Beberapa Drama Pendaftaran Pasangan Calon di Pilkada

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 01 September 2024
0 dilihat
Beberapa Drama Pendaftaran Pasangan Calon di Pilkada
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Di tengah situasi politik Pilkada menjelang pengajuan pasangan calon, terjadi pula upaya penguasa politik mengganggu proses penentuan pasangan calon dan rancang bangun koalisi politik, utamanya terhadap daerah pemilihan 5 Jawa plus 1 Sumatra Utara "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 ini banyak terjadi drama di berbagai daerah. Drama Pilkada ini terjadi karena berhubungan dengan kepentingan penguasa politik. Penguasa politik ini saling berhubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang punya kepentingan dan calon presiden (capres) terpilih Prabowo Subianto.

Di tengah situasi politik Pilkada menjelang pengajuan pasangan calon, terjadi pula upaya penguasa politik mengganggu proses penentuan pasangan calon dan rancang bangun koalisi politik, utamanya terhadap daerah pemilihan 5 Jawa plus 1 Sumatra Utara.

Ketegangan politik ini akhirnya sedikit memanas karena hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 namun atas desakan demonstrasi publik membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkenaan mengikuti keputusan MK.

Dengan diakomodirnya Putusan MK (Nomor 70) menyebabkan Kaesang Pangarep tidak dapat mengikuti proses Pilkada karena umurnya tidak mencukupi, padahal Kaesang diwacanakan akan berpasangan dengan Ahmad Luthfi.

Sedangkan atas Putusan MK (Nomor 60) menyebabkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa mengajukan pasangan calon sendiri. Tulisan ini ingin menguraikan drama-drama yang terjadi utamanya di 5 daerah Jawa.

Drama di Banten

Menjelang pengajuan pasangan calon, Partai Golkar secara mengejutkan merencanakan membatalkan mengusung Airin Rachmi Diany sebagai calon gubernur (cagub) dengan Ade Sumardi sebagai calon wakil gubernur (cawagub) dari PDIP. Pilkada Banten diwarnai drama Airin-Ade dibatalkan diusung oleh Golkar bersama PDIP.

Berkah putusan MK, Airin tetap maju bersama PDIP karena memenuhi persyaratan 7,5 berdasarkan jumlah Daftar Pemilihan Tetap (DPT). Sedangkan Golkar memilih mengusung Andra Soni-Dimyati Natakusumah. Di tengah situasi tersebut, Golkar menyadari penguasa daerah pemilihan (Dapil) Banten akan dapat beralih jika Airin sebagai representasi dinasti politik Banten menyebabkan kekuatan suara PDIP menguat di kemudian hari.  

Akhirnya, Golkar memilih mendukung kadernya Airin dan terjadilah fakta baru Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menjadi KIM Minus. Dengan tidak dapat dibatalkannya pencalonan Airin sebagai cagub akibat berkah putusan MK, maka upaya memenangkan Andra-Dimyati dari KIM Plus dengan desain calon tunggal pun gagal.

Malah yang kemungkinannya terjadi di Pilkada Banten bahwa PDIP senang karena PDIP masih punya kans besar untuk menang di satu wilayah Jawa yakni Banten, sebab elektabilitas Airin sangat tinggi meninggalkan Andra-Dimyati yang tidak berdaya. Meski Banten dikuasai dinasti politik tetapi sangat sulit mengabaikan fakta bahwa keluarga besar Ratu Atut masih diterima oleh masyarakat Banten.

Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra Utara Tak Ada Kejutan

Jawa Tengah sudah dapat diterka KIM menyiapkan opsi lainnya ketika Kaesang tidak dapat dimajukan sebagai cawagub. Maka yang akan diajukan adalah Taj Yasin berpasangan dengan Ahmad Luthfi. Sedangkan yang akan diajukan oleh PDIP adalah Andika Perkasa dengan Hendrar Prihadi.

Baca Juga: Strategi Politik Penguasa Berantakan

Mengajukan Andika Perkasa dari kalangan mantan militer pada dasarnya adalah hal umum di Jawa Tengah karena sudah pernah diisi oleh kalangan dari militer sebanyak 7 orang. Hanya saja yang sekarang ini agak berbeda karena mantan Panglima TNI.

Setelah Reformasi seorang Purnawiran TNI artinya kembali menjadi sipil. Hanya saja dalam pertarungan di Pilkada secara gengsi Andika Perkasa sebagai mantan Panglima TNI dapat dikatakan “menurunkan kualitas dirinya.”

Sedangkan di Jawa Timur yang sedikit diluar dugaan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDIP ternyata tidak berkoalisi. Kedua partai itu mengajukan pasangannya masing-masing untuk melawan Khofifah-Emil yang diusung oleh KIM Plus. PDIP tidak mengejutkan karena yang diusung adalah Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta menjadi cagub dan cawagub Pilkada Jawa Timur 2024 yang diusung tiga partai yakni PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Ummat.

Sedangkan pasangan terakhir adalah, Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim menjadi bakal cagub-cawagub Pilkada Jawa Timur 2024 yang hanya diusung PKB.

Sementara itu, untuk daerah Sumatra Utara pertarungannya sudah diprediksi antara Bobby Nasution dan Edy Rahmadi.

Bagi PDIP tanpa putusan MK memang partai politik ini bisa usung pasang calon gubernur dan wakil gubernur sendiri tanpa berkoalisi. Hanya saja memang akhirnya PDIP memilih mengusung Edy Rahmadi bersama dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Daerah Sumatra Utara akhirnya menghadirkan dua pasangan calon Bobby Nasution-Asahan Surya dari KIM Plus berhadapan dengan Edy Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala.

Drama Jakarta dan Jawa Barat

Hadirnya kekuatan KIM Plus pada dasarnya membuat PDIP mengalami situasi yang dilematis.

Sebab, seperti disampaikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa ada upaya dari penguasa politik untuk merangkul seluruh partai politik dalam KIM, hanya saja karena perselisihan PDIP dengan Presiden Jokowi menyebabkan PDIP ditinggalkan sendirian tanpa diajak berkoalisi.

Banten dan Jakarta agak merepotkan PDIP, untung saja ada berkah Putusan MK Nomor 60. Sehingga PDIP bisa mengajukan pasangan sendiri. Sayangnya, animo masyarakat begitu tinggi berharap PDIP akan mengajukan pasangan calon di Pilkada Jakarta adalah Anies Baswedan-Rano Karno.

Tetapi nyatanya, PDIP yang enggan memilih Anies, disebabkan Anies yang tidak ingin menjadi kader PDIP. Di sisi lain, komunikasi politik secara dini yang coba dibangun oleh PDIP untuk mengusung Anies, malah direspons oleh Anies dengan pasif. Sehingga wajar, jika akhirnya PDIP memilih pasangan calon dari kadernya sendiri.

PDIP memang di Jakarta akan terus mengajukan kadernya sendiri seperti preseden Ahok yang berencana maju dari jalur perseorangan di Pilkada Jakarta 2017, tetapi akhirnya Ahok memilih menjadi kader PDIP untuk diajukan sebagai cagub dari PDIP. Maka, Anies yang non-partai, tak akan bisa diusung oleh PDIP jika tidak memilih menjadi kader PDIP.

Ketika Anies gagal di Jakarta. PDIP menunjukkan tidak siap di wilayah Jawa Barat. Tiga daerah PDIP yang tidak diumumkan ke Publik oleh Megawati selaku Ketua Umum, yakni Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Hanya saja Jawa Timur sudah dapat diprediksi calon kuatnya adalah Risma.

Baca Juga: Mempertahankan Wantimpres atau Memilih Kembali DPA

Jawa Barat, PDIP bukan hanya tidak siap, dalam bahasa sarkistis, PDIP hanya ingin meramaikan bursa calon saja. Ketidaksiapan ini terlihat dari absennya kandidat yang diusung PDIP saat proses pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat. Drama banyak terjadi, sehingga jelas ketidaksiapan PDIP kentara sejak awal dengan munculnya nama-nama kandidat potensial yang akan diusung di Pilkada Jabar.

Nama-nama seperti Sandiaga Uno, yang malah menolak sebagai cagub Jawa Barat dari PDIP, lalu Anies Baswedan yang juga menolak karena para pendukungnya menginginkan Anies di Jakarta, dan Ono Surono kader PDIP yang selalu mencuat namanya sebagai cawagub, namun ternyata tidak ada satu pun yang akhirnya difinalkan sebagai kandidat.

Ketidaksiapan PDIP semakin terlihat ketika pasangan yang diusung, Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja, tidak hadir secara fisik saat pendaftaran di Kantor Pemilihan Umum Daerah (KPUD) pada Kamis malam lalu. Jika dicermati jelas bahwa desain 5 Jawa plus 1 Sumatra Utara masih terjadi. Hanya saja wilayah Banten benar-benar dilematis KIM Plus sehingga menjadi KIM Minus.

Sedangkan di Jawa Timur dan Jakarta masih menunjukkan Presiden Jokowi dapat tersenyum puas, karena dua menteri di kabinet menjadi calon gubernurnya. Sedangkan sisi lain, Pemerintahan Jokowi dan partai-partai politik dari KIM Plus tersenyum puas karena Anies Baswedan hanya menjadi penonton di Pilkada Serentak 2024.

Anies Baswedan hanya sekadar bagian dari drama di Jakarta dan Jawa Barat dengan ending yang kurang seru. Fakta inilah yang dapat dipelajari dari situasi pencalonan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di daerah 5 Jawa dan 1 Sumatra Utara. (*)

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Artikel Terkait
Baca Juga