apalagi dengan situasi pandemik sekarang ini sebagai tindak lanjut dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Akan tetapi dalam prosesnya, yang perlu diperhatikan bahwa pembebasan tahanan tidak hanya sebatas diatur oleh aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, juga  mestinya memenuhi syarat sebagaimana pokoknya diatur dalam:

1.  Pasal 15 Ayat 1 KUHP mengenai Pembebasan Bersyarat: “Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana….”

2. Syarat pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana diatur pada Pasal 82 sampai Pasal 88 Permenkumham No. 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

3. Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat berikut ini :  

a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.  

c. Telah mengikuti program pembinaan (asimilasi) yang diterima oleh masyarakat seperti kegiatan pendidikan, latihan keterampilan, atau kerja sosial pada lembaga sosial dengan baik, tekun, dan bersemangat.

 d. Bagi narapidana terkait terorisme, korupsi, narkotika, kejahatan kemanan negara, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional harus telah menjalani asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.

e. Bagi narapidana terkait terorisme, korupsi, narkotika, kejahatan kemanan negara, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional, harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

f. Bagi narapidana terorisme, harus menyatakan secara tertulis ikrar kesetiaan kepada NKRI atau tidak akan mengulangi perbuatannya bagi Narapidana WNA.  

g. Bagi narapidana terorisme, harus telah mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.  

h. Bagi Narapidana korupsi, harus telah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Tindakan pembebasan itu pula seharusnya memenuhi syarat “kepantasan” dalam artian sejauh mana Kementerian Hukum dan HAM memfasilitasi Narapidana yang masih tetap berada dalam Lapas dalam pendeteksian, pencegahan dan pengobatan terkait dengan Covid-19.

Pembebasan sejumlah narapidana sebaiknya beriringan dengan hal lainnya, misalnya dengan memfasilitasi dengan sarana kesehatan, pengobatan, sistem imunitas, monitoring dari tim perawat dan dokter dalam lingkup Kemenkumham.

Kemudian terhadap narapidana yang dibebaskan baik melalui asimilasi, pembebasan bersyarat, remisi, terdapat jaminan yang mesti dipatuhi oleh narapidana, misalnya dengan menandatangani dokumen penjaminan baik oleh keluarga, lembaga sosial, LBH, atau lainnya sebagai pencegahan pengulangan tindak pidana.

Selama jangka waktu tertentu telah menunjukkan itikad baik dengan tidak mengulangi tindak pidana, serta berkas dokumen kurang lebih 30.000 narapidana telah memenuhi persyaratan untuk ditindaklanjuti dengan asimilasi, remisi atau pembebasan bersyarat sebagai yang diatur baik dalam KUHP atau aturan teknis dalam Kementerian Hukum dan HAM sendiri untuk menghindari “jasa calo” atau “titipan” serta hal-hal lainnya yang memenuhi syarat “kepantasan”, agar keluarnya narapidana tidak mengusik ketenangan publik dan menebar ketakutan dalam masyarakat.

Namun fakta di masyarakat, beberapa kasus narapidana yang sebelumya telah mendapatkan asimilasi, remisi atau pembebasan bersyarat, melakukan kejahatan kembali dan berhasil mengusik ketenangan masyarakat.

Kondisi tersebut terjadi karena sebagian besar dari narapidana tidak memiliki tabungan atau pekerjaan, sementara situasi usaha dan perekonomian di masa pandemik menjadi sulit, karakter bawaan yang melekat baik individu maupun sosial sehingga tidak ber-efek jera, pelanggaran/kejahatan terjadi  karena lebih sering gagal memenuhi  persyaratan aturan itu sendiri, seperti syarat lapor.

Persiapan mental dan psikologis yang belum stabil selama masa tahanan sehingga para napi tidak siap ketika berada di tengah-tengah masyarakat, dan stigma buruk yang melekat pada para napi sehingga mereka sulit diterima oleh masyarakat.

Hal-hal tersebut harusnya menjadi pertimbangan matang sebelum dilakukannya pembebasan oleh Kementerian Hukum dan HAM, tidak malah menjadi masalah baru yang menyulitkan, karena faktanya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta seluruh jajarannya meningkatkan koordinasi dengan kepolisian terkait narapidana yang dibebaskan kembali melakukan tindak pidana lagi.

Warga binaan pemasyarakatan yang mengulangi tindak pidana setelah mendapatkan asimilasi dan integrasi untuk segera dikembalikan ke lembaga pemasyarakatan usai menjalani BAP di kepolisian agar yang bersangkutan langsung menjalani pidananya.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Yasonna saat memberikan pengarahan secara online terhadap semua Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) dan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kementerian Hukum dan HAM.

Bagaimanapun pada akhirnya, memberikan kebijakan asimilasi, remisi, atau bebas bersyarat kepada narapidana yang telah melakukan kejahatan bukanlah perkara sederhana.

Selain membutuhkan pertimbangan justifikasi yang tepat serta langkah yang matang, implikasi setelah narapidana dibebaskan seharusnya menjadi hal yang diperhitungkan secara baik dan matang. Mengingat bahwa jumlah napi yang dibebaskan tidak sedikit mencapai puluhan ribu, serta berlangsungnya pandemi belum diketahui secara pasti kapan akan berakhir. (*)

Artikel Terkait
Baca Juga