Anomali Partai Politik, Representasi Politik, dan Kursi Menteri
Kolumnis
Minggu, 27 Oktober 2024 / 5:27 pm
Oleh: Efriza
Dosen Ilmu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan
SISTEM multi partai diterapkan di Indonesia sejak awal Indonesia berdiri. Jumlah partai politik yang banyak dan tak adanya partai politik yang memperoleh perolehan suara dan kursi mayoritas menyebabkan sistem presidensiil menghadirkan semangat membentuk kabinet layaknya sistem parlementer.
Presiden terpilih merasa pemerintahan membutuhkan sokongan mayoritas dari partai-partai politik, bahkan jika perlu dirangkul sebanyak-banyaknya partai politik sehingga tidak hadirnya oposisi.
Kondisi ironi ini ditambah dengan realitas pada periode 2019-2024 lalu, pasangan calon dan partai politik dari rival yang dikalahkan diajak bergabung dalam pemerintahan bahkan menjadi kekuatan pendukung utama bagi pemerintahan tersebut.
Kondisi pasca pemilihan umum (pemilu) 2019 lalu, seakan menjadi konvensi ketatanegaraan, hal ini juga dilakukan oleh Prabowo Subianto pasca terpilih di Pemilu 2024 kemarin.
Prabowo berusaha mengajak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk bergabung dalam pemerintahan. Meskipun faktanya pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto belum terlaksana.
Tetapi setidaknya ada dua nama tokoh yang memang sangat dekat dengan PDIP meski bukan kader PDIP, mereka diangkat untuk mengisi pos kementerian dan lembaga negara. Tulisan ini ingin membahas hubungan dari representasi politik dengan kiprah partai politik dan hak prerogatif Presiden dalam membangun postur pemerintahannya.
Memborong Partai Politik
Presiden terpilih Prabowo memang mengutarakan bahwa dirinya ingin bekerjasama dengan mengajak semua pihak utamanya juga partai-partai politik untuk bergabung dalam kabinetnya. Prabowo menganggap apa yang dilakukan oleh PDIP dan Jokowi pada periode 2019 lalu, adalah hal yang baik, perilaku ini dijadikan Prabowo layaknya konvensi ketatanegaraan.
Sehingga dalam mengangkat Menteri, Wakil Menteri, Staf Khusus Presiden, dan beberapa pejabat dari lembaga-lembaga terkait, menunjukkan representasi partai politik diborong secara mayoritas.
Setidaknya ada 11 partai politik yang mendukung pemerintahan dengan memperoleh jabatan-jabatan strategis, sedangkan dua partai politik lainnya yakni Partai Nasdem dan PDIP menyatakan mendukung pemerintahan, tetapi Nasdem saja yang tidak punya perwakilan tokoh yang memiliki irisan dengan partai ini, berbeda dengan PDIP yang telah hadir dua orang tokoh di pemerintahan meski bukan kader PDIP tetapi beririsan dengan PDIP.
Baca Juga: Beberapa Drama Pendaftaran Pasangan Calon di Pilkada
Ini menunjukkan dari 18 partai politik yang ikut serta di Pemilu, hanya 5 partai politik yang tidak mendukung pemerintahan. Kelima partai politik itu sejatinya tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Namun menjadi anomali, ketika 5 partai politik lainnya yang tidak lolos di Parlemen Senayan, tetapi juga tetap memperoleh jabatan strategis di pemerintahan. Semakin janggal dan anomali ketika Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tidak lolos sebagai partai politik peserta pemilu malah memperoleh jabatan 1 kursi wakil menteri.
Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai politik yang tidak lolos parlemen, tetapi jumlah kursi menteri dan wakil menterinya sama dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan partai politik lolos di parlemen dan menduduki peringkat keempat.
Dasar analisis samanya komposisi jumlah jabatan strategis itu, mudah dicari pembenarannya, sebab PSI adalah pendukung pasangan calon Prabowo-Gibran sejak awal, dan PSI hal mana Ketua Umumnya adalah Kaesang Pangarep yang merupakan anak bungsu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu berkat “cawe-cawenya” maka Prabowo bisa terpilih sebagai Presiden dengan berpasangan bersama anak sulungnya Gibran.
Singkatnya, ada pamrih, maupun politik balas budi, atau bahasa Sarkasnya “tidak ada makan siang gratis.” Berbeda dengan PKB yang merupakan rivalnya di Pilpres, karena Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar adalah rivalnya di Pilpres 2024 lalu, hal mana Muhaimin Iskandar adalah calon wakil presiden (cawapres) dari calon presiden (capres) Anies Baswedan dengan nomor urut 1.
Hak Prerogatif Presiden dan Semangat Demokrasi
Bicara pengisian jabatan strategis dari beberapa lembaga negara dan pembantu presiden memang bagian dari hak prerogatif presiden. Presiden berhak menentukan siapa saja seseorang yang dirasakannya pantas menduduki jabatan dari menteri, wakil menteri, dan staf khusus presiden, juga terkait dengan penunjukkan jaksa agung, bahkan sampai utak-utik nomenklatur kementerian meski soal nomenklatur ini juga diketahui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hanya saja hak prerogatif presiden ini rasanya tidak dilakukan dengan keberanian yang mutlak. Sebab, Prabowo sebagai presiden terpilih tampak sekali mencoba melakukan politik akomodatif. Hal ini dilakukan dengan dasar mengamankan pemerintahannya di Parlemen Senayan.
Hanya saja menjadi anomali, ketika partai-partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen di Senayan malah memperoleh kursi menteri, sebut saja PSI yang malah memperoleh 1 kursi menteri dan 2 kursi wakil menteri, sedangkan partai politik ini jelas-jelas tidak akan dapat mengamankan kebijakan Presiden Prabowo di parlemen Senayan.
Begitu juga dengan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) memperoleh 2 kursi wakil menteri; sedangkan Partai Prima yang tidak lolos sebagai peserta pemilu memperoleh 1 kursi wakil menteri mengalahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Perubahan Indonesia (Garuda) yang tidak lolos parlemen hanya memperoleh jabatan sebagai staf khusus dari Presiden Prabowo yang masing-masing memperoleh jatah 1 kursi.
Jika ditinjau lebih lanjut, bahkan pernyataan Bahlil yang masih belum diketahui kebenarannya, menunjukkan Presiden Prabowo khawatir atas posisi sebagai presiden terpilih akan mendapatkan gangguan di Parlemen Senayan utamanya sampai menjurus proses impeachment di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), akhirnya Prabowo membagi jatah kursi untuk Partai Golkar dengan amat besar untuk jabatan kursi Menteri ketimbang Gerindra hal mana Golkar memperoleh 8 kursi menteri sedangkan Gerindra memperoleh 5 kursi menteri.
Baca Juga: Strategi Politik Penguasa Berantakan
Jelas sikap dan perilaku Presiden Prabowo menunjukkan di Indonesia, dengan sistem multi partai menyebabkan Presiden tidak bisa hanya mengandalkan electoral support yang memang besar diraih oleh Prabowo-Gibran sebesar 58,59 persen, sehingga membutuhkan political support berupa dukungan dari partai-partai politik.
Wajar akhirnya di kepala Presiden kita selama ini seakan telah adanya dikotomi antara negara Indonesia dengan negara-negara Barat dalam pemahaman demokrasinya. Jika di negara-negara Barat dianggap mengagungkan individualisme dan liberalisme, maka sistem politik yang cocok bagi Indonesia adalah yang sesuai dan tidak bertentangan dengan kultur bangsa Indonesia, yakni kekeluargaan (atau disebut demokrasi ala Indonesia).
Inilah yang membuat pembicaraan oposisi tidak dikenal di negeri ini, bahkan yang ada adalah semua partai-partai politik bekerjasama untuk membangun negeri ini. Kecuali partai politik itu yang menyatakan dirinya tidak mau mendukung pemerintahan.
Hal ini berlaku bagi partai-partai politik yang memperoleh kursi di Parlemen Senayan, maupun yang tidak mendapatkan kursi di parlemen, bahkan hingga yang tidak lolos sebagai peserta pemilu di Indonesia.
Akhirnya, dengan bahasa sederhana, selama menyatakan mendukung Presiden terpilih, maka jabatan-jabatan strategis dapat dibagi-dibagi, jika kurang bisa dihadirkan hal baru untuk mengakomodir orang-orang maupun partai politik pendukung pemerintah.
Inilah dilema seorang Presiden dengan sistem multipartai, meski kita sistem presidensial tetapi bandul pemerintahan tak berbeda jauh dengan sistem parlementer. (*)
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS