Memetik Budaya Kemanusiaan di Rumah Sakit
Suryadi, telisik indonesia
Sabtu, 03 Juni 2023
0 dilihat
Suryadi, pemerhati budaya. Foto: Ist.
" Sudah kerap terdengar, jika bukan menggeneralisasi, pasien yang dibiayai atau disubsidi oleh pemerintah melalui JKN, adalah pasien “kelas dua” "
Oleh: Suryadi
Pemerhati Budaya
KERJA cerdas, kreatif, dan solutif.
Agaknya, ini yang dirasakan oleh tiga pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS dan keluarga, yang hari itu datang untuk “kontrol berobat” di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, Jakarta Timur (Jaktim).
Betapa tidak, di antara ancaman gagal berobat dan dampak ikutannya, upaya maksimal awak RS itu membuahkan hasil: tetap jadi berobat! “Alhamdulillah, anak saya yang epilepsi, hari ini jadi tetap bisa kontrol dan obat dari dokter tidak mutus,” kata seorang Ibu yang mengaku domisili di Cipayung, Jaktim.
Sudahkah hal serupa itu, merata di semua RS di tanah air? Bagaimanapun, patut ditiru. Tak berlebihan jika ini disimpulkan sebagai peduli kemanusiaan.
Sudah kerap terdengar, jika bukan menggeneralisasi, pasien yang dibiayai atau disubsidi oleh pemerintah melalui JKN, adalah pasien “kelas dua”. Baik yang sepenuhnya dibiayai Pemerintah maupun yang si (keluarga) pasien ikut “membiayai sendiri” lewat iuran bulanan sebagai peserta BPJS.
Akan tetapi, beda dengan RSUD Pasar Rebo. Setidaknya, buah kerja-kerja awak Humas RS yang disebutkan di awal tadi, dirasakan oleh tiga pasien dan keluarga ketika akan melakukan kontrol berobat, Rabu (17/5).
Ketiga pasien, yaitu Ny. R (stroke, untuk melakukan kontrol pertama setelah rawat inap), Nn. Sarinah (bukan nama sebenarnya, pasien epilepsi), dan Ny H (pasien stroke, kontrol).
Pasien BPJS
Ketiganya pasien JKN-BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan). Ketentuan operasionalnya, lebih dahulu mereka harus mendapat rujukan dari Fasilitas Kesehatan (Faskes) I atau Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) terkait, baru ke RS tingkat lanjut berikutnya.
Kecuali, untuk layanan darurat yang diawali dari Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kepesertaan JKN (yang sepenuhnya dibiayai Pemerintah) atau BPJS, para pasien darurat bisa langsung ke IGD. Kemudian, cukup sampai di IGD atau lanjut ke rawat inap.
Setelah mendapat lembar rujukan dari Fakes I, mereka masih harus mendaftar secara online untuk masuk ke pembagian jam layanan (A, B, C, D) rawat jalan. Pendaftaran online biasanya, paling cepat seminggu sebelum kontrol atau berobat.
Baca Juga: Polisi Melayani Sebuah "Legacy" bagi Polisi Pelanjut
Satu lagi, yang tak boleh dilupakan oleh pasien peserta BPJS. Jangan sampai terlambat membayar iuran BPJS untuk bulan berjalan, bila tak ingin ditolak atau dikenai denda “tidak sedikit” bila rawat inap.
Ketiga pasien tadi sudah memenuhi semua persyaratan tersebut. Tetapi, sampai di sini justru muncul persoalan yang bikin ketar-ketir. Ketika pendaftaran untuk ke dokter saraf yang sudah ditentukan, ternyata sistem --yang sebenarnya sudah computerize-, tak bekerja.
Akibatnya, Surat Elegebelitas Pasien (SEP) yang menunjukkan pelayanan ke dokter yang bersangkutan, tak bisa dicetak. Artinya, hari itu mereka tak bisa kontrol berobat.
Akibat lanjutnya, kehabisan obat yang harus dikonsumsi berdasarkan resep dokter. “Padahal, anak saya epilepsi. Kalau kehabisan obat bagaimana ya ini? Dia di rumah pernah terjatuh lho. Mau gimana ini ya?” kata Si Ibu.
Kekhawatiran perempuan usia 60-an itu mengundang ekspresi kekhawatiran pula pada suami-suami yang mendampingi Ny. R dan Ny. H.
Petugas di bagian cetak SEP manual, sudah terus-menerus berusaha, tapi tetap gagal masuk ke sistem. Sementara dokter syaraf yang semula tiga orang, konon hari itu, hanya satu yang bertugas (cuma mereka yang tahu alasannya kok sampai begitu).
Rasional saja, dengan satu dokter berarti jumlah pasien yang dapat dilayani, tentu jadi terbatas.
Seorang laki-laki --belakangan diketahui dari humas-- segera bertindak membantu rekan-rekannya di bagian pendaftaran. Ia mencoba sampai tiga kali melalui sistem komputer tersedia, tapi ternyata SEP tetap saja tak bisa dicetak.
Setelah berkali-kali pula ia menghubungi bagian terkait melalui telepon genggamnya, barulah sistemnya “terbuka”. Toh sistem bergeming, tetap saja SEP tak bisa dicetak.
Ketiga keluarga pasien kemudian dibawa ke ruang customer service (CS). Mereka diserahkan kepada seorang perempuan, petugas humas lainnya. Di sini mereka diminta menyampaikan hal-hal terkait kejadian tadi.
“Gunanya agar ke depan ada solusi bila menghadapi masalah serupa,” kata petugas tadi seraya ngeloyor pergi ke ruang tunggu untuk membantu rekannya di bagian pencetakan SEP.
Jalan tengah sementara di dapat. Kepada keluarga psien disarankan, kontrol ditunda hari Jumat (19/5/23). Tetapi, tetap saja bermasalah. Sebab, pasien tak boleh putus obat. Apalagi, pasien epilepsi.
Seorang lagi pasien stroke yang akan kontrol pertama setelah menjalani rawat inap awal Mei 2023. Nah, seorang lagi akan kontrol rutin, tetapi surat rujukannya akan berakhir 20 Mei. Padahal kerap terjadi, dua – tiga hari sebelum masa berlaku habis, rujukan sudah tak bisa lagi digunakan.
Masalah besar! Tetapi perempuan petugas itu, tak kehabisan akal. Ia minta agar keluarga pasien menunggu di ruang CS dan ia keluar. Sementara waktu terus berhulir. Jarum jam menunjukkan sudah mendekati tengah hari.
Sekitar setengah jam kemudian, petugas (perempuan) itu mucul sambil melempar senyum. Rupanya, dia telah berhasil memasukkan ketiga nama pasien ke sistem pendaftaran.
“Silakan Ibu dan Bapak-bapak…, sudah bisa ke bagian saraf ya,” katanya seraya menyerahkan berkas-berkas yang diterima oleh keluarga masing-masing pasien.
Wajah para keluarga pasien itu menampakkan kelegaan. Hari itu terhindar dari kemungkinan “bencana”. Mungkin, demikian pikir mereka!
Cekatan melayani pasien dan keluarganya, tak hanya kali itu dapat disaksikan di ruang tunggu dan lobi RSUD Pasar Rebo. Konon RS ini setiap hari melayani 300 sampai 500 pasien rawat jalan. Hampir setiap hari (kerja) layanan, tampak petugas informasi sibuk mengajari mereka yang masih kesulitan mengakses pelayanan pendaftaran online melalui telepon genggam.
Sistem online yang sudah computerize bukan sekali dua kali saja ngadat (tak bekerja semestinya). Sampai-sampai bila dikeluhkan via telepon genggam, tak jarang masuk balasan petugas via whatApp (wa): Mohon bersabar, sistem komputerisasi bukan segala-galanya…!”
Apa pun persepsi atas kerja-kerja petugas humas tadi, setidaknya mereka telah menunjukkan budaya kerja yang positif. Mereka cerdas, kreatif, dan solutif untuk peduli kemanusiaan.
Definsi Sembuh
Masalah lain di rumah sakit mana pun di tanah air, agaknya adalah tentang layanan pasien sakit berlanjut yang butuh perawatan berlanjut pula. Sekali lagi, ini juga tentang kemanusiaan.
Tak satu pun bagian yang tak berkaitan dengan bagian lain di suatu RS. Total rangkaian keterkaitan antara satu bagian dan bagian yang lain, ada dalam lingkup layanan kemanusiaan.
Sebab, yang dilayani adalah orang sakit yang tak jarang berlanjut ke rawat inap. Ini butuh kerja sama antara pelaku medis (pemberi layanan medis) dan pasien beserta keluarga.
Salah satu persoalan yang patut ditengahi oleh layanan JKN-BPJS adalah tentang definisi “sembuh” pasien rawat inap. Tak jarang terjadi silang pendapat antara petugas medis dan si keluarga pasien sakit berat berlanjut, terkait istilah “sembuh” ini.
Baca Juga: Bola, Politik, Ekonomi dan Kemanusiaan
Bahkan tentang “sembuh”, seorang anggota DPR RI melalui video youtube ketus mengatakan, “Tak boleh lagi terjadi tiga hari rawat inap, pasien dipulangkan. Harus sampai sembuh.”
Sembuh dalam versi pelaku medis, terkesan kerap tak melihat si pasien masih lemah fisik (tak tahu pula bagaimana secara psikologis). Padahal, tentu saja, yang demikian ini cuma pelaku medis yang tahu.
Belum lagi embel-embel penegasan si petugas medis: “menurut dokter pasien sudah boleh pulang” atau “masih banyak pasien baru yang antre mau masuk” atau berupa kalimat sindiran “apakah pasien nggak kangen rumah?
Ada pula yang terkesan menakut-takuti keluarga pasien. Si petugas medis akan berkata kepada keluarga pasien: rumah sakit tempat penyakit lho!
Pernyataan yang terakhir itu membuktikan, Jakarta sudah keliru mengganti sebutan Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat. Apalagi, kalau pem-bezoek yang sakit seperti pilek, batuk, dan flu, sampai lolos masuk mem-bezoek pasien rawat inap.
Bertahannya keluarga agar pasien tetap dirawat inap, tentu atas alasan sangat subjektif. Mereka hanya membaca dengan keawamannya, misalnya, terlihat si pasien masih sangat lemah.
Diperlukan jalan tengah atau kesepahaman tentang definisi “sembuh”, agar petugas medis tak kerap tampak harus bersitegang dengan keluarga pasien.
Terkait kasus lain, tampaknya patut didengar pendapat seorang satpam sebuah rumah sakit tentang membludaknya pasien rawat jalan: Rumah sakit perlu diperbesar, selain dokter dan petugas medis diperbanyak. Jumlah rumah sakit juga sudah harus diperbanyak.
Membludaknya pasien yang “melanggani” rumah sakit setiap hari, menyadarkan pentingnya kerja sama pemerintah-masyarakat, bahwa “pendidikan hidup sehat” itu tentang perilaku, lingkungan, dan konsumsi yang sehat.
Mulailah dari pola pikir (mindset), untuk hidup dengan budaya sehat! (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS