Polemik Amandemen Terbatas UUD 1945

Efriza, telisik indonesia
Minggu, 22 Agustus 2021
0 dilihat
Polemik Amandemen Terbatas UUD 1945
Efriza, Dosen Ilmu Politik di beberapa Kampus dan Owner Penerbitan. Foto: Ist.

" Langkah ini dua kali bergulir dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merasa kewenangannya sangat terbatas jika dibandingkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) "

Oleh: Efriza

Dosen Ilmu Politik di beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

MAJELIS Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menggulirkan wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika sebelumnya, wacana amandemen UUD 1945 digulirkan dengan nama amandemen kelima UUD1945, yang menunjukkan amandemen UUD 1945 akan dilakukan secara menyeluruh.

Langkah ini dua kali bergulir dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merasa kewenangannya sangat terbatas jika dibandingkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sekarang ini, upaya amandemen UUD 1945 digulirkan oleh MPR.

Amandemen ini direncanakan hanya bersifat terbatas. Rencana ini mulai berhembus kencang setelah pimpinan MPR melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mingu lalu.

Amandemen UUD 1945 terbatas ini dilakukan terhadap Pasal 3 dan Pasal 23. Penambahan ini dijelaskan dengan menambah satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan juga penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN.

Jadi, revisi terbatas ini dilakukan dengan memasukan dua ayat yang membahas mengenai PPHN.

Rencana amandemen UUD 1945 terkait dengan haluan negara bukan hal baru dibicarakan. Ada aspirasi besar dari kalangan politisi dan akademis yang merasakan tanpa adanya haluan negara maka presiden bekerja tidaklah menentu arahnya.

Haluan negara adalah penuntun dalam mengelola negara agar pembangunan di segala bidang dapat berkesinambungan meski presiden silih berganti.

Revisi Terbatas Tanpa Empati

Rencana amandemen UUD 1945 memang tidaklah mudah. Setidaknya merujuk Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 telah mengatur secara rigid mekanisme usul perubahan konstitusi.

Perubahan tidak dapat dilakukan secara serta merta melainkan harus terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul. Pengajuan ini dilakukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Pengaturan lebih lanjut berdasarkan Tata Tertib MPR.

Sayangnya, keinginan revisi ini dilakukan dengan hilangnya rasa empati. Syahwat politisi yang ingin melakukan amandemen UUD 1945 terbatas tidak melihat situasi saat ini. Pandemi COVID-19 saat ini masih belum menunjukkan penurunan drastis. Endemi malah belum terjadi.  

Penurunan COVID-19 dilakukan hanya bentuk dari strategi untuk kepentingan ekonomi semata.

Misal, dengan tidak mengikutsertakan indikator angka kematian dalam evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berjilid. Hasilnya memang mal-mal telah dibuka, geliat ekonomi juga diharapkan kembali meningkat. Tetapi COVID-19 belum menampakkan akan segera pergi dari bumi Indonesia ini. Bahkan, program vaksinasi yang digulirkan juga belum mencapai target dari herd immunity.

Di tengah situasi pandemi COVID-19, wacana amandemen UUD 1945 malah digulirkan. Rencana ini memang sudah dibahas sejak lama, tetapi pimpinan MPR seperti lupa, bahwa konstitusi merupakan hal fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Amandemen UUD 1945 meski bersifat terbatas memerlukan persiapan khusus dan dibahas dengan serius.

Terlihat konyol, jika perguliran rencana amandemen UUD 1945 ini dilakukan dengan kondisi pembahasan bersifat kombinasi dengan offline dan online. Membahas hal fundamental bagi bangsa dan negara tidak bisa dilakukan dengan dapat terjadinya kendala jaringan.  

Apalagi tak menutup kemungkinan, penandatangan pengajuan amandemen UUD 1945  dari jumlah anggota MPR, dapat terjadi dilakukan dengan mewakilkan tanda tangan, yang penting jumlah sesuai dengan daftar anggota partai politik. Kasus ini terkonfirmasi dalam penelitian penulis, dalam buku “Parlemen Indonesia: Geliat Volksraad Hingga DPD,” (2010).

Dengan situasi pandemi COVID-19 bahwa jumlah Orang Tanpa Gejala (OTG) cenderung tinggi, kemungkinan terjadinya gelombang COVID-19 tinggi kembali masih tetap terbuka peluangnya. Maka, bukan tak mungkin dalam proses ini akan terjadi penandatangan mewakili atas dukungan ataupun penarikan dukungan seseorang politisi partai.  

Berbagai situasi di atas, menunjukkan jika terus menggulirkan wacana revisi terbatas amandemen UUD 1945, sebuah pembuktian bahwa syahwat politisi lebih tinggi akan kekuasaan dibandingkan memikirkan penyelesaian pandemi COVID-19.

Lebih Baik Gulirkan Undang-Undang

Sebaiknya memang MPR lebih memilih mengajukan Undang-Undang jika ingin mengakomodir adanya haluan negara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menunjukkan pernyataan tidak ingin melakukan amandemen UUD 1945. Tetapi karena rayuan dari pimpinan MPR, sehingga presiden menyatakan menyerahkan kepada MPR. Ini menunjukkan sikap bahwa Presiden Jokowi sedang konsentrasi dan terbebani oleh persoalan pandemi COVID-19.

Presiden Jokowi juga mengerti, akan terbukanya kotak pandora, pembahasan juga akan melebar ke mana-mana. Lihat saja, rencana amandemen UUD 1945 baru digulirkan saja, sudah menghidupkan kembali isu-isu yang digulirkan untuk presiden dapat dipilih tiga periode. Belum lagi isu bahwa pemilihan presiden dilakukan oleh MPR sehingga tidak lagi bersifat langsung.

Baca Juga: Kontroversi Pemerintah dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Baca Juga: Puan Maharani Sedang Gemar Mengkritik Pemerintah

Di atas kertas memang bisa ditunjukkan pasal-pasal apa yang akan direvisi. Tetapi dalam prosesnya tentu saja akan meluas. Misal, siapa yang akan mengawasi presiden, memberikan sanksi jika tidak menjalankan sesuai haluan negara, lalu, MPR akankah seperti di masa Orde Baru.

Proses ini tentu saja dapat terjadi kesepakatan yang tidak baik antar para politisi-politisi partai. Preseden tidak baik sebelumnya dapat saja terjadi kembali, misal, terjadinya pertukaran kepentingan antara dihadirkannya DPD dengan pemilihan presiden langsung, yang mengakibatkan DPD memiliki kewenangan terbatas seperti sekarang, tetapi pemilihan presiden berhasil diterapkan.

Melihat situasi ini, dapat dikatakan lebih baik, politisi-politisi di Senayan tidak menggulirkan rencana amandemen UUD 1945. Jika hanya sekadar ingin mengakomodir adanya haluan negara, lebih baik menggulirkan haluan negara di dalam undang-undang. Sehingga, pembahasannya tidak menguras energi bangsa ini, konsentrasi masih dapat dilakukan dalam mengatasi pandemi COVID-19.

Di sisi lain, tentu saja menggulirkan isu amandemen terbatas UUD 1945, akan banyak kepentingan hadir, isu dan wacana yang juga bergerak liar akan mengarah ke Senayan. Jangan lupakan, saat ini kondisi politik di Indonesia tidak dalam situasi yang tenang, meski terlihat baik.  

Situasi Indonesia, mirip “bebek berenang,” tampak tenang tetapi di bawahnya bergejolak banyak hal. Misal, isu presiden tiga periode, isu Pilpres melalui MPR, isu penundaan Pemilu serentak 2024 menjadi 2027, isu menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi lagi, isu mengembalikan UUD 1945 sebelum amandemen.

Pada dasarnya isu di Indonesia lebih kuat untuk mengembalikan supremasi parlemen, memang politisi-politisi kita merasa rakyat lebih baik “dikeluarkan” dari proses politik. (*)

Artikel Terkait
Atlit

Atlit

Kolumnis Selasa, 17 Maret 2020
Baca Juga