Kisah Guru Honorer di Pesisir Pulau Tomia, Mengabdi Sembilan Tahun untuk Negeri

Boy Candra Ferniawan, telisik indonesia
Senin, 03 Mei 2021
0 dilihat
Kisah Guru Honorer di Pesisir Pulau Tomia, Mengabdi Sembilan Tahun untuk Negeri
Zulka bersama putranya. Foto: Ist.

" Saya punya harapan pada pemerintah untuk memperhatikan nasib guru honorer seperti saya. Alhamdulilah sekarang ada program P3K, itu sangat membantu. Namun meskipun cuma honorer, saya sampai detik ini mengajar murid saya dengan tulus agar menjadi orang hebat kelak. "

WAKATOBI, TELISIK.ID - Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Julukan itu sejatinya patut melekat pada seorang guru bernama Zulka.

Dia bukanlah seorang PNS yang digaji setiap bulan dengan berbagai tunjangan. Dia hanyalah guru honorer yang menerima upah seadanya.

Ayah dua anak ini telah mendedikasikan dirinya selama 9 tahun untuk mengajar di SMPN Satap Kulati tepatnya di Desa Kulati, Kepulauan Tomia, Kabupaten Wakatobi.

 

Zulka (berdiri kedua dari kanan) bersama rekannya guru SMPN Satap Kulati. Foto: Ist.

 

Sebagai guru Agama Islam, dia berasal dari Tanah Wolio. Awalnya dia meninggalkan kampung halamannya di Buton untuk mengejar cinta gadis pujaannya yang berasal dari Pulau Tomia.

Baca juga: Dedikasi Tak Terbatas Pengajar Anak Berkebutuhan Khusus

Zulka tahu betul, menjadi guru honorer tentu tidaklah mudah. Dirinya harus menafkahi anak dan istrinya dengan gaji yang pas-pasan.

Di saat awal mengajar, Zulka hanya menerima honor sebesar Rp 500 ribu per semester. Dalam arti dia harus menunggu 6 bulan agar dapat menerima upah. Sudah mencoba mengikuti tes CPNS 4 kali tapi tidak lolos, sebenarnya dia masih berminat mengadu nasib menjadi PNS, tapi umurnya tidak memungkinkan lagi.

Zulka berkisah, meski tak lolos menjadi PNS, dia tetap bersyukur karena sekarang dia memiliki SK dari bupati dengan gaji 500 ribu per bulan. Tapi itupun tidak permanen karena ada saat dirinya harus menerima bahwa namanya tidak terdaftar dalam SK karena ketatnya persaingan.

Perjuangan hidupnya ternyata sudah ditempa sejak kuliah. Untuk membiayai kuliahnya, dia harus mencari tambahan dengan menjadi tukang ojek. Dia belajar hidup mandiri walaupun saat itu ia tinggal bersama orang tua.

Baca juga: Dua Hari Berturut-turut, Pasien COVID-19 di NTT Meninggal Dunia

Hal yang paling memilukan dalam hidupnya adalah ketika harus menerima kenyataan bahwa putra sulungnya lahir sebagai tuna wicara (bisu). Berbesar hati, ia menerima kenyataan itu dengan ikhlas.

Kini umurnya tak muda lagi, sudah menginjak 38 tahun. Di Hari Pendidikan tanggal 2 Mei ini, dirinya berharap pendidikan di Indonesia bisa lebih maju dan berkembang lagi agar anak-anak Indonesia bisa meraih cita-citanya.

Sejatinya, keinginannya yang paling mendalam adalah bantuan dan uluran tangan pemerintah terhadap nasib guru honorer.

"Saya punya harapan pada pemerintah untuk memperhatikan nasib guru honorer seperti saya. Alhamdulilah sekarang ada program P3K, itu sangat membantu. Namun meskipun cuma honorer, saya sampai detik ini mengajar murid saya dengan tulus agar menjadi orang hebat kelak," ungkapnya. (B)

Reporter : Boy Candra Ferniawan

Editor: Haerani Hambali

TAG:
Baca Juga