Manarfa, Sosok Pendidikan di Buton
Ridwan Amsyah, telisik indonesia
Sabtu, 02 Mei 2020
0 dilihat
Profil Drs La Ode Manarfa. Foto: Ist
" Manarfa memandang bahwa dalam memajukan daerahnya, hanya bisa ditempuh dengan memajukan kualitas pendidikan di daerahnya dengan baik. "
BAUBAU, TELISIK.ID - Drs. H. La Ode Manarfa, Lahir di Kulisusu Buton Utara pada 22 Maret 1919. Ia merupakan anak sulung dari Sultan Buton La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis dan ibunya Wa Ode Azizah, Putri dari Lakina Wolio yang juga merupakan keturunan raja-raja di Buton.
Sejak kecil Beliau dididik oleh kedua orang tuanya untuk membuka pemikiranya dalam dunia pendidikan. Hal itulah yang membuat dirinya bisa menyelesaikan pendidikanya hingga jenjang tertinggi.
Sebagai anak Sultan, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Laiden, Belanda dan mempelajari Indologi. Lulus pada 1948 dengan menulis skripsi Boeton en Haar Standenstelsel. Manarfa pun menjadi sarjana pertama di kawasan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Di negeri belanda, Manarfa tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan dikenal sebagai sosok yang kritis dalam berbagai hal.
Dilansir dari Butonmagz.id, Lewat forum PPMI itulah Manarfa menumpahkan kekritisannya terhadap agresi militer belanda di Jogjakarta. sebagaimana dituliskan dalam buku Biografi Drs. La Ode Manarfa berjudul Tongkat Putra Sultan, Insprirasi dan Kisah Hidup La Ode Manarfa yang ditulis oleh Ramadan dan kawan-kawan.
Manarfa juga dianggap sebagai Sultan ke 39 oleh masyarakat Buton, namun kekuasaanya yang dimilikinya bukan kekuasaan politik. Kekuasaannya yang dimilikinya lebih lebih pada kekuasaan sosio-ekonomi-kultural yang dipergunakan untuk memajukan kawasan.
Manarfa memandang bahwa dalam memajukan daerahnya, hanya bisa ditempuh dengan memajukan kualitas pendidikan di daerahnya dengan baik.
Salah Satu Dosen dan Pencetus Lambang Universitas Hasanudin (Unhas)
Sepulangnya ke tanah Sulawesi, Berbekal ilmu pengetahuan yang didapatnya dari Belanda. Manarfa ikut bergabung menjadi dosen di Unhas yang sekarang menjadi salah satu perguruan tinggi rujukan di Indonesia.
Pada tahun 1956 Beliau juga terlibat dalam pembentukan lambang Ayam Jago untuk Universitas Hasanudin Sulawesi Selatan. Lambang tersebut untuk mengenang perjuangan Sultan Hasanudin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur.
Salah Satu Penggagas berdirinya Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Manarfa ingin agar masyarakat mendapat kemudahan dalam mengakses pendidikan. Karena itu pula ia mendirikan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dengan harapan generasi-generasi muda dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi. (sumber: Buton Magz.id)
Baca juga: Mengenal Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan
Pendiri Universitas Haluoleo (Unhalu/UHO)
Tahun 1960, Manarfa kembali merintis pendirian perguruan tinggi di Buton, bernama Universitas Sulawesi Tenggara. Dalam merintis Perguruan Tinggi tersebut, Manarfa mengeluarkan banyak uang pribadinya untuk pendirian universitas.
Namun saat Provinsi Sulawesi Tenggara terbentuk pada 1964, universitas ini berpindah lokasi dari pulau Buton ke ibu kota provinsi di Kendari.
Universitas Sulawesi Tenggara kemudian berganti nama menjadi Universitas Haluoleo dan menjadi universitas negeri pada 1981. (Sumber: Rilis.id)
Pendiri Universitas Dayanu Ikhsanudin (Unidayan)
Manarfa bukan sosok yang gampang putus asa. Setelah kampus Unhalu pindah ke Kota Kendari, Manarfa bersama sahabatnya La Ode Malim kembali mendirikan kampus di Buton pada tahun 1982. Tepatnya di Kota Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra). Kampus itu dinamai Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan).
Bangunan awal kampus tersebut menggunakan bangunan buatan tahun 1922, yang merupakan istana kesultanan. Istana tersebut tidak mau ditinggali para sultan karena bangunannya dibuat dengan bantuan Belanda. Sebelum dipergunakan sebagai kampus universitas, pada awal kemerdekaan, istana ini dipinjamkan untuk kegiatan pendidikan SMA.
Kampus itu dididirikan bertujuan untuk melahirkan sarjana muda yang berkualitas di Buton. Manarfa berperan sebagai rektor sekaligus dosen. Melatih setiap mahasiswa-mahasiswinya untuk menjadi pribadi yang tangguh. Ia menurunkan ilmu seni berpidato kepada anak didiknya, sama seperti dirinya dulu berbicara di hadapan banyak para pejabat dan petinggi negara.
Dikutip dari rilis.id, Manarfa yang menjadi rektor di universitas yang didirikannya, tidak pernah mau menerima gaji. Daftar penerimaan gaji memang dia teken, tetapi uang gajinya ia kembalikan ke kas universitas. Ia bertekad tidak akan menerima gaji sampai perguruan tinggi dan seluruh pegawainya sejahtera.
Tidak mengherankan, anak raja dan bangsawan Buton ini hidupnya sederhana. Ia bahkan tidak memiliki mobil. Mobil yang dia pergunakan adalah pinjaman dari putranya yang kasihan melihat sang ayah masih memiliki banyak kegiatan di usianya yang sudah sepuh.
Pada penghujung tahun 2002, Manarfa terserang stroke. Penerima dua penghargaan dari Universitas Haluoleo ini tergolek lemah.
Namun, semangat untuk mengabdi pada dunia pendidikan masih menyala pada dirinya.
“Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan,” katanya.
Cita-cita mulia Manarfa menuai hasil yang ia harapkan. Semenjak Unidayan berdiri, secara perlahan kampus itu berkembang dan telah dihuni dan menamatkan ribuan mahasiswa.
Semangat Manarfa dalam mencapai cita-citanya semoga menjadi contoh bagi kita semua di hari pendidikan 2 Mei 2020. Ia telah menitipkan masa depan pendidikan kepada setiap generasi.
Reporter : Ridwan Amsyah
Editor: Sumarli