Belajar untuk Sekolah tetapi Tidak untuk Hidup

Neldi Darmian L

Penulis

Senin, 09 Agustus 2021  /  8:24 am

Neldi Darmian L, Mahasiswa Akuntansi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Foto: Ist.

Oleh: Neldi Darmian L

Mahasiswa Akuntansi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

PADA masa pandemi kita begitu dibuat kaget dengan perubahan-perubahan kerja pada beberapa bidang bahkan massif menyeluruh dampaknya, tidak terkecuali pada bidang pendidikan.

Sebelumnya pelaksanaan belajar mengajar dilaksanakan secara langsung, bertatap muka antara pendidik dan peserta didik namun saat ini harus dilaksanakan menggunakan media online/ruang virtual.

Hal ini pun yang tak bisa kita bendung, perubahan-kemajuan zaman bukan saja mempercepat transformasi peradaban namun seperti memaksa kita semua untuk mampu satu langkah lebih maju kedepan dan menanggalkan cara-cara lama dan berpindah ke cara-cara baru.

Dengan beragam platform yang bisa kita manfaatkan dan bahkan secara menyeluruh membantu kita dalam mengakses bahan belajar dan juga sebagai medium penggati ruang kelas yang dilaksanakan secara langsung, menjadi ruang kelas virtual.  

Perubahan-perubahan ini pun masih dalam tahap penyesuaian, re evaluasi dalam banyak sisi memang masih perlu untuk dioptimalkan kembali.

Melihat Pendidikan Secara Holistic  

Pandemi memang rasanya telah mampu memaksa kita untuk terjun bebas masuk kemasa yang sebelumnya belum secara menyeluruh kita jamah, masih satu atau sebagian saja yang mengakses pembelajaran secara online. Namun berbeda dengan hari ini, semua dituntut dan dipaksa untuk harus menyelam bersama dalam perubahan.

Pembahasan tentang menyambut, menyongsong, mempersiapkan era industry 4.0 yang biasa kita dengarkan dan sering ditema kan sebagai bahan diskusi baik oleh lingkungan lembaga kemahasiswaan, LSM, bahkan pemerintah, hari ini telah gelagapan, disebabkan oleh bakteri jahat (pandemi COVID-19).  

Asumsinya pandemi telah mampu mematahkan mitos dan konsep-konsep rancangan manusia dengan mudah, kecepatan kemajuan zaman tidak disebabkan oleh konsep manusia namun oleh pandemi COVID-19, kita lebih cepat berubah dalam keterhimpitan tekanan.  

Kemudian pada sisi lainnya, yang coba dipertimbangkan pada perubahan ini adalah faktor perkembangan karakter peserta didik. Bagian ini menjadi pertimbangan mendasar, apakah dengan menggunakan media baru ini, dapat secara baik menuntun pengembangan karakter anak.  

Kita coba untuk melihat pendidikan hari ini secara holistic. Bila kita berbicara tentang pendidikan holistik berarti kita mencoba melihat pendidikan secara utuh dan menyeluruh.

Dalam pandangan UNESCO, sudah saatnya pendidikan yang bukan hanya mengembangkan pengetahuan intelektual tetapi juga harus memahami peserta didik untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia. Bagian ini disebut akademisi dalam dimensi individu-sosial dan hati Nurani.

Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dituliskan dalam Panca Darma Tamansiswa, ini termaksud dengan kodrat alam.  

Pendidikan dalam sistemnya memanglah sarat dengan bagaimana proses pengembangan karakter anak didik, yang dikemas dengan beberapa model, model yang dimaksudkan adalah setiap sekolah memiliki pendekatan yang berbeda-beda namun tetap dengan tujuan yang sama.

Benar bahwa kita telah mampu mencapai tahapan intelektual yang baik, bila kita melihat keluaran-keluaran dari sistem pendidikan hari ini. Namun dalam pandangan pendidikan holistik kita telah melupakan aspek pengembangan karakter pribadi, pendidikan nilai, kepekaan serta tanggungjawab sosial.

Hal demikian salah satunya saya lihat dalam pelaksanaan KKN, pada beberapa pekan sebelumnya (29/7/2021), saya dan beberapa teman yang digabungkan dalam satu kelompok kuliah kerja nyata (KKN) melakukan diskusi membahas tentang pemetaan dan perancangan program kerja.

Dalam bahasannya saya melihat pemusatan perhatian dan bahkan menjadi prioritas ada pada pemenuhan syarat administratif.

Maksud saya, batasan penyelesaian kerja yang dinilai baik disini adalah tentang pemenuhan syarat administrasi, seperti dokumentasi dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat harusnya kebermanfaatan lah yang menjadi pertimbangan utama.

Artinya bahwa, perancangan, pemetaan kegiatan kemasyarakatan harus dilihat secara mendasar dengan pertimbangan manfaat yang akan dirasakan dari tujuan pelaksanaannya. Yaitu kebermanfaatan kepada masyarakat.  

Pertanyaannya, bagaimana dengan kepekaan terhadap lingkungan sosial, ini juga menjadi kepulan asap permasalahan yang perlu dipadamkan.

Pengabdian kepada masyarakat adalah kerja tangggung jawab, bila pertimbanganya hanya pada bagian kecil saja dan mengesampingkan atau mungkin lebih tepatnya melupakan tujuan utamanya. Bukankah itu sebuah dosa besar yang dengan sadar kita lakukan.

Saya sendiri rasanya tertampar dengan diktum: “kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup.” Apabila pendidikan dipentingkan sebatas penyelesian administratif, berarti kita belajar hanya untuk sekolah tetapi bukan untuk hidup.

Baca Juga: Persatuan dan Stigma Negatif Pasien COVID-19

Baca Juga: Nakes Ambyar, Kesehatan Buyar?

Pandangan ini rasanya telah mandarah-daging menjamah tanpa henti, meski pada tingkatan tertinggi, yang selalu menyampaikan penerapan yang baik namun pada dasar-penerapannya masih saja menggunakan unsur-unsur prioritas yaitu penyelesaian syarat administratif.

Barangkali, memang ada yang ingin mengakses pendidikan hanya dengan tujuan penyelesain administratif secara penuh dan baik. Itu tidak masalah bila dalam pandangan dia baik dan menjadi tujuan utama.

Lanjut, pada bahasan penentuan perencanaan program kerja KKN. Saya mencoba melihat progress bahasan hingga penyelesaian. Program kerja telah terpetakan dengan pertimbangan waktu yang tersistematis dengan baik.

Tetapi ada yang terlupa atau mungkin dengan asa intelektual hal tersebut dilupakan. Malah saya pun juga menanti bahasan tersebut.  

Apakah program kerja yang kita laksanakan ini dapat berdampak baik pada masyarakat? Apakah program kerja yang kita laksanakan ini sudah dengan dasar kebermanfaatan pada masyarakat?

Namun, bagian itu hanya coba saya bayangkan. Karena balik lagi gambaran dan iklim ruang akademik kita telah didominasi oleh pandangan dominan. Tidak menghargai perbedaan pendapat dan menggunakan rujukan utama dari pendidik sebagai rujukan kebenaran tunggal.

“Opo to Nel, kenapa tidak dari awal tadi pertimbangannya, ini kan sudah tersusun semua program kerjanya to, masa mau kembali lagi dengan bahasan itu, kemarin dosen sampaikan seperti ini dan itu, kok.”

Bila pertimbangan dasar tidak diutamakan (kebermanfaatan pengabdian kepada masyarakat) dan lebih pada kepentingan penyelesaian administratif. Bukan tidak mungkin kita akan menjadi manusia-manusia yang mempunyai daya intelektual baik namun buta nurani, dampaknya pada minimnya kepekaan sosial.  

Lihatlah hari ini, berapa banyak orang yang telah menyelesaikan pendidikan dengan pertanggungjawaban pada karya tulis ilmiah yang ia hasilkan. Namun pertanyaannya, berapa masalah yang telah terselesaikan hasil dari karya tulis tersebut.

Inipun juga kritik saya kepada kewajiban penyusunan skripsi yang disusun oleh mahasiswa, yang katanya menjaring dan merumuskan masalah atau mungkin lembaran tebal tersebut hanya berakhir ke perpustakaan, yang tujuannya satu, yaitu referensi penyusunan skripsi untuk adik tingkat selanjutnya. (*)