Berkaca pada Suksesi DPW PPP Sultra

M. Najib Husain

Kolumnis

Sabtu, 28 Agustus 2021  /  6:48 pm

Dr. M. Najib Husain, Dosen FISIP UHO. Foto: Ist.

Oleh: Dr. M. Najib Husain

Dosen FISIP UHO  

JIKA di masa sebelum era reformasi, sebagaimana pemikiran Clifford Geertz, adanya kelompok aliran­­ abangan, santri dan priyayi di  masyarakat melahirkan simbolisme representasi konstituensi partai politik, yakni santri lebih dekat dengan PPP, abangan dan priyayi pada PDI dan Golkar.

Kini batas­-batas simbolik pembeda rumus konstituensi di kalangan partai politik semakin kabur. Jika dulu sangat gampang menebak warga yang berkopiah dan bersarung di even Pemilu akan memilih partai apa, kini semakin susah ditebak kemana arah aspirasi politiknya para pemilih. 

Mencairnya simbolisme konstituensi ideologis dan makin dominannya pendekatan pragmatis­ transaksional para elite dan aktivis partai terhadap para pemilih telah menciptakan karakter pemilih pragmatis atau konstituensi­ pragmatis.

Konstituensi­ pragmatis ini tentu semakin tidak mengenal lagi ideologi partai, mereka merasa terikat oleh sosok orang yang akan bertransaksi untuk memperoleh suara. Suara pemilih dalam konteks ini tak lagi bermakna sebagai aspirasi­ ideologis dari proses keterwakilan politik di parlemen atau pemerintahan, namun suara pemilih lebih bermakna sebagai komoditi atau barang dagangan yang diperjualbelikan dalam pasar arena Pemilu (kada).

Hanya partai yang memiliki kekuatan gagasan perubahan, membangun relasi konstituensi yang rasional, partisipatif dan akuntabel, nantinya yang akan memperoleh kepercayaan dan dukungan rakyat. Sebagai bagian dari pilar demokrasi, partai politik haruslah memberi arah masa depan yang jelas untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat sehingga membuat bangsa ini memiliki martabat di hadapan bangsa­-bangsa lain.

Di tengah pragmatisme masyarakat perebutan suara terhadap sebuah golongan menjadikan pertarungan pemenangan sangat sengit. Hal ini bisa dilihat antar PPP dan PKB yang sama-sama mengklaim sebagai penerus NU.

Namun di hasil akhir dari pertarungan di Pileg 2019 di Sultra PKB-lah yang memenangkan yakni mendapat 3 kursi sedangkan PPP 2 kursi. Sebuah tugas besar dari elit PPP di Sulawesi Tenggara, mengingat bahwa PPP sebagai partai “senior” di Indonesia sudah pasti seharusnya punya basis pemilih yang kuat dan mengakar.

Sangat dibutuhkan edukasi berupa cerminan perilaku elit politik PPP dalam pola pikir dan pola tindakan dalam pola sehari-harinya. Yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika organisasi yang sejati.

Tujuan pendidikan politik menurut (Kartono, 2009) salah satunya bagi generasi muda adalah membangun generasi muda yang sadar politik, sadar dan hak kewajiban politiknya selaku warga negara, di samping sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Polemik Amandemen Terbatas UUD 1945

Bentuk perwujudannya, kesadaran elit politik lokal, diperlukan mengatasi krisis ekonomi di masa pandemi COVID-19. Etika politik diperlukan sebagai pemandu arah dan penentu kualitas pelaksana otonomi daerah menuju terwujudnya keadilan sosial yang mensejahterakan seluruh masyarakat.

Elit politik memiliki peran sebagai pendamping (advokator) rakyat untuk memberikan peluang tampilnya pemimpin-pemimpin politik yang dikehendaki rakyat, dan berusaha menghindari tokoh oportunis serta berusaha memberikan kesadaran dan kedaulatan sepenuhnya bagi rakyat untuk memilih dan menentukan figur-figur sebagai wakil yang diandalkan (Pramono 2005).

Dalam suatu masyarakat baik pada masyarakat modern maupun pada masyarakat primitif selalu terdapat sekelompok kecil yang berkuasa. Kelompok kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan, mereka ini biasanya disebut kelompok elit (Keller,1984).

Sejalan dengan Pareto, Gaetano Mosca, seorang teoritis elit lainnya, mengatakan bahwa tiap masyarakat, entah suatu bangsa baru atau sudah lama merdeka, besar atau kecil, selalu membentuk dua kelas utama yang memimpin (aclass thatrules) dan yang dipimpin (a class thatis ruled).

Realitas politik yang berkembang di Indonesia, Sulawesi Tenggara secara mikro, terutama dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, stabilitas politik partai politik  dibangun berdasarkan struktur tidak berimbang yakni ”struktur dominasi” oleh pusat termasuk saat ini yang terjadi di tubuh PPP Sultra.

Seorang Abdul Rasyid Syawal yang terpilih secara aklamasi oleh DPC se-Sultra dalam sebuah hasil Musyawarah Wilayah (Muswil) PPP IX di Kendari, dan hasilnya telah digodok oleh 7 formatur dan disepakati untuk tetap mengusulkan Abdul Rasyid Syawal yang didukung oleh DPC pada Muswil, namun yang mendapatkan pengakuan dari DPP PPP adalah Marsekal Muda TNI (Purn) Barhim yang bukan kader partai dan mendapatkan SK dari DPP.

Walaupun dalam aturan organisasi PPP telah diatur bahwa nama yang diusulkan oleh formatur Muswil tidak otomatis diterima oleh DPP.  

Namun, sebuah partai Islam “membegal” ketua terpilih hasil Muswil adalah sebuah hal yang sangat disayangkan dan sudah melanggar etika organisasi.

PPP dikenal sebagai partai Islam yang sejak pertama kali didirikan pada tanggal 5 Januari 1973 yang merupakan hasil gabungan dari empat partai berdasarkan Islam yaitu Partai Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.

Baca juga: Kontroversi Pemerintah dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Partai ini dipelopori oleh KH Idham Chalid, H. Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Haji Anwar Tjokroaminoto, Haji Rusli Halil, dan Haji Mayskur yang ikut mendukung empat partai Islam peserta Pemilu 1971 tersebut. Dengan hasil gabungan dari partai-partai besar berbasis Islam, maka PPP telah memproklamirkan diri sebagai “rumah besar umat Islam,” yang pada mulanya menerapkan asas Islam dengan lambang Kabah.

Namun sejak tahun 1984, PPP menggunakan negara Pancasila sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sistem politik.

Sebuah partai yang memiliki visi "terwujudnya masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT dan negara Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, kepemimpinan, diangkatnya supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta menjunjung tinggi harkat-martabat dan juga sosial yang berlandaskan kepada nilai-nilai ke-Islaman." Ternyata tidak bisa dibuktikan dan malahan melakukan tindakan yang bertentangan dengan visi partai sendiri.

Tindakan ini jelas sudah berlawanan dengan fungsi partai politik. Pertama partai politik hadir untuk mengakomodasi pikiran-pikiran kritis dan cerdas dan mengarahkannya menjadi alternatif gagasan yang bermanfaat bagi kehidupan politik.

Kedua, partai politik harus mampu tampil di depan dalam pendidikan politik. Dalam konteks demokrasi misalnya, partai politik harus memperlihatkan teladan kepada publik bahwa perbedaan pendapat dalam proses pengambilan keputusan adalah hal yang wajar sebagai manifestasi partisipasi politik.

Partai politik juga perlu menunjukkan contoh kepada publik bahwa dalam berkompetisi posisi-posisi penting dalam masyarakat harus tetap menjunjung tinggi fairness, lapang dada menerima kekalahan, bukan malah kasak-kusuk mencari koneksi atau melakukan kolusi persis seperti yang dilakukan oleh pejabat Orde Baru.

Ketiga, partai politik perlu mempersiapkan lahirnya pemimpin yang jujur dan pemimpin yang bisa memegang amanah rakyat.

Seharusnya PPP sadar diri untuk menjadi partai menengah di Sultra harus merebut dukungan dari masyarakat demi kepentingan politiknya di 2024 bukan malahan membuat konflik internal yang akan menurunkan elektabilitas partai.  

Semoga majelis partai PPP masih bisa mempertimbangkan dan masih bisa membedakan yang mana yang benar dan mana yang salah, sehingga tetap yang memimpin DPW PPP di Sultra adalah figur yang didukung oleh DPC. (*)