Penerapan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Menguat?

La Ode Muhlas, telisik indonesia
Selasa, 30 Mei 2023
0 dilihat
Penerapan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Menguat?
Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan gugatan sistem pemilu yang menjadi pokok gugatan uji materi UU Pemilu. Foto: Repro Kumparan.com

" Perbincangan menyangkut sistem pemilu legislatif terbuka dan tertutup kembali mengemuka setelah muncul pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana "

KENDARI, TELISIK.ID - Perbincangan menyangkut sistem pemilu legislatif terbuka dan tertutup kembali mengemuka setelah muncul pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana, yang menyebut MK akan mengabulkan gugatan pelaksanaan pemilu legislatif diselenggarakan secara tertutup.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) ini mengklaim mendapat bocoran informasi putusan MK dari seorang informan kredibel di luar hakim lembaga hukum tertinggi tersebut.

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda partai saja," pernyataan Denny Indrayana melalui akun Instagramnya, dikutip Senin (29/5/2023).

Menurut informasi dimilikinya, dari sembilan hakim MK, enam di antaranya setuju untuk mengembalikan sistem proporsional pemilu tertutup. Sedangkan tiga hakim lainnya menyatakan 'dissenting opinion' atau berbeda pendapat.

Denny pun menyampaikan khawatir pelaksanaan pemilu dengan menerapkan sistem proporsional tertutup, sebab dapat membuka ruang kembalinya bentuk pemerintahan masa orde baru yang otoriter dan koruptif.

Pembicaran sistem kepemiluan bermula mencuat seiring adanya gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam perkara bernomor registrasi 144/PUU-XX/2022, penggugat meminta MK meninjau ulang beberapa pasal UU Pemilu untuk beralih kembali menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup.

Dengan sistem pemilu tertutup, para pemilih hanya akan mencoblos logo partai politik pada kertas suara, bukan lagi nama calon anggota legislatif layaknya saat kontestasi politik lima tahun sebelumnya.

Alasan penggugat mengajukan permintaan ke MK agar mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, antara lain dilatari kecenderungan kader berkualitas mumpuni tetapi tidak populer akan tersisihkan dalam sistem proporsional terbuka. Sebab, mereka bisa kalah dari kader populer plus didukung dengan kekuatan finansial.

Baca Juga: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Caleg Bekerja Sendiri, Parpol Terima Hasil

Partai politik di parlemen pun terpecah dalam menyikapi polemik ini. Delapan partai meliputi Golkar, Gerindra, NasDem, Demokrat, PKB, PAN, PKS, dan PPP memilih untuk menolak. Sedangkan PDI Perjuangan berdiri sendiri pada posisi tegak mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.

Juru bicara Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PDI Perjuangan Sulawesi Tenggara, Agus Sanaa mengatakan, partainya berpihak pada sistem pemilu tertutup karena menilai langkah itu sudah sesuai ketentuan UU Pemilu. Dimana menyebutkan jika peserta pemilu adalah partai politik.

"Harusnya memilih partai karena pesertanya partai politik. Kalau yang mau dipilih orang itu kan calon DPD independen. Itu memilih gambar. Tapi kalau memilih legislatif sejatinya memilih partai," ujarnya melalui sambungan telepon, Senin (29/5/2023).

Dikatakan Agus, sistem pemilu terbuka yang berlaku sekarang justru menyulitkan partai politik mengutus sumber daya manusia terbaik untuk memasuki ruang parlemen maupun eksekutif. Hal ini didasari persaingan dalam kontestasi politik cenderung tidak diukur dari sisi kapabilitas para kandidat, melainkan lebih terhadap kemampuan materi.

"Profesor doktor dengan sistem terbuka diadu dengan paket C, karena paket C punya isi tas sehingga profesor doktor kalah dengan yang punya isi tas," jelasnya.

Alhasil kondisi itu menurut Agus, dapat berakibat memperburuk sistem tata kelola penyelenggaraan negara. Mereka tanpa bekal kecakapan mengelola pemerintahan tidak punya pengetahuan mengenai cara menyalurkan segala sumber kekayaan negara dalam memenuhi kebutuhan warganya.

Atas hal demikian, para kontestan politik mesti lebih dulu melewati proses penggodokan sebagai upaya partai menyeleksi kader yang mempunyai bobot kualitas.

Di samping itu, kata Agus, pelaksanaan pemilu menggunakan sistem tertutup, bisa mengurangi adanya praktik politik uang. Mengingat nantinya kampanye politik tidak lagi dilakoni setiap calon, melainkan seluruhnya berada di bawah peran partai.

Sekretaris DPW Partai NasDem Sulawesi Tenggara, Abdul Azis mengatakan, sistem pemilu tertutup mencederai nilai-nilai demokrasi yang mana memiliki prinsip dasar rakyat pemegang kuasa tertinggi dalam ketatanegaraan.

Menurut Azis, dengan sistem tertutup malah membatasi keleluasaan rakyat untuk menghendaki orang-orang yang dianggap mampu mewakili suara mereka di parlemen.

"Kalau (NasDem) lebih sistem pemilu terbuka, demokrasi kan artinya rakyat ingin memilih orang-orang yang mewakili di parlemen. Sehingga para pemilih itu memilih orang-orang yang dianggap mampu untuk mewakili menyampaikan aspirasinya," katanya dihubungi lewat sambungan telepon, Senin (29/5/2023).

Dikatakan Azis, melalui sistem terbuka akan memberi kesempatan bagi rakyat agar mengenal lebih jauh sosok yang diklaim mampu memenuhi tanggung jawab menjadi penyambung suara di panggung politik.

Namun begitu, Azis menyampaikan NasDem tetap menghormati apapun keputusan MK. Ia menegaskan, perubahan terhadap sistem pemilu ke depan tidak turut mempengaruhi dukungan publik ke partai NasDem. Pihaknya sudah punya kesiagaan menghadapi semua kemungkinan di luar perencanaan.

"Prinsipnya NasDem Sultra itu siap menghadapi semua sistem pemilu yang berlaku," tukasnya.

Pandangan pengamat politik Muhammad Najib Husain, penggunaan sistem pemilu tertutup memperlihatkan demokrasi sedang mengalami kemunduran. Dampak dari sistem ini antara lain akan mempersempit peluang terjadinya sirkulasi sosok yang ada di arena perpolitikan.

"Kalau proporsional terbuka akan banyak muncul politisi-politisi muda. Walaupun memang kelemahannya kadang mereka masuk dalam sebuah partai itu bukan karena sebuah kaderisasi partai yang berhasil. Tapi memang dia punya kekuatan sebagai figur yang kemudian bisa mendapat dukungan dari masyarakat," jelasnya.

Menurut Najib, penerapan sistem tertutup membesar kemungkinan munculnya jarak antara para figur dan konstituen. Pasalnya, meraih dukungan masyarakat berubah bukan menjadi pokok perebutan. Melainkan para figur bakal lebih berupaya membangun kedekatan dengan partai politik untuk mendapat nomor urut strategis.

Kepemilikan nomor urut sangat menentukan keterpilihan. Suara pemilih menjadi suara kolektif partai. Dalam sistem pemilu tertutup, partai politik merupakan pemilik otoritas penentu kader yang harus duduk di kursi parlemen. Ketentuan ini menurut Najib, malah menimbulkan masalah baru di tubuh partai politik.

"Akan ada potensi kecurangan kembali dalam partai. Bisa terjadi jual-beli nomor urut. Dan itu sudah pernah terjadi waktu kita menggunakan sistem proporsional tertutup. Bagaimana sebuah transaksi di partai untuk mendapatkan nomor urut terbaik," ujarnya.

"Dan kita hanya mendapatkan orang-orang yang memang didesain oleh partai untuk menjadi caleg, walaupun orang tersebut tidak mewakili dapilnya lagi," imbuhnya.

Najib menerangkan, semestinya langkah yang dilakukan bukan mengganti sistem pemilu, namun partai politik perlu berinovasi dengan membenahi tata kelola internalnya mulai dari sistem pengkaderan hingga melahirkan kader-kader bermutu.

Keberadaan kader yang teruji kualitasnya jelas mempengaruhi daya tarik masyarakat untuk memberi dukungan kepada partai politik.

Baca Juga: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka atau Tertutup, Golkar Jawa Timur Target 17 Kursi

"Karena dengan jalan itulah kemudian kita tidak perlu lagi mempersoalkan apakah dia proporsional terbuka atau tertutup. kalau kemudian pengelolaan partai sudah berjalan dengan baik, maka dengan sendirinya seorang calon dia akan tetap selalu terikat dengan partai politik," terangnya.

Menilik hasil survei lembaga survei nasional Indikator Politik Indonesia (IPI) per Februari dan Maret 2023, menemukan mayoritas masyarakat lebih memilih turut serta dalam sistem pemilu terbuka. Sebagian mayoritas masyarakat itu termasuk pendukung PDI Perjuangan.

Sampel responden survei Februari berjumlah 1.220 orang dengan batas kesalahan kurang lebih sekitar 2,9 persen. Sementara sampel survei dilakukan Maret sebanyak 800 orang dan batas kesalahan sekitar 3,5 persen.    

Dari persentase angka survei menunjukan sebanyak 80,6 persen responden menjawab setuju penyelenggaraan sistem pemilu terbuka. Sedangkan 11,9 persen sepakat tertutup. (A)

Penulis: La Ode Muhlas

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga