Kasus Guru Mansur, Urgensi Undang-Undang Perlindungan Guru

Rifqi Aunur Rahman, telisik indonesia
Sabtu, 27 Desember 2025
0 dilihat
Kasus Guru Mansur, Urgensi Undang-Undang Perlindungan Guru
Rifqi Aunur Rahman, Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Foto: Ist.

" Sejak Pengadilan Negeri Kendari memvonis Mansur dengan hukuman 5 tahun penjara, pembelaan warga dan institusi PGRI semakin menguat "

Oleh: Rifqi Aunur Rahman

Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

KASUS guru Mansur semakin menggelinding jauh. Kasus itu bermula saat Mansur, seorang guru di SDN 2 Kendari, Sulawesi Tenggara diduga melakukan pelecehan terhadap siswinya. Sejak Pengadilan Negeri Kendari memvonis Mansur dengan hukuman 5 tahun penjara, pembelaan warga dan institusi PGRI semakin menguat.

Bahkan ustadz sekaliber Zezen Zainal Mursalim, Lc, pimpinan Yayasan Mu'adz bin Jabal memvideokan testimoni bahwa Mansur adalah guru yang baik dan berdedikasi terhadap profesinya.

Puncak dukungan terhadap Mansur terjadi pada 17 Desember 2025. Saat itu orang tua murid dan ribuan guru yang tergabung dalam PGRI melakukan aksi demonstrasi di Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Para pendidik itu menuntut pengadilan meninjau ulang vonis terhadap Mansur.

Dalam konteks hukum pidana, pendemo itu tentu meminta hakim pengadilan tinggi menilai kembali fakta-fakta persidangan (keterangan saksi, terdakwa, bukti) dan penerapan hukum oleh pengadilan tingkat pertama, mencari (legal error), seperti kesalahan dalam menerima bukti atau instruksi yang salah.

Kasus yang menimpa Mansur bukan kasus pertama yang dialami guru-guru di Indonesia. Ada puluhan guru yang dikriminalisasi karena diduga melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya. Seperti kasus yang menimpa Zaharman, guru olahraga di SMAN 7 Rejang Lebong. Zaharman mengalami kebutaan pada mata kanannya setelah diketapel orang tua murid.

Kasus lain muncul di Sidoarjo Jawa Timur. Sambudi, guru SMP Raden Rahmat harus menghadapi tuntutan hukum setelah mencubit muridnya (SS) karena tidak ikut salat berjamaah. Penuntut umum menuntut Sambudi dengan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Kasus dari Bumi Anoa menghentak nurani publik. Supriyani, yang saat itu masih berstatus guru honorer sempat ditahan di lapas wanita Kendari karena dituduh menganiaya siswa. Guru di SDN 4 Baito Konawe Selatan itu dilaporkan setelah orang tua murid menemukan memar di paha dan menuding Supriyani melakukan kekerasan.

Baca Juga: Banjir dan Longsor Sumatera: Validasi Empiris Ketidakadilan Ekologis atas Kebijakan Eksploitasi SDA

Kalau disimak kronologinya, kriminalisasi terhadap guru-guru mulai mengejala sejak sekitar awal tahun 2002, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Maksud diundangkannya UU tersebut sebenarnya sungguh mulia yaitu melindungi anak dari tindak kekerasan dari siapapun yang menyebabkan anak itu mengalami trauma dan cacat fisik yang fatal.

Pasal 54 UU 35/2014 menyebutkan, "Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain".

Dengan rumusan yang sedemikian protektif terhadap peserta didik (siswa), rumusan pasal itu disalahartikan dan disalahgunakan oleh siswa dan orang tua untuk mempolisikan guru apabila dianggap melakukan kekerasan fisik. Walaupun kadar hukuman fisik itu terukur dan sepele, semisal mencubit yang meninggalkan luka lebam pada paha. Rumusan pasal itu melarang pendidik (guru) melakukan kekerasan sekecil apapun.

Padahal jika kita mengacu pada era pendidikan tahun 1990-an ke bawah, pendisiplinan siswa yang melanggar aturan sekolah dengan dicubit dan ujung lengan dan paha dipukul memakai penggaris adalah hal yang biasa. Selama hal tersebut tidak menyebabkan luka yang serius dan fatal.

Orang tua siswa nyaris tidak pernah melakukan komplain atau protes terhadap tindakan pendisiplinan tersebut. Malah tidak jarang dijumpai orang tua akan menambah hukuman apabila sang anak melaporkan kepada orang tuanya.

Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi sekarang. Sering kita dijumpai di media sosial seorang siswa dengan santai tanpa beban merokok dan meletakkan kaki selonjoran di meja kelas. Guru tidak berani menegur karena khawatir dikriminalisasi.

Sehingga sekarang terkesan guru hanya menjalankan fungsi pengajaran dan meninggalkan fungsi mendidik. Padahal mendidik dan mengajar adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa pengajaran dan pendidikan, mustahil bisa membentuk siswa yang beretika, bermoral, dan menjunjung tinggi adab.

Urgensi Undang-Undang Perlindungan Guru

Menyimak semakin banyaknya guru yang dikriminalisasi disaat menjalankan tugasnya sebagai pendidik, menjadi sangat penting dan mendesak (urgen) untuk segera diundangkan UU Perlindungan Guru. Ada 3 manfaat jika ada UU Perlindungan Guru. Pertama, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Jika guru sering diancam dipolisikan karena melakukan tindakan mendisiplinkan siswa yang dianggap melakukan pelanggaran aturan sekolah, hal tersebut akan menganggu proses pembelajaran di sekolah.

Baca Juga: Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan

Dengan adanya UU Perlindungan Guru, pendidik akan merasa nyaman dan aman dalam membentuk karakter siswa. Guru yang terlindungi akan lebih punya semangat mencurahkan segenap kemampuan dalam mendidik. Sehingga ruang sekolah menjadi ruang yang nyaman dan aman bagi peserta didik dan guru.

Kedua, ada pedoman yang pasti. Jika ada regulasi yang lengkap dan menyeluruh, seperti UU yang memberi batasan dan kriteria mendisiplinkan peserta didik. Di dalam UU Perlindungan Guru bisa dideskripsikan kriteria mendisiplinkan yang bersifat mendidik dan perilaku pendidik yang mengarah ke kekerasan kriminal. Sekaligus dalam UU Perlindungan Guru dijelaskan melalui pasal-pasal mekanisme  penyelesaian konflik melalui mediasi, antara orang tua murid dan guru.

Ketiga, menjaga wibawa guru. Guru adalah profesi yang mulia. "Pahlawan tanpa Tanda Jasa". Begitulah adagium yang sering kita dengar. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap profesi guru, maka akan mengembalikan ruh profesi guru sebagai sosok "sing digugu lan ditiru". Orang yang perkataanya dapat dipercaya (digugu) dan perbuatannya dapat dijadikan teladan (ditiru). Guru adalah sosok utama dalam pendidikan dalam arti luas, yang mencakup pengajaran ilmu, dan menjadi panutan dalam moral dan etika siswa.

Dengan semakin banyaknya guru-guru yang dikriminalisasi, sebaiknya pemerintah dan DPR segera berinisiatif menggodok RUU Perlindungan Guru dan jika disepakati segera disahkan menjadi UU Perlindungan Guru. Jika itu yang terjadi bisa dipastikan kasus kriminalisasi terhadap guru bisa dihindari. Dengan demikian iklim pendidikan nasional semakin sehat dan fokus mencetak generasi yang unggul dalam iptek, beretika, dan bermoral yang siap menyongsong generasi emas 2045. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga