Potret Kekerasan Seksual Terhadap Pekerja Perempuan di Indonesia
Ibnu Sina Ali Hakim, telisik indonesia
Jumat, 29 November 2019
0 dilihat
Potret Kekerasan Seksual Terhadap Pekerja Perempuan di Indonesia . Foto : Ilustrasi
" 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. "
Oleh: Arif Rahman, S.Tr.Stat.
Setiap tanggal 25 November, seluruh negara memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) tak terkecuali Indonesia. Dalam peringatan tersebut, rutin dilaksanakan kampanye global yaitu“16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” yang dimulai dari 25 November (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) sampai dengan 10 Desember (Hari Hak Asasi Manusia). Dipilihnya rentang waktu tersebut merupakan bentuk simbolik untuk menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM.
Sejarah kampanye global “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” pada awalnya digagas oleh Women’s Global Leadership Institutetahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership(CWGL). Di Indonesia, kampanye tersebut pertama kali dilakukan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2003. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Sebagaimana rekomendasi dari CWGL, tema kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2019 adalah “Ending Gender-based Violence in the World of Work / Mengakhiri Kekerasan berbasis Gender di Dunia Kerja”. Dipilihnya tema tersebut merupakan bentuk aksi untuk mendukung ratifikasi Konvensi dan Rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) dalam Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) sesi ke-108 di Jenewa, Swiss pada Juni 2019. Tujuannya adalah untuk membantu menjebatani hak-hak pekerja khususnya perempuan dan untuk menghasilkan kampanye terpadu dalam meratifikasi dan implementasi standar-standar baru yang dianjurkan ILO.
Cakupan kekerasan terhadap perempuan
Pada dasarnya, tidak ada definisi kekerasan terhadap perempuan yang dapat diterima secara universal. Definisi kekerasan yang lebih luas dan sering menjadi rujukan adalah Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan tahun 2003. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang berakibat atau kemungkinan berakibat pada penderitaan fisik, seksual atau psikologis perempuan, termasuk ancaman tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kebebasan, sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Secara umum, definisi kekerasan yang dirumuskan dalam deklarasi PBB tahun 2003 mencakup antara lain kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan yang terjadi di ranah komunitas/masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dan anggota keluarga lainnya, dan diwujudkan melalui kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan yang terjadi di masyarakat umum mencakup pemerkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi di tempat kerja, institusi pendidikan dan tempat lain; perdagangan wanita; dan pelacuran paksa. Sementara itu, kekerasan yang dilakukan oleh negara dapat berupa kekerasan fisik, seksual dan psikologis secara institusi/kelembagaan, dimanapun itu terjadi.
Masalah Ketersediaan Data Kekerasan Terhadap Perempuan
Tantangan utama dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia adalah mengenai ketersediaan data dan informasi yang komprehensif tentang kekerasan terhadap perempuan. Sejauh ini, belum ada sistem informasi tentang kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi. Informasi tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih berupa hasil pencatatan atau pelaporan kejadian tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga yang rutin mengeluarkan catatan tahunan (CATAHU) tentang kekerasan terhadap perempuan adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Dalam menyusun CATAHU 2019, Komnas Perempuan bermitra dengan beberapa lembaga diantarnya Pengadilan Agama, Kepolisian, Rumah Perlindungan, Rumah Sakit, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Pengadilan Negeri, dan sebagainya. Pada tahun 2018, Komnas Perempuan mendistribusikan kuesioner kepada 167 mitra lembaga di seluruh Indonesia. Namun, tingkat respon pengembalian kuesioner dari mitra lembaga pada tahun 2019 hanya sekitar 23 persen. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan besar masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yangtidak terlaporkan sehingga belum tercatat dalam CATAHU 2019.
Meskipun jumlah kuesioner yang dikembalikan hanya sekitar 23 persen pada tahun 2019, namun jumlah kekerasan yang berhasil didokumentasikan dalam CATAHU 2019 mencapai 406.178 kasus. Jumlah kasus ini mengalami peningkatan sebesar 14 persen dibanding tahun sebelumnya yang sekitar 348.446 kasus (CATAHU 2018). Menurut Komnas Perempuan, kenaikan jumlah tersebut bukan berarti bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan, akan tetapi peningkatan tersebut justru menunjukkan semakin banyaknya korban yang berani melapor. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban pada lembaga-lembaga pengada layanan.
Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja
Menurut CATAHU 2019, dari seluruh kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, sekitar 28 persen terjadi di ranah komunitas. Ranah komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja bermasyarakat, bertetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah. Selanjutnya, sekitar 64 persen jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas merupakan kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah jenis kekerasan yang paling sering terjadi terhadap perempuan, baik di lingkungan kerja bermasyarakat, bertetangga, maupun lembaga pendidikan atau sekolah.
Di Indonesia, sebagian besar kekerasan seksual di tempat kerja tidak dilaporkan. Komnas Perempuan menemukan bahwa hanya sekitar 3 persen perempuan yang berani membuat pengaduan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi dan mungkin saja karena takut akan kehilangan pekerjaan mereka sehingga membuatnya enggan untuk melapor.
Salah satu kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang sempat ramai diberitakan yaitu kasus Baiq Nuril, mantan guru honorer di salah satu SMA di Kota Mataram. Pelaku dari pelecehan tersebut adalah atasannya sendiri yaitu kepala sekolah. Meskipun pelecehan tersebut telah terjadi tahun 2012, namun baru mencuat beberapa tahun setelahnya. Menurut informasi yang beredar, yang membuat laporan bukanlah korban sendiri melainkan kerabatnya melalui rekaman yang berisi percakapan korban dengan pelaku. Hal tersebut menunjukkan bahwa korban tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kejadian tersebut dan hanya berani menceritakan ke orang terdekatnya. Itu hanyalah contoh kecil dari sekian kasus yang bisa terungkap, di luar sana mungkin masih banyak kasus-kasus serupa yang belum berani dilaporkan oleh para korban.
Alasan Perempuan Enggan Melapor
Di Indonesia, data resmi yang secara khusus menjelaskan alasan perempuan tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya di tempat kerja masih belum tersedia. CATAHU yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan, masih berupa catatan kekerasan secara umum dan belum ada analisis secara mendalam. Hal tersebut karena CATAHU yang selama ini disusun hanya mencatat korban yang melapor sehingga para korban yang tidak melapor tidak bisa terdokumentasikan.
Ada beberapa alasan mengapa perempuan yang mengalami pelecahan seksualterutama di tempat kerja enggan untuk melaporkan pelecehan yang dialaminya saat itu juga. Mereka menganggap dengan melaporkan pelecehan tersebut,justru mengakibatkan korban mengalami pengucilan, mematikan kariernya, atau bahkan mengancam keberlangsungan pekerjaannya.
Menuruthasil survei yang dilakukan olehKomnas HAM Australia(Australian Human Rights Commission)tentang kekerasan berbasis gender di tempat kerja pada tahun 2018, ada sekitar 1 dari 2 orang perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja memilih untuk diam karena merasa itu lebih baik daripada menceritakannya ke orang lain. Kemudian, 1 dari 3orang perempuan yang pernah mengalami pelecehan di tempat kerja merasa malu jika ada orang lain yang mengetahui bahwa dia telah mengalami pelecehan seksual. Selanjutnya, 1 dari 6 orang perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja mengkhawatirkan karirnya akan terancam jika dia melaporkan pelecehan yang dialaminya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, ternyata masih banyak perempuan yang berpikir lebih baik diam daripada melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Alasan tersebut sangatlah logis, mengingat sebagian besar orang masih beranggapan bahwa pelecehan seksual merupakan suatu aib dan sangat memalukan jika ada orang lain yang mengetahui. Terlebih lagi,sering kali korban pelecehan seksual terutama perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan karena dianggap berpakaian terlalu ketat, terlalu seksi, dan sebagainya.
Selain itu, peran aktif lembaga pengaduan khususnya yang menangani korban pelecehan seksual juga merupakan bagian yang sangat penting. Lembaga pengaduan harus mampu meyakinkan kepada korban bahwa laporannya akan ditindak lanjuti serta ada jaminan atas keselamatan pelapor. Meningkatnya keberanian korban untuk melapor tidak mungkin tanpa adanya lembaga pengadalayanan, dan tanpa adanya kepercayaan masyarakat terutama korban. Oleh karena itu, sistem danlembaga-lembaga yang menerima layanan pengaduan atau pelaporan korban perlu ditingkatkan dan didukung keberlangsungannya baik oleh masyarakat maupun negara.
Penulis: Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di Badan Pusat Statistik Kabupaten Sekadau